oleh Hasan Al-Jaizy
Bahasa termasuk budaya juga, bukan? Bahasa Betawi, yang sedianya adalah pergeseran bahasa Melayu, adalah ciri khas Betawi [yang sebenarnya keasliannya sudah terkikis]. Dahulu, sebelum kemerdekaan, bahasa penyambung lidah dan hati bangsa Indonesia adalah bahasa Melayu. Dan tanah Batavia, sebagai pusat segalanya, tentu berbahasa Melayu. Dengan letak geografis yang nempel dengan tanah Sunda seperti Bogor, maka dalam beberapa spelling atau pronounciation, ada kesamaan antara Betawi dan Sunda Bogor. Tapi, saya juga ga tahu apa itu. Gubrak, bukan?
Bahasa Betawi, kata orang, adalah bahasa kasar. Tapi, mau pegimane lagi kalo udah dari sononye? Anak Betawi memakai bahasa kasar, nyablak dan tanpa basa-basi. Dan itu menunjukkan karakter asli. Tapi, bukan berarti hati anak Betawi kasar-kasar. Jangan salah.
Saya bisa membuktikan bahwa Betawi tidak kasar dan persoalan kasar, itu di bahasa dan sikap blak-blakan saja. Buktinya: ketika ribuan dan jutaan pendatang [sebagian kecil adalah pengemis] bererot menyerbu Jakarta, anak-anak Betawi redo-redo aje. Tidak ada yang langsung mengusir dan melawan. Bahkan sebagian anak Betawi menyediakan fasilitas kos-kosan, kontrakan dan lapak. Lebih dahsyat dan lebih ramahnya lagi, anak-anak Betawi rela kok diinjak-injak tanahnya, rela dapat petak sempit, rela tanahnya dijual, dan sebagiannya malah rela pindah ke pinggir ibukota. Gubrak, bukan?
Bandingkan Dengan Jawa:
Sebelumnya, selain saya turunan Betawi, saya juga turunan [suku] Jawa, dan menghabiskan masa remaja 6 tahun di tanah orang Jawa. Jadi, jangan ada yang naik pitam. Naik mimbar dan naik angkot, silahkan saja.
Pernah saya mengikari sebuah bukit sendirian untuk mencari hakikat dari misteri terselubung di kampung teman saya, di Jawa Tengah. Rupa-rupanya, saya di-titeni [diintai; diperhatikan terus-menerus] oleh beberapa dari orang kampung. Hingga sore hari, saya ditegur dengan ketegangan entah berapa volt: 'Kamu siapa dari tadi pagi mengitar di sini?' Raut muka penegur seperti hendak memusuhi. Namun saya kemudian menjelaskan bahwa saya temannya fulan bin fulan.
Ajaibnya, ketika dia mengenal siapa fulan yang saya maksud, raut wajah berubah total. Dari raut wajah yang tadinya mirip rautan murahan era 90-an, malah menjadi semanis rautan modern yang biasa dipakai anak-anak orang gedongan. Manis dan terlukis panorama bertuliskan sebuah kata yang biasa tertera di keset kamar mandi: 'WELCOME'.
Kalau mau main ramah-ramahan, orang kampung jauh lebih ramah dari orang kota. Bukan hanya sekali, berpuluh-puluh kali ketika saya melewati desa-desa di gunung atau daerah terpencil, mereka pasti menyapa! Kalau di tanah[suku] Jawa, penduduk desa akan mengatakan: 'Pinara, mas!', yang kalau dalam bahasa Jawa kasarnya: 'Please visit my house!'
NAH, ini cerita teman saya:
Teman lama saya di pondok dulu pernah bercerita: Ketika dia sedang berjalan di kebun-kebun desa, ada seorang mbah-mbah berjalan membawa pacul. Kala itu hari menjelang tengah siang. Matahari mulai di ubun-ubun. Itu waktunya sebagian petani pulang ke rumah.
Lalu, teman saya menyapa dengan bahasa yang pastinya tidak dimengerti sang mbah: 'Abis dari kantor, mbah?'
