oleh Hasan Al-Jaizy
Kata sebagian sekularis, 'Kalian tidak usah banyak mempropagandakan doktrin kalian kepada manusia. Warga Jakarta atau bangsa Indonesia sudah mulai cerdas dalam merajut cerita dan menentukan siapa calon pemimpinnya.'
Dan kita boleh juga katakan, 'Kalimat itu pun sebenarnya propaganda kalian untuk mengipas-ngipas warga yang sedang kegerahan dan keringatan, sehingga mereka jadi merasa adem. Padahal mengipas diri yang sedang keringatan bisa berefek terhadap kesehatan.'
Begitu juga perkataan 'cerdas' untuk warga atau bangsa kita. Cerdas what?
Cerdas dalam memilih? Kita-kita memilih seseorang bukan karena kecerdasan semata; tetapi karena pelampiasan kekecewaan atau ketidakpuasan akan apa yang telah dilakukan oleh the-previous-man.
Warga Kita Sudah Capek Dicerdas-cerdasi
...atau kata mereka, 'diakal-akali'. Sehingga janji tertabur sepanjang jalan klonengan, ngemengnya 'kita bergandeng tangan'. Namun ketika kursi goyang sudah didapat, bukannya bergandeng tangan, malah lepas tangan. Inilah penyebab kekecewaan kita-kita. Masing-masing merasa dikhianati. Tapi, ada pertanyaan:
'Salah siape loe milih gue? Mau aje lu gue maenin! wakakakak!'
Iya juga tuh, salah siapa? Salah kita yang tidak cerdas? Bisa iya. Kalau kita cerdas, kita tidak salah milih dan suara kita tidak sama dengan suara gelandangan, pemulung, tukang ojek [no offense; bukan mengucilkan arti pekerjaan] dan semua kalangan. Kalangan berpeci putih tidak bisa disamakan suaranya dengan kalangan bertopi miring. Mosok mulut berpuasa disamakan dengan mulut penuh bir?
Warga Kita Sudah Cerdas Dicapek-capeki
Naah, ini dia. Kita sudah mulai pintar dan cerdas, mengerti betul bagaimana meletih-letihkan diri. Baru melihat prestasi calon boneka yang sudah ditoreh di Jateng saja, langsung ngiler. Jika ada yang tidak suka dengan warna boneka tersebut, langsung dituding 'SARA'. Penyanyi dangdut tersohor yang sedang 'magang' menjadi penceramah, baru bicara sedikit mengenai keyakinannya saja mengenai pencalonan boneka, langsung dituding sebagai 'SARAS 008', lalu dibuatlah kasus.
Wong ga usah berlebihan begitu kalau ngiler terhadap boneka berprestasi. Pak penceramah toh cuma menyampaikan keyakinannya. Masih banyak penceramah lain yang juga siap melafalkan mantra-mantra keyakinan untuk menyihir opini hadirin. Weits, benar....saya lupa. Politik itu adalah siasat dan taktik. Selama sistemnya kotor, kita tidak apa-apa bermain kotor. Setelah puas bermain kotor dan mengotori baju orang, kita cuci tangan, lalu...bobo. Sip.
Kita lihat seberapa cerdas warga kita untuk dicapek-capeki. 20 September menanti, pertarungan antara boneka-boneka yang konon dalangnya adalah 'rakyat'. Karena jargonnya: 'dari rakyat untuk rakyat'. Tapi, sebenarnya di lapangan adalah 'dari rakyat untuk yang menjabat'. Dan seterusnya....kita begitu cerdas untuk merasa capek tak henti-henti.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/437570222951035
Kata sebagian sekularis, 'Kalian tidak usah banyak mempropagandakan doktrin kalian kepada manusia. Warga Jakarta atau bangsa Indonesia sudah mulai cerdas dalam merajut cerita dan menentukan siapa calon pemimpinnya.'
Dan kita boleh juga katakan, 'Kalimat itu pun sebenarnya propaganda kalian untuk mengipas-ngipas warga yang sedang kegerahan dan keringatan, sehingga mereka jadi merasa adem. Padahal mengipas diri yang sedang keringatan bisa berefek terhadap kesehatan.'
Begitu juga perkataan 'cerdas' untuk warga atau bangsa kita. Cerdas what?
Cerdas dalam memilih? Kita-kita memilih seseorang bukan karena kecerdasan semata; tetapi karena pelampiasan kekecewaan atau ketidakpuasan akan apa yang telah dilakukan oleh the-previous-man.
Warga Kita Sudah Capek Dicerdas-cerdasi
...atau kata mereka, 'diakal-akali'. Sehingga janji tertabur sepanjang jalan klonengan, ngemengnya 'kita bergandeng tangan'. Namun ketika kursi goyang sudah didapat, bukannya bergandeng tangan, malah lepas tangan. Inilah penyebab kekecewaan kita-kita. Masing-masing merasa dikhianati. Tapi, ada pertanyaan:
'Salah siape loe milih gue? Mau aje lu gue maenin! wakakakak!'
Iya juga tuh, salah siapa? Salah kita yang tidak cerdas? Bisa iya. Kalau kita cerdas, kita tidak salah milih dan suara kita tidak sama dengan suara gelandangan, pemulung, tukang ojek [no offense; bukan mengucilkan arti pekerjaan] dan semua kalangan. Kalangan berpeci putih tidak bisa disamakan suaranya dengan kalangan bertopi miring. Mosok mulut berpuasa disamakan dengan mulut penuh bir?
Warga Kita Sudah Cerdas Dicapek-capeki
Naah, ini dia. Kita sudah mulai pintar dan cerdas, mengerti betul bagaimana meletih-letihkan diri. Baru melihat prestasi calon boneka yang sudah ditoreh di Jateng saja, langsung ngiler. Jika ada yang tidak suka dengan warna boneka tersebut, langsung dituding 'SARA'. Penyanyi dangdut tersohor yang sedang 'magang' menjadi penceramah, baru bicara sedikit mengenai keyakinannya saja mengenai pencalonan boneka, langsung dituding sebagai 'SARAS 008', lalu dibuatlah kasus.
Wong ga usah berlebihan begitu kalau ngiler terhadap boneka berprestasi. Pak penceramah toh cuma menyampaikan keyakinannya. Masih banyak penceramah lain yang juga siap melafalkan mantra-mantra keyakinan untuk menyihir opini hadirin. Weits, benar....saya lupa. Politik itu adalah siasat dan taktik. Selama sistemnya kotor, kita tidak apa-apa bermain kotor. Setelah puas bermain kotor dan mengotori baju orang, kita cuci tangan, lalu...bobo. Sip.
Kita lihat seberapa cerdas warga kita untuk dicapek-capeki. 20 September menanti, pertarungan antara boneka-boneka yang konon dalangnya adalah 'rakyat'. Karena jargonnya: 'dari rakyat untuk rakyat'. Tapi, sebenarnya di lapangan adalah 'dari rakyat untuk yang menjabat'. Dan seterusnya....kita begitu cerdas untuk merasa capek tak henti-henti.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/437570222951035
No comments:
Post a Comment