Sunday, September 23, 2012

Berpecah Belah

oleh Hasan Al-Jaizy

Pertanyaan: 'Apakah sama berpecah belah [tafarruq] dengan berbeda [ikhtilaf]?'
Jawaban: Tentu saja tidak. Untuk pembuktian logika, saya bertanya: 'Ketika Anda mengatakan A dan saya mengatakan B, apakah itu berarti Anda dan saya berpecah belah?' 

Nah, Anda sudah ketemu jawabannya. Sekarang, kita membahas masalah perpecahan di tubuh umat ini dan penyebab terbesarnya. Tentu bukan hal yang aneh ketika kita melihat adanya gontok-gontokan, saling tinju argumen, saling melempar bata tuduhan dan ujung-ujungnya adalah stempel atau cap kaki di jidat.

Perpecahan itu dilarang dalam agama Islam; karena hal tersebut menunjukkan tidaknya bersatu umat ini dalam kebenaran dan jauhnya dari petunjuk Allah. Sebagaimana terfirmankan:

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًۭا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [Q.S. Ali Imran: 103]

Dari ayat tersebut kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwasanya penyebab paling utama percerai beraian dan perpecahan adalah tidak berpegang teguhnya umat pada agama Allah. Dan salah satu bentuk real kontemporer untuk itu : fanatisme golongan dan kelompok yang beraroma religius.

Apakah Perbedaan Adalah Perpecahan?

Jawabannya hampir sama seperti di atas, yaitu 'belum tentu'. Anda tidak bisa memaksakan diri dan orang lain untuk menjadikan kata Khilaf/Ikhtilaf dan Tafarruq sebagai sinonim. Salah besar. Karena itu sama saja menuding siapapun dari sahabat, tabi'in dan seluruh ulama sebagai orang2 yang berpecah belah. 

Perbedaan pendapat, pandangan, penarikan kesimpulan dari dalil dan anggapan adalah suatu tabiat basyariyyah yang terlekat pada hampir di setiap hembusan nafas syariat Islam. Karena yang berbicara syariat adalah ulama [atau minimal: thullab al-ilm]. Dan ulama juga manusia yang tiap-tiapnya dianugerahi akal namun dengan kadar dan kualitas tak sama. Ini salah satu penyebab terjadinya ikhtilaf.

Jadi, jangan berburu nafas dan langsung menjadi banteng bertanduk ketika melihat ada seseorang berbeda pandangan pada kita di masalah furuu' [cabang], seperti permasalahan2 fiqhiyyah atau pandangan sosial atau lainnya. Masing2 beralasan. Namun bukan berarti setiap perbedaan adalah dipersilahkan dan tidak setiap alasan juga diterima. 

Malah bisa saja, perpecahan disebabkan oleh orang yang menganggap setiap perbedaan adalah perpecahan. Ini terjadi, bukan? Ketika seseorang bersikeras dengan pendapat gurunya, lalu mengingkari pendapat pedepokan lain sekeras-kerasnya; padahal sama-sama beralasan dan termasuk perkara khilafiyyah yang dipersilahkan. Yang akhirnya, justru kekerasan dalam mengingkari mewariskan satu warna baru dalam perpecahan.

Faktor Sombong dan Dengki 

Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Umar, bahwasanya penyebab pembangkangan adalah:

الْكِبْرُ وَالْحَسَدُ

Kesombongan dan Kedengkian ini tidak hanya menjangkiti individu saja, tapi bisa pula pada satu golongan lengkap anggotanya. Dan lebih ngeri lagi, bisa saja orang berdalil kuat namun sombong. Namun yang terbanyak adalah sombong berbentuk: mengabaikan apa yang sudah jelas di matanya adalah kebenaran. Itu adalah karakter Yahudi. Seperti yang difirmankan Allah:

وَمَا تَفَرَّقَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَتْهُمُ ٱلْبَيِّنَةُ

"Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata." [Q.S. Al-Bayyinah: 4] 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

وَالْبَغْيُ إمَّا تَضْيِيعٌ لِلْحَقِّ ، وَإِمَّا تَعَدٍّ لِلْحَدِّ ؛ فَهُوَ إمَّا تَرْكُ وَاجِبٍ ، وَإِمَّا فِعْلُ مُحَرَّمٍ ؛ فَعُلِمَ أَنَّ مُوجِبَ التَّفَرُّقِ هُوَ ذَلِكَ

"Dan pembangkangan, bisa jadi berupa pemalingan dari kebenaran, bisa juga pelampauan terhadap batasan, yaitu entah seperti meninggalkan kewajiban, dan entah mengerjakan yang terlarang. Maka, diketahuilah bahwa hal tersebut adalah penyebab percerai-beraian." [Majmu' Al-Fatawa: 1/14]

Wallahu a'lam.

No comments:

Post a Comment