Monday, November 26, 2012

Pencitraan Ular


oleh Hasan Al-Jaizy

Jakarta di musim hujan. Musim hujan di Jakarta. Jakarta sedang hujan bermusim. Kali-kali kopi susu sedang naik pitam rupanya. Dengan emosi beberapa kali menyerang rumah-rumah di bantaran. Bahkan di beberapa dataran rendah, kali-kali cukup tega membentangkan sayapnya dan menyantroni rumah-rumah yang jauh darinya.

Jakarta di musim panceklik harta. Musim panceklik harta di Jakarta. Jakarta sedang musim panceklik harta. Tanggal tua mencekik banyak manusia. Dengan emosi ketidakberuangan menyerang dan mencekik manusia. Ia membentangkan sayapnya dan menyantroni banyak dari jiwa-jiwa pekerja, meskipun jauh dari kantornya.

Inilah musibah zaman ini...

Ketika dikucurkan rahmat dari langit, rahmat itu berubah menjadi kepayahan, kesulitan, musibah dan kerugian.
Ketika ditahan rahmat dari langit, manusia bertanya-tanya, 'Kenapa yang ada selalu terik? Mana curah hujannya?'
Ketika dikucurkan dana dari rekening, dana itu berubah menjadi pemicu laknat, benci, kehinaan dan kesombongan.
Ketika absennya dana dari rekening, manusia bertanya-tanya, 'Kapankah tiba tanggal muda? Lama sekali!'

Ketika musim banjir di Jakarta, daerah terdekat dengan kali seharusnya waspada sering-sering. Bukan hanya penyakit yang mengintai. Tetapi ada satu hewan yang berkeliaran, yaitu ULAR!

Tidak sekali terlihat ada ular besar [ular Sanca Kembang atau python reticulatus] berkeliaran di area banjir. Melahirkan kengerian dan ketakutan. Perhatikan bayi-bayi dan anak kecil. Bisa saja ular besar itu melahapnya hidup-hidup. Syukurlah belum ada kasus itu.

Ah, ternyata ular itu berkeliaran di rumah warga di masa banjir saja. Ular besar...keliling kampung untuk pencitraan. Lagaknya ingin terlihat turut andil turun ke lapangan. Tapi, yang ada malah pandangan sebal dan takut tertuju padanya. Ular Sanca mengira dengan ia terjun di lapangan saat banjir [padahal sebelumnya ia boro-boro terjun sendiri], maka akan mendapat simpati, aplause, pujian, sanjungan dan seterusnya. Tapi, nyatanya, tidak sedikit malah yang memburunya. Mereka ingin menjualnya ke luar kota.

Kasihan ular-ular pencitraan. Pencitraan dengan mengambil kesempatan. Maka, jangan jadi ular! Walaupun sama buruknya dipandang, tapi kelabang lebih konsisten. Baik banjir maupun kering, kehadirannya ditakuti dan terjadilah pembunuhan.

Jika ingin jadi ular, tidak usah memakai pencitraan. Ular tetap keren dengan ketidakberperasaannya. Tetap seram dengan taring-taringnya. Tetap mencekik dengan lilitannya. Dan tetap dibenci, meski hanya disebut namanya.

No comments:

Post a Comment