oleh Hasan Al-Jaizy
Oemar Bakrie di zaman inie sulit ditemuie. Yaitu, goeroe yang ikhlas lillahi ta'ala. Rela capek berletih-letih mengayuh sepeda butut demi mengasah generasi bangsa. Bandingkan dengan guru sekarang, terutama guru sekolahan [dalam beberapa kasus; guru SD] yang kerjaannya jadi kuli LKS atau pemungut pajak/bayaran ekstra. Yang jadi guru anak SD jangan tersinggung, karena Anda secara individu tidak dibahas di sini.
Tapi, masih ada kok guru yang memiliki modal keikhlasan mencukupi. Hanya saja, zaman sekarang banyak hal serba cepat. Semuanya dituntut untuk maju dan melakukan renovasi sana-sini. Terlebih wali murid, yang sebagian hobinya menuntut dan mempertanyakan. Selagi menyalah-nyalahkan metode ngajar sang guru, mereka lupa diri kalau sebenarnya mereka sebagai orang tua, justru menyerahkan anak pada orang lain soal pendidikan. Di rumah, boro-boro mereka mendidik baik. wkwkwk
Karena kemajuan dan 'kemanjaan' generasi sekarang, maka guru-guru dituntun untuk memiliki skill mencukupi dan berkembang. Yakni: tidak gitu-gitu doanks. Yang paling disorot adalah berbicara. Guru harus bisa menjelaskan pada murid materi pelajaran dengan bahasa lisan yang bagus dan lancar. Saya tidak bisa membayangkan dengan rapih di otak jika Aziz Gagap menjadi guru bahasa Indonesia.
Nah, yang sedang digencari oleh para ahli edukasi [atau para penulis di bidang edukasi] adalah wajibnya para guru untuk mengasah skill menulis mereka; sebagai contoh terbakti bagi para murid. Toh tidak bisa diingkari juga bahwa guru bahasa Indonesia di tingkat SD belum tentu pandai membuat karya tulis yang patut ditiru murid-murid.
Guru ngaji juga begitu. Maksudnya: guru pengajian [seperti ustadz atau kyai]. Jangan mengandalkan penampakan keikhlasan saja. Bagi sebagian, upayakan [semampunya] untuk tidak menjadi tukang dongeng sebelum tidur dalam mengajar pengajian. Volume suara dan equalizer serta tone nya juga layak diperhatikan.
Intinya: Jangan bermodal keikhlasan thok. Paling wuelik yo ngene: sudah ga ikhlas, bicaranya ngadat-ngadat plus emosian.
Tapi, masih ada kok guru yang memiliki modal keikhlasan mencukupi. Hanya saja, zaman sekarang banyak hal serba cepat. Semuanya dituntut untuk maju dan melakukan renovasi sana-sini. Terlebih wali murid, yang sebagian hobinya menuntut dan mempertanyakan. Selagi menyalah-nyalahkan metode ngajar sang guru, mereka lupa diri kalau sebenarnya mereka sebagai orang tua, justru menyerahkan anak pada orang lain soal pendidikan. Di rumah, boro-boro mereka mendidik baik. wkwkwk
Karena kemajuan dan 'kemanjaan' generasi sekarang, maka guru-guru dituntun untuk memiliki skill mencukupi dan berkembang. Yakni: tidak gitu-gitu doanks. Yang paling disorot adalah berbicara. Guru harus bisa menjelaskan pada murid materi pelajaran dengan bahasa lisan yang bagus dan lancar. Saya tidak bisa membayangkan dengan rapih di otak jika Aziz Gagap menjadi guru bahasa Indonesia.
Nah, yang sedang digencari oleh para ahli edukasi [atau para penulis di bidang edukasi] adalah wajibnya para guru untuk mengasah skill menulis mereka; sebagai contoh terbakti bagi para murid. Toh tidak bisa diingkari juga bahwa guru bahasa Indonesia di tingkat SD belum tentu pandai membuat karya tulis yang patut ditiru murid-murid.
Guru ngaji juga begitu. Maksudnya: guru pengajian [seperti ustadz atau kyai]. Jangan mengandalkan penampakan keikhlasan saja. Bagi sebagian, upayakan [semampunya] untuk tidak menjadi tukang dongeng sebelum tidur dalam mengajar pengajian. Volume suara dan equalizer serta tone nya juga layak diperhatikan.
Intinya: Jangan bermodal keikhlasan thok. Paling wuelik yo ngene: sudah ga ikhlas, bicaranya ngadat-ngadat plus emosian.
No comments:
Post a Comment