Sunday, November 11, 2012

Buang Angin Sembarangan


oleh Hasan Al-Jaizy

Anda tidak perlu merasa sudah gila untuk menjadi orang gila. Cukuplah lakukan atau ucapkan atau tetapkan sebuah kegilaan. Lalu ketika orang waras mengira Anda sudah gila, tampiklah bahwa Anda tidaklah gila. Kalau bisa, balikkan tudingan bahwa dia lah yang gila, bukan Anda. Maka, Anda sudah mencapai level tertinggi kegilaan. 

Menjadi presiden? Orang gila akan mengatakan dengan kegilaan polosnya, 'Siapa takut!?' Itulah mental orang gila. Dan orang gila di dunia ini tidak cuma satu orang. Berjubel-jubel. Bahkan ada yang sampai membentuk kelompok, forum, grup, gerakan dan selanjutnya. Untuk menjadi gila pun, manusia tidak harus membedah kepala dan membuang otak. Manusia bisa gila dengan otaknya. Bisa dengan berfikir keras.

Saya tidak bisa membayangkan jika seorang penyanyi dangdut menjadi presiden. Bahkan Iwan Fals, yang punya hobi mengkritik pemerintah dan terkesan keren pun, sulit dibayangkan nantinya kalau dia jadi presiden. Karena komentator dan kritikus, dengan wasilah apapun, belum tentu bisa menelurkan ide dan solusi. Mahirnya cuma mengkritik. Ketika ditanam di lapangan, menggeliat bingung seperti belatung terkatung-katung. Lebih-lebih jika sekadar mahir bernyanyi dangdut. Apa jadinya ketika presiden kita hobi membuat manusia joget?

Beberapa masa lalu, presiden kita bernyanyi beberapa tembang. Apa kata manusia? Manusia mengatakan, 'Inilah cerminan presiden kita! Rakyat kesulitan dia malah nyanyi-nyanyi!" dan kritik disertai ejekan lainnya.

Sekarang, beberapa gelintir manusia mengangkat sebuah nama. Nama milik seorang raja. Bukan raja yang menguasai medan peperangan. Bukan pula raja yang dikenal berhasil menyelamatkan bangsanya dari penjajahan. Tetapi raja dangdut. Dang...dut...dang...dut...Raja yang bisa membuat manusia berjoget dan lupa mati.

Bayangkan jika seorang Sule diangkat menjadi calon presiden. Ups, jangan jauh-jauh. Calon camat saja. Jokowi pun akan ngakak sepingkal-pingkalnya. Atau Mas Parto alias Edi Supono menjadi Pak Camat beneran. Nanti apa kerjanya dan bagaimana kinerjanya? Dan bagaimana wibawanya? Andre Stinky juga pernah menyuguhkan diri, tapi tentu saja pasti gagal. Nah, tanyakan itu pada pendangdut.

Yang Penting!

Kaedah absolut benar bagi sebagian manusia berkomposisikan 2 kata dasar: 1. Yang, 2. Penting. Selanjutnya tinggal teruskan dengan objective atau tujuan.

Contoh: Untuk mencalonkan seorang presiden, maka kita angkat Raja Dangdut!

Kaedah 1: "Yang penting pamoritas tinggi dan dikenal baik!"
Kaedah 2: "Yang penting manusia tahu dia baik dan bisa diberi kesempatan untuk memperbaiki umat!"

Jika saya melafadzkan kata 'WOW' sambil salto, koprol, lompat-lompat, nungging Trio Blacan, sit-up, hingga terbang pun tak akan menyembuhkan keheranan ini. Kaedah 'Yang Penting' adalah warisan pemikiran pragmatis. Dan itu adalah penyakit. Hanya orang gila yang menghargai jabatan kepresidenan, kementrian bahkan kecamatan sekalipun dengan harga pamoritas, popularitas dan seni. Lalu kemana pandangan terhadap kapabilitas dan kualitas?

Jawaban: "Lho, yang penting!"

Ini mirip dengan jawaban anak-anak SMP ketika saya mondok dulu. Mau salah mau benar, yang penting! Mau buang angin sembarangan atau dibuang pada tempatnya, yang penting!

Orang gila, jika beropini dengan kegilaannya, ia bagaikan buang 'angin'. Namanya tetap angin. Angin itu bagus. Tapi angin yang ini tidak bagus. Bau. Jelek. Mengurangi keasrian udara. Dan tentu saja, orang gila kalau mau buang angin, mesti sembarangan. Mau dimana saja, sesuka dia, semau dia. Jika dikritik, jawabannya:

"Yang penting!"