Mbah : 'Njeeeh!' [menjawab sapaan tanpa mengerti maknanya]
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/440775472630510
Bahasa termasuk budaya juga, bukan? Bahasa Betawi, yang sedianya adalah pergeseran bahasa Melayu, adalah ciri khas Betawi [yang sebenarnya keasliannya sudah terkikis]. Dahulu, sebelum kemerdekaan, bahasa penyambung lidah dan hati bangsa Indonesia adalah bahasa Melayu. Dan tanah Batavia, sebagai pusat segalanya, tentu berbahasa Melayu. Dengan letak geografis yang nempel dengan tanah Sunda seperti Bogor, maka dalam beberapa spelling atau pronounciation, ada kesamaan antara Betawi dan Sunda Bogor. Tapi, saya juga ga tahu apa itu. Gubrak, bukan?
Bahasa Betawi, kata orang, adalah bahasa kasar. Tapi, mau pegimane lagi kalo udah dari sononye? Anak Betawi memakai bahasa kasar, nyablak dan tanpa basa-basi. Dan itu menunjukkan karakter asli. Tapi, bukan berarti hati anak Betawi kasar-kasar. Jangan salah.
Saya bisa membuktikan bahwa Betawi tidak kasar dan persoalan kasar, itu di bahasa dan sikap blak-blakan saja. Buktinya: ketika ribuan dan jutaan pendatang [sebagian kecil adalah pengemis] bererot menyerbu Jakarta, anak-anak Betawi redo-redo aje. Tidak ada yang langsung mengusir dan melawan. Bahkan sebagian anak Betawi menyediakan fasilitas kos-kosan, kontrakan dan lapak. Lebih dahsyat dan lebih ramahnya lagi, anak-anak Betawi rela kok diinjak-injak tanahnya, rela dapat petak sempit, rela tanahnya dijual, dan sebagiannya malah rela pindah ke pinggir ibukota. Gubrak, bukan?
Bandingkan Dengan Jawa:
Sebelumnya, selain saya turunan Betawi, saya juga turunan [suku] Jawa, dan menghabiskan masa remaja 6 tahun di tanah orang Jawa. Jadi, jangan ada yang naik pitam. Naik mimbar dan naik angkot, silahkan saja.
Pernah saya mengikari sebuah bukit sendirian untuk mencari hakikat dari misteri terselubung di kampung teman saya, di Jawa Tengah. Rupa-rupanya, saya di-titeni [diintai; diperhatikan terus-menerus] oleh beberapa dari orang kampung. Hingga sore hari, saya ditegur dengan ketegangan entah berapa volt: 'Kamu siapa dari tadi pagi mengitar di sini?' Raut muka penegur seperti hendak memusuhi. Namun saya kemudian menjelaskan bahwa saya temannya fulan bin fulan.
Ajaibnya, ketika dia mengenal siapa fulan yang saya maksud, raut wajah berubah total. Dari raut wajah yang tadinya mirip rautan murahan era 90-an, malah menjadi semanis rautan modern yang biasa dipakai anak-anak orang gedongan. Manis dan terlukis panorama bertuliskan sebuah kata yang biasa tertera di keset kamar mandi: 'WELCOME'.
Kalau mau main ramah-ramahan, orang kampung jauh lebih ramah dari orang kota. Bukan hanya sekali, berpuluh-puluh kali ketika saya melewati desa-desa di gunung atau daerah terpencil, mereka pasti menyapa! Kalau di tanah[suku] Jawa, penduduk desa akan mengatakan: 'Pinara, mas!', yang kalau dalam bahasa Jawa kasarnya: 'Please visit my house!'
NAH, ini cerita teman saya:
Teman lama saya di pondok dulu pernah bercerita: Ketika dia sedang berjalan di kebun-kebun desa, ada seorang mbah-mbah berjalan membawa pacul. Kala itu hari menjelang tengah siang. Matahari mulai di ubun-ubun. Itu waktunya sebagian petani pulang ke rumah.
Lalu, teman saya menyapa dengan bahasa yang pastinya tidak dimengerti sang mbah: 'Abis dari kantor, mbah?'
Mbah : 'Njeeeh!' [menjawab sapaan tanpa mengerti maknanya]
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/440775472630510
Anak betawi.. ketinggalan jaman.. katenye..
ReplyDeleteEh raisa ada dimana ya ?