Saturday, November 17, 2012

Sketsa XII

Pengambilan atau pencabutan pusaka dilakukan di tempat itu juga. Ki Joko berkali-kali menatap Purnomo dalam-dalam. Purnomo yang merasa ditatap berkali-kali bukannya kege'eran, malah ketakutan. 

Dua orang yang berpakaian serba hitam menata penempatan semua bahan ritual. Sebuah kendi berisi air diletakkan tepat di atas tanah yang sebelumnya ditaruh makanan. Tempat makanan sudah disingkirkan; karena Ki Joko Bedon menaruhnya di sebuah tempat gelap. Yaitu di rerimbunan rerumputan yang berdempetan dengan pohon. Sangat mungkin dia memanfaatkan momen penyimpanan itu untuk mencicipinya. Tadi ketika menaruhnya, sempat ia hampir muntah, "Hueekkk!" Ah, sepertinya ia lupa kalau makanan itu sudah dilumuri darah ayam. Sungguh terlalu...

Kendi itu dikelilingi beberapa telur ayam. Ditancapkan kemudian beberapa potong bambu di sekitarnya. Lalu kemenyan mulai dibakar.Mereka semua kemudian duduk bersila.

"Kalian semua jangan berkata sepatah apapun dan jangan berfikir apapun kecuali memusatkan pandangan pada benda-benda ini. Jika kalian memikirkan selain itu semua, akan butuh waktu panjang. Sementara tak lama lagi fajar akan menyapa bumi. Jika ayam sudah berkokok, hilang sudah kesempatan kita," kata Ki Joko Bedon.

Purnomo gemetaran sendiri. Ia merasa seakan dibebani dosa dan kesalahan segunung. Mereka pun kembali duduk bersila dan berkeliling. Beberapa obor sudah dimatikan. Yang ada tinggal 2 obor. Keadaan semakin

mencekam. Angin-angin tak bertiup lagi. Gonggongan anjing tak ada sebait pun.

Ki Joko terlihat berkonsentrasi penuh. Ia menahan banyak nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan dan berat. Tangannya kesana-kemari dengan getaran yang dahsyat. Jari-jarinya yang besar disertai kuku panjang seolah mempertontonkan tarian. Namun tarian kejang. Tarian gaib. Sementara beberapa cincinnya yang besar ikut gemetar.

Nafas Ki Joko berat sekali. Sesekali ia melafadzkan beberapa lafadz yang tidak bisa difahami manusia biasa. Lalu tiba-tiba ia melafadzkan lafadz ini berkali-kali dengan nafas tertahan:

"YA WAJIDU YA WAJIDU YA WAJIDU YA WAJIDU"

Beratus kali Ki Joko ulangi, tiba-tiba tanah di dasar kendi bergetar sendiri. Kian lama kian terasa getarannya. Ketujuh orang itu memperhatikan dengan seksama. Begitu pula dengan ketiga pendekar pengintip. Lalu asap halus mengepul dari tanah itu. Masih saja Ki Joko melafadzkan kalimat-kalimat tadi. Semakin parau dan tertahan suaranya, semakin kuat getaran dan mulailah tebal asap berseliweran.

"CTAR!!!!"

Seperti sebuah petasan kecil meledak dari dalam kendi. Sebuah cahaya semacam kilatan tampak sekejap bersamaan dengan suara itu. Tanah di dasar kendi tak lagi bergetar! Asap pun berhenti keluar. Ki Joko menghentikan ritualnya. Ia diam seribu bahasa. Ketujuh orang lainnya juga terdiam. Mereka menatap Ki Joko. Menunggu reaksi apa berikutnya darinya.

"Periksa dalam kendi itu," sahut Ki Joko. Ki Lambad serta merta memeriksanya. Ia memasukkan tangannya ke dalam kendi hendak merogoh ke dalam air. Tiba-tiba ia berteriak, "Aaaakkkhhh!" dan mencabut tangannya. Ia kepanasan. Ternyata air itu memanas. Kok bisa? Penulis, dalang, dan semuanya juga tidak tahu.

"Itu berarti pusaka belum bisa diambil!" sergah Ki Joko dengan nada marah. Ia merasa ada yang tidak beres.

Mendadak ia berdiri dan menoleh kesana kemari. Kelihatannya ia sangat geram! Ketujuh orang lainnya gentar melihatnya. "Aku merasakan ada energi lain di tempat ini yang menghalangi tujuan kita!!!"

Suyuthi, Nawawi dan Syirozi ketakutan di tempat persembunyian mereka. Rupanya sedari ritual dilakukan, mereka bertiga kompak membaca ayat-ayat dan doa-doa dengan harapan menggagalkan semuanya.

Mereka takut Ki Joko dibisiki oleh setan peliharaannya tempat di mana mereka bertiga berada. Dan Ki Joko Bodo masih menoleh ke beberapa semak dan ilalang. Menerawang satu persatu...

...


No comments:

Post a Comment