Anda tidak perlu merasa sudah gila untuk menjadi orang gila. Cukuplah lakukan atau ucapkan atau tetapkan sebuah kegilaan. Lalu ketika orang waras mengira Anda sudah gila, tampiklah bahwa Anda tidaklah gila. Kalau bisa, balikkan tudingan bahwa dia lah yang gila, bukan Anda. Maka, Anda sudah mencapai level tertinggi kegilaan. Menjadi presiden? Orang gila akan mengatakan dengan kegilaan polosnya, 'Siapa takut!?' Itulah mental orang gila. Dan orang gila di dunia ini tidak cuma satu orang. Berjubel-jubel. Bahkan ada yang sampai membentuk kelompok, forum, grup, gerakan dan selanjutnya. Untuk menjadi gila pun, manusia tidak harus membedah kepala dan membuang otak. Manusia bisa gila dengan otaknya. Bisa dengan berfikir keras. Saya tidak bisa membayangkan jika seorang penyanyi dangdut menjadi presiden. Bahkan Iwan Fals, yang punya hobi mengkritik pemerintah dan terkesan keren pun, sulit dibayangkan nantinya kalau dia jadi presiden. Karena komentator dan kritikus, dengan wasilah apapun, belum tentu bisa menelurkan ide dan solusi. Mahirnya cuma mengkritik. Ketika ditanam di lapangan, menggeliat bingung seperti belatung terkatung-katung. Lebih-lebih jika sekadar mahir bernyanyi dangdut. Apa jadinya ketika presiden kita hobi membuat manusia joget? Beberapa masa lalu, presiden kita bernyanyi beberapa tembang. Apa kata manusia? Manusia mengatakan, 'Inilah cerminan presiden kita! Rakyat kesulitan dia malah nyanyi-nyanyi!" dan kritik disertai ejekan lainnya. Sekarang, beberapa gelintir manusia mengangkat sebuah nama. Nama milik seorang raja. Bukan raja yang menguasai medan peperangan. Bukan pula raja yang dikenal berhasil menyelamatkan bangsanya dari penjajahan. Tetapi raja dangdut. Dang...dut...dang...dut...Raja yang bisa membuat manusia berjoget dan lupa mati. Bayangkan jika seorang Sule diangkat menjadi calon presiden. Ups, jangan jauh-jauh. Calon camat saja. Jokowi pun akan ngakak sepingkal-pingkalnya. Atau Mas Parto alias Edi Supono menjadi Pak Camat beneran. Nanti apa kerjanya dan bagaimana kinerjanya? Dan bagaimana wibawanya? Andre Stinky juga pernah menyuguhkan diri, tapi tentu saja pasti gagal. Nah, tanyakan itu pada pendangdut. Yang Penting! Kaedah absolut benar bagi sebagian manusia berkomposisikan 2 kata dasar: 1. Yang, 2. Penting. Selanjutnya tinggal teruskan dengan objective atau tujuan. Contoh: Untuk mencalonkan seorang presiden, maka kita angkat Raja Dangdut! Kaedah 1: "Yang penting pamoritas tinggi dan dikenal baik!" Kaedah 2: "Yang penting manusia tahu dia baik dan bisa diberi kesempatan untuk memperbaiki umat!" Jika saya melafadzkan kata 'WOW' sambil salto, koprol, lompat-lompat, nungging Trio Blacan, sit-up, hingga terbang pun tak akan menyembuhkan keheranan ini. Kaedah 'Yang Penting' adalah warisan pemikiran pragmatis. Dan itu adalah penyakit. Hanya orang gila yang menghargai jabatan kepresidenan, kementrian bahkan kecamatan sekalipun dengan harga pamoritas, popularitas dan seni. Lalu kemana pandangan terhadap kapabilitas dan kualitas? Jawaban: "Lho, yang penting!" Ini mirip dengan jawaban anak-anak SMP ketika saya mondok dulu. Mau salah mau benar, yang penting! Mau buang angin sembarangan atau dibuang pada tempatnya, yang penting! Orang gila, jika beropini dengan kegilaannya, ia bagaikan buang 'angin'. Namanya tetap angin. Angin itu bagus. Tapi angin yang ini tidak bagus. Bau. Jelek. Mengurangi keasrian udara. Dan tentu saja, orang gila kalau mau buang angin, mesti sembarangan. Mau dimana saja, sesuka dia, semau dia. Jika dikritik, jawabannya: "Yang penting!"

No comments:

Post a Comment