Wednesday, November 14, 2012

Sketsa III

oleh Hasan Al-Jaizy

Kedai di perempatan desa itu adalah tempat berkumpulnya banyak pendekar. Terkadang kau lihat beberapa pendekar yang sedang safar dari negeri jauh mengaso di sana. Semua pendekar dari perguruan di mana Suyuthi baru saja lulus, menjadikan kedai itu markas dan pusat transaksi barang-barang selundupan. 

Suyuthi jarang sekali ke sana. Dahulu ketika masih menjadi murid, ia pernah diajak teman-temannya kabur ke kedai. Saat itu paa guru meminta semua muridnya tuk puasa mutih. Hanya makan nasi saja. Jika ada yang tertangkap memakan selain nasi, seperti lauk, atau buah, atau tanah, akan dihukum. Hukumannya tidak tanggung punya rasa. Pelaku akan diminta membangun gapura dalam semalam suntuk tanpa bantuan ifrit atau setan. Tapi siang itu Suyuthi dan teman2 rupanya terburu nafsu ingin membatalkan puasa mutihnya.

Dengan jurus Bayangan Badai, mereka pergi secepat kilat. Saking cepatnya, Suyuthi sempat menabrak seorang nenek jelata di kebun. Nenek itu pun menggerutu sendiri melihat tingkah calon pendekar.r

Tapi itu kenangan masa lalu Suyuthi. Kita kembali ke kedai masa sekarang. Siang sedang di puncak terik. Matahari sedang memalu ubun-ubun petani. Beberapa pendekar sedang

menyantap makanan di kedai. Di antaranya ada Purnomo, pendekar koplak Naga Genit Kopaja 612. Pendekar cerdik dan licik. Ia sedang menyantap burung.

Beberapa pendekar berbincang. Perbincanan yang terpanas ketika itu adalah tentang perguruan Wahabi yang mengancam eksistensi ritual penting di dunia persilatan sabuk hijau. Mereka ini bukanlah pendekar ilmu hitam. Tapi beberapa petinggi perguruan hijau, punya pertemanan baik dan tersembunyi dengan tokoh-tokoh silat hitam. Salah satu tokoh tersadis dari kalangan hitam disebut Syaikh Than, yang hari-harinya dihabiskan untuk bersemedi di Gua Tujuh Tengkorak. Letaknya secara gaib di bukit misterius. Singgasananya ada dalam kulkas.

Sedang lahap dan enaknya para pendekar hijau bercengkrama, masuklah seorang pendekar asing. Pakaiannya serba putih dengan sabuk hitam mencengkram pinggang. Sendalnya adalah sendal gunung. Mereknya Geger. Saingan Eiger. Pendekar itu berwajah tampan dan tampak gagah.

Para pendekar pun melihat dan menatap orang asing itu. Tapi sepertinya pendekar muda ini cuek saja. Purnomo menatap mukanya. Ganteng. Sejenak Purnomo menggumam, 'Sungguh suatu kemustahilan ku punyai rupa seperti pendekar ini.' Lalu ia menatap jenggot pemuda itu. Rapih. Semakin ke bawah, Purnomo mendapatkan sesuatu yang membangkitkan memori dan nafsu amarahnya. Ternyata celana pendekar asing itu cingkrangan!

Purnomo berbisik pada temannya, 'Waspadalah. Ini musuh kita. Dia pendekar dari perguruan 'sawah'. Jika ia mencari masalah, akan ku robek muka ia punya.'

'Aku siap membantumu, kawan. Sudah lama aku basah bermimpi merobek wajah pendekar perguruan sawah. Namun selama ini yang aku punya hanya lintingan tembakau tingwe (linting dhewe). Minta rokoknya, sobat!'

.....


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/462787833762607

No comments:

Post a Comment