Wednesday, September 12, 2012

Menertawai Lampau


oleh Hasan Al-Jaizy

Selepas lulus pengabdian setahun, saya berkumpul dengan teman-teman pondok di Solotigo. Kita bercengkrama berhari-hari sembari mengurus rapot dakwah, ijasah dan segala-gala terkait akademi. Suatu momen di suatu hari, saya melihat sahabat saya tersenyum sendiri, tak ada angin dan tak ada hujan.

"Ente kenapa senyum2 ndiri?" tanya saya.

Dia pun menjawab, "Ane ngetawain kebodohan tingkah ane di masa lalu. Kalo kita bayangin, banyak kejadian dan tingkah yang konyol di masa lalu."

Momen itu begitu singkat, tapi saya pribadi belajar darinya. Benar juga. Banyak hal yang membuat bibir kita tersenyum tanpa sebab yang bisa disentuh oleh panca indera orang lain. Terutama tentang kekonyolan masa remaja. Mungkin hal ini tidak berlaku bagi individu yang menghabiskan masa remajanya terkurung dalam kesendirian dan kesepian.

Menertawai atau Sekedar Tersenyum?

Bahasa bibir memang boleh suratkan senyum, namun hati bisa jadi siratkan tawa. Cukuplah bibir tersenyum; karena jika tertawa sendiri tiba-tiba, maka itu adalah bentuk kekonyolan terbaru. 

Yeah, masa-masa itu menjadi kenangan untuk sekarang, dan masa sekarang akan menjadi kenangan untuk keesokan. Lalu, bagaimana jika segala perkara dan peristiwa secara detail 'dikenang' di Hari Perhitungan Amal? Apakah kita tersenyum senang, atau justru kita akan terguncang sedih disertai badai ketakutan???

No comments:

Post a Comment