Monday, September 24, 2012

Berdagang Herbal, Memangnya Rendahan?

oleh Hasan Al-Jaizy

Saya punya kenalan, seorang mahasiswa lulusan sebuah kampus ternama di negeri ini, berbicara mengenai kemajuan ekonomi masyarakat. Ada satu pemikiran darinya yang membuat saya harus membantahnya. Kira-kira begini kesimpulannya: "Kita harus membangun sektor perekonomian yang kuat agar bisa menyaingi kedigdayaan orang non-muslim. Yaitu dengan bisnis [trading/berniaga/berdagang atau semacamnya]. Tapi BUKAN dengan cara menjual HERBAL seperti mereka-mereka itu."

Kalimat terakhir tentu saya fahami mengarah ke mana atau ke siapa. Untuk saat ini, penjual herbal biasanya digambarkan di benak sebagai seorang berjenggot dan bercelana unik serta terkesan kurang 'maju'. Saya fikir, pemahaman anak ini agak sempit. Dan saya tengok rupanya anak ini memiliki latar belakang keluarga yang berpenghasilan tinggi. Ah, wajar pula ia berfikir begitu. Tapi, harus ada bantahannya [dan sudah kita bantah/nasihati baik2].

Sebelumnya, di kampus saya sendiri, ada beberapa mahasiswa yang mencari peruntungan rizki dengan cara 'menyelundupkan' gorengan ke kelas dan menjualnya. Dari situ mereka mendapat uang tambahan; entah untuk modal makan sehari-hari atau tabungan untuk nikah atau bahkan untuk menegakkan asap dapur [bagi penyelundup yang sudah menikah].

Dan ketika saya 'nongkrong' alias ngopi darat dengan beberapa mahasiswa dari UPI Bandung di kampus UI, ada 2 mahasiswi yang mendekati kami. Dan rupa-rupanya mereka adalah pedagang makanan ringan; menjajakan dan menawarkan poduk jualan. Saya lupa apa nama makanannya dan memang sedianya kurang peduli akan istilah dan nama makanan. Juga, ada seorang mahasiswa UI yang saya kenal, kesehariannya pulang-pergi membawa dagangan berupa donat, untuk dijual di kampus.

Mereka tidak perlu 'malu' untuk tegak dan tegar berniaga. Dan mereka bukan orang yang diprediksikan menjadi pedagang asongan; melainkan status mereka tetap mahasiswa, yang masih berpotensi untuk menjadi pemimpin umat/bangsa ini.

Pedagang Herbal Tidak Bisa Disalahkan Perihal Dagangannya 

Justru yang menyalahkan adalah yang salah. Hak pedagang berdagang suatu dagangan, selama secara dzat tidak haram dan dengan cara yang halal. Mereka -at least- melakukan sebuah ikhtiyar, atau upaya, yang merupakan salah satu rukun tawakkal. Tiada tawakkal tanpa upaya. Rasulullah bersabda:

لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ, تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

"Kalau kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, maka niscaya Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung; ia pergi pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, lalu pulang pada sore hari dalam keadaan kenyang" [H.R. Tirmidzy dan Ahmad]

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwas berkata: "Allah dan RasulNya menganjurkan umat Islam untuk berusaha dan bekerja. Apapun jenis pekerjaan itu selama halal, maka tidaklah tercela. Para nabi dan rasul juga bekerja dan berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya. Demikian ini merupakan kemuliaan, karena makan dari hasil jerih payah sendiri adalah terhormat dan nikmat. Kalau kita sudah berusaha semaksimal mungkin, Insya Allah, rezeki itu akan Allah berikan sebagaimana burung, yang pagi hari keluar dari sarangnya dalam keadaan lapar, kemudian pada sore hari pulang dalam keadaan kenyang. " [Majalah As-Sunnah, edisi 2005]

Dan berikut adalah hadits agung nan berfaedah besar yang menunjukkan bahwa perniagaan secara umum, selama dalam jalan halal, maka mengangkat derajat pelakunya:

لأَنْ يَأْخُذَ اََحَدُكُمْ اَحْبُلَهُ ثُمَّ يَاْتِى الْجَبَلَ فَيَاْتِىَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِخِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ اَعْطَوْهُ اَوْ مَنَعُوْهُ.

"Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak" [H.R. Bukhari]

 Penjual Herbal Bisa Lebih Dimuliakan Lagi 

Yaitu dengan menjadikan produk jualan atau berdagangnya, sebagai salah satu upaya berdakwah. Bisakah? Bisa. Di beberapa produk madu, kurma dan lainnya, tertera beberapa keterangan akan khasiat produk disertai HADITS Nabi mengenainya. Jika si pedagang meniatkannya sebagai dakwah atau nasyrul ilm [menyebarkan ilmu], tentu ada pahala atas niat tersebut. Belum lagi jika si pedagang menjelaskan kepada konsumen perihal hadits tersebut. Bukankah ini sebuah upaya jempolan dan tidak remeh?

Dan kita -sekaya apapun orang tua kita- tetap harus down to earth dalam bermuamalah dan menimbang banyak hal. Tidak bisa kita katakan bahwa pedagang herbal atau semacamnya adalah pedagang kacangan. Sebaliknya, bagi saya pribadi, sebagian mereka adalah pedagang eksekutif [karena gaya berdagang yang ada nafas rabbany] dengan jajaan yang eksekutif pula [karena produknya adalah obat dan relatif alami]. 

Sedangkan jika kita menyempitkan pandangan dengan mengatakan bahwa berniaga HARUS menjanjikan income dan advantage besar, maka ini perlu kritikan tajam. Tidak semua trading dilakukan demi memperkaya diri. Sebagian [atau bahkan kebanyakan] pedagang berdagang karena ingin mempertahankan ketegakan finansial dan menutup lubang-lubang; bukan untuk menjadi gurita ekonomi. Dan mereka sedianya adalah pencoba peruntungan; di mana mereka sendiri tidak tahu apakah usahanya melejitkan kuantitas pendapatan atau bahkan sekedar balik modal.

Mengalahkan Kedigdayaan Non-Muslim [Barat]?

Pertama, tidak dengan cara menerobos di dunia perniagaan secara pragmatis. HARUS tahu agama dulu, baru ada pencanangan untuk mengungguli Barat. Dan untuk saat ini, pengetahuan agama [tentang halal-haram dan terkait masalah takdir Allah] bagi para pedagang atau pengusaha masih tergolong minim. Wajar kita katakan: 'Banyak pengusaha yang berhasil kaya, namun dibangun di atas pengetahuan agama yang miskin.'

Dampaknya?

Praktek Riba, Black Market atau Malmarket, penipuan online atau offline di lapangan, bercecaran tak terhitung. Seakan jika seorang idealis ingin berjualan di pasar, ia wajib untuk mempraktekkan magic market kalau ingin mendapat laba yang membuat bibir senyum. Padahal segala rizki dari Allah, dan akan kembali dipertanyakan oleh Allah. Maka, apakah dengan niat mengungguli Barat, kita melakukan cara-cara kebarat-baratan dan memposisikan syariat [hukum] Islam di pojok ruang idealisme sebagai solusi terakhir? 

Jawabannya: Tidak

Wallahu a'lam
------------------------------------------------------

Hadits dan faedah kalimat Ustadz Yazid Jawwas diambil dari almanhaj.or.id

No comments:

Post a Comment