oleh Hasan Al-Jaizy
Salah satu manfaat yang terasa dari upaya menjaga keikhlasan adalah rasa tenang atau damainya ketika beramal. Dan rasa tersebut bukanlah keburukan, melainkan anugerah yang mungkin boleh dikatakan sebagai berkahnya keikhlasan. Justru, yang mengerikan adalah ketika kita mendamparkan upaya untuk ikhlas [lillahi ta'ala], tetapi tetap merasa nikmatberibadah. Ini, bisa jadi sebuah istidraaj [penangguhan yang buruk].
Hal tersebut [merasa tenang dan nikmat padahal tidak ikhlas] disebabkan terbiasanya hati akan ketidakikhlasan. Lebih spesifik lagi jika dicontohkan seperti begini: Seorang pencari ilmu yang terbiasa mengemis pujian manusia dan menjadikannya tujuan. Semoga kita semua dilindungi dari hal seperti ini. Bukan berarti kita pasti bebas dan tak akan seperti ini. Siapa menjamin? Karena itu, curahan nasihat ini diutamakan kepada penulis status ini dan kemudian pada pembacanya.
Hal tersebut [merasa tenang dan nikmat padahal tidak ikhlas] disebabkan terbiasanya hati akan ketidakikhlasan. Lebih spesifik lagi jika dicontohkan seperti begini: Seorang pencari ilmu yang terbiasa mengemis pujian manusia dan menjadikannya tujuan. Semoga kita semua dilindungi dari hal seperti ini. Bukan berarti kita pasti bebas dan tak akan seperti ini. Siapa menjamin? Karena itu, curahan nasihat ini diutamakan kepada penulis status ini dan kemudian pada pembacanya.
Padahal Begini:
Padahal Nabi bersabda:
من تعلم علماً مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة
"Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang mana ilmu tersebut seharusnya ditujukan dengannya wajah Allah Azza wa Jalla, namun dia tidak mempelajarinya KECUALI untuk mendapatkan martabat dari dunia, ia tidak mendapatkan harum surga di hari Kiamat." [ H.R. Abu Daud]
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berkata ketika menjelaskan hadits ini di majelis Syarh SUnan Abi Daud, yang maknanya:
"Yakni ia belajar demi dunia atau sum'ah [ingin diperdengarkan] atau pamor/kesohoran dan TIDAK BERMAKSUD mengetahui kebenaran, tidak bermaksud mengamalkannya dan berdakwah kepada jalan Allah di atas ilmu.
Yang dimaksud ilmu di atas adalah ILMU SYAR'I [Ilmu agama]; karena ilmu ini secara mutlak wajib diperuntukkan demi Allah."
Padahal Nabi bersabda:
من تعلم علماً مما يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة
"Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang mana ilmu tersebut seharusnya ditujukan dengannya wajah Allah Azza wa Jalla, namun dia tidak mempelajarinya KECUALI untuk mendapatkan martabat dari dunia, ia tidak mendapatkan harum surga di hari Kiamat." [ H.R. Abu Daud]
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berkata ketika menjelaskan hadits ini di majelis Syarh SUnan Abi Daud, yang maknanya:
"Yakni ia belajar demi dunia atau sum'ah [ingin diperdengarkan] atau pamor/kesohoran dan TIDAK BERMAKSUD mengetahui kebenaran, tidak bermaksud mengamalkannya dan berdakwah kepada jalan Allah di atas ilmu.
Yang dimaksud ilmu di atas adalah ILMU SYAR'I [Ilmu agama]; karena ilmu ini secara mutlak wajib diperuntukkan demi Allah."
Karena itulah:
==> Ada orang yang pintar, cerdas, banyak hafalan namun terjatuh dalam banyak sekali kesalahan tak termaklumi. Ia mengambil perkataan-perkataan marjuuh atau tak berdasar; padahal kebenaran sudah jelas dan tak terbantahkan [qath'i]. Namun rupanya hati telah tertutup akan kebenaran yang terang.
==> Atau ada yang pintar, cerdas, banyak hafalan namun terlihat sekali 'sengaja' memelintir ayat-hadits-hukum dengan kecerdasannya, keilmuannya dan hafalannya. Sehingga manusia tidak bisa membantah syubhat hasil racikannya.
Kedua hal di atas sangat mungkin disebabkan sedari awal niat mencari ilmu yang belepotan atau bercampur dengan syahwat duniawi. Sedari awal berangan-angan hendak meninggi atau dipuji dan melupakan bahwa tujuan pembelajaran adalah mencari kebenaran, menerapkan pada diri dan menyebarkannya demi Allah.
Setiap individu pencari ilmu syar'i tidak terjamin aman dari fitnah ini. Pamor, nama, gelar dan jabatan memang penting untuk zaman sekarang; tapi jangan jadikan itu semua kepentingan dan tujuan.
Kita semua ingin bisa seperti Syaikh fulan atau ustadz fulan yang dikenal baik oleh banyak manusia, namun perlu diluruskan: bahwa kita ingin menjadi seperti mereka karena dakwah mereka yang bermanfaat, bukan karena kemasyhuran mereka. Wallahu a'lam.
==> Ada orang yang pintar, cerdas, banyak hafalan namun terjatuh dalam banyak sekali kesalahan tak termaklumi. Ia mengambil perkataan-perkataan marjuuh atau tak berdasar; padahal kebenaran sudah jelas dan tak terbantahkan [qath'i]. Namun rupanya hati telah tertutup akan kebenaran yang terang.
==> Atau ada yang pintar, cerdas, banyak hafalan namun terlihat sekali 'sengaja' memelintir ayat-hadits-hukum dengan kecerdasannya, keilmuannya dan hafalannya. Sehingga manusia tidak bisa membantah syubhat hasil racikannya.
Kedua hal di atas sangat mungkin disebabkan sedari awal niat mencari ilmu yang belepotan atau bercampur dengan syahwat duniawi. Sedari awal berangan-angan hendak meninggi atau dipuji dan melupakan bahwa tujuan pembelajaran adalah mencari kebenaran, menerapkan pada diri dan menyebarkannya demi Allah.
Setiap individu pencari ilmu syar'i tidak terjamin aman dari fitnah ini. Pamor, nama, gelar dan jabatan memang penting untuk zaman sekarang; tapi jangan jadikan itu semua kepentingan dan tujuan.
Kita semua ingin bisa seperti Syaikh fulan atau ustadz fulan yang dikenal baik oleh banyak manusia, namun perlu diluruskan: bahwa kita ingin menjadi seperti mereka karena dakwah mereka yang bermanfaat, bukan karena kemasyhuran mereka. Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment