oleh Hasan Al-Jaizy
Beberapa point tentang iri:
[1] Kita iri ketika melihat daftar muhsiniin, nama-nama penyumbang untuk yayasan atau apapun itu yang baik. Juga saya iri dengan jumlah uang yang mereka sumbang. Karena mungkin mereka sebenarnya tidak berilmu tinggi, namun dengan harta yang terberi, pahala bagi mereka mengalir tak henti. Belum lagi jika: dari sumbangsih mereka, tercipta para ulama masa depan. Saya iri sekali.
[2] Kita iri dengan teman-teman yang mencari ilmu dalam kesulitan ekonomi. Mereka tetap tegar dan berjalan menginspirasi. Betapa banyak orang miskin namun tegar, kisah hidupnya memberi inspirasi. Betapa banyak orang kaya namun kikir, kisah hidupnya diiringi benci. Iri sekali dengan mereka yang konsisten dalam keterbatasan, atau kefakiran. Imam Syafi'i, Imam Bukhari dan banyak lagi para ulama yang terhimpit ekonomi ketika belajar, sementara warisan mereka bukanlah dinar atau dirham, melainkan ilmu yang jika ia di langit, dinar dan dirham berada di kerak bumi.
[3] Kita sama sekali tidak iri dengan yang bermewah hidupnya namun tangannya kering akan memberi. Cukuplah namanya diingat oleh dirinya, keluarga dan teman terdekatnya. Setelah matinya, biarlah segala tentangnya terlupa.
[4] Kita sama sekali tidak iri dengan seorang pencari ilmu yang jenius, berprestasi dan penuh karya namun sombong; dan terlihat dari tingkahnya bahwa ia mencari semua itu demi pandangan dan penyebutan manusia akan namanya. Justru inilah yang paling mengerikan. Hati sendiri malah menipu hati sendiri. Menipu orang itu adalah keburukan. Namun menipu diri sendiri adalah keburukannya keburukan.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/435784139796310
Beberapa point tentang iri:
[1] Kita iri ketika melihat daftar muhsiniin, nama-nama penyumbang untuk yayasan atau apapun itu yang baik. Juga saya iri dengan jumlah uang yang mereka sumbang. Karena mungkin mereka sebenarnya tidak berilmu tinggi, namun dengan harta yang terberi, pahala bagi mereka mengalir tak henti. Belum lagi jika: dari sumbangsih mereka, tercipta para ulama masa depan. Saya iri sekali.
[2] Kita iri dengan teman-teman yang mencari ilmu dalam kesulitan ekonomi. Mereka tetap tegar dan berjalan menginspirasi. Betapa banyak orang miskin namun tegar, kisah hidupnya memberi inspirasi. Betapa banyak orang kaya namun kikir, kisah hidupnya diiringi benci. Iri sekali dengan mereka yang konsisten dalam keterbatasan, atau kefakiran. Imam Syafi'i, Imam Bukhari dan banyak lagi para ulama yang terhimpit ekonomi ketika belajar, sementara warisan mereka bukanlah dinar atau dirham, melainkan ilmu yang jika ia di langit, dinar dan dirham berada di kerak bumi.
[3] Kita sama sekali tidak iri dengan yang bermewah hidupnya namun tangannya kering akan memberi. Cukuplah namanya diingat oleh dirinya, keluarga dan teman terdekatnya. Setelah matinya, biarlah segala tentangnya terlupa.
[4] Kita sama sekali tidak iri dengan seorang pencari ilmu yang jenius, berprestasi dan penuh karya namun sombong; dan terlihat dari tingkahnya bahwa ia mencari semua itu demi pandangan dan penyebutan manusia akan namanya. Justru inilah yang paling mengerikan. Hati sendiri malah menipu hati sendiri. Menipu orang itu adalah keburukan. Namun menipu diri sendiri adalah keburukannya keburukan.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/435784139796310
No comments:
Post a Comment