oleh Hasan Al-Jaizy
Tak satu kejadian saja, namun berkali-kali terjadi. Ketika manusia berada di ketinggian, ia lupa daratan. Akhirnya ia terjatuh. Manusia kaya harta berpotensi lupa kemiskinan. Begitu pula manusia kaya ilmu, berpotensi lupa kebodohan. Bahkan, manusia yang cantik rupa pun, berpotensi melupakan Mpok Nori.
Tadi, dalam perjalanan pulang kuliah, dari dalam bis Kopaja T57, saya memandang sesuatu. Sesuatu yang kemudian menjadi sesuatu untuk direnungkan. Akhirnya, sesuatu itu menjadi sesuatu malam ini. Yaitu ketika duduk di jendela bis, saya memperhatikan satu gerobak sampah. Penuh dengan sampah dan kotoran. Ia terhenti di pertigaan lampu merah Duren Tiga. Rupanya hendak menyeberang ke seberang namun terhalang merahnya lampu. Di depan gerobak dan penariknya, berjejer motor-motor. Seperti biasa, motor-motor itu berjejer di depan batas perhentian lampu merah.
Gerobak tertancap di sana. Tidak bisa melaju lagi. Dan, 'Tiiin...tiiin' Suara klakson mobil. Di belakangnya ada mobil hitam. 'Tiiin...tiiin'. Oh, rupanya, gerobak itu menghalangi jalan mobil yang ingin belok ke kiri. Tapi, mau apa lagi? Gerobak tak bisa kemana-mana. Mau maju pun sudah terhalangi motor-motor. Tapi, supir mobil itu tetap tak sabaran. Terus saja ia membunyikan klakson. Hmmm...mobilnya mewah. Tapi, sepertinya pengemudinya tidak berotak mewah. Dan saya tidak merasa bersalah menilai seperti itu.
Ada banyak kondisi manusia lain yang perlu kita fahami. Dan jika kondisi itu sudah kita fahami atau kita pandang jelas, maka berbuatlah dan berucaplah padanya sesuai kondisinya. Orang yang diberi kelebihan menghafal cepat, jangan seenaknya menghina orang yang diberi kekurangan dalam menghafal. Anak pengajian, entah dia berumur 20 atau 40, jangan sesombongnya menghina semua yang tidak sepengajian dengannya.
Ketika manusia sedang kaya, ia lebih berpotensi melupakan si miskin. Juga dengan orang-orang alim atau saleh. Ilmu itu bisa juga membuat pemiliknya bangga. Bahkan kesalehan dan amal perbuatan baik bisa membuat pemiliknya sombong.
Kalau sudah merasa saleh, mungkin sudah SAH dan legal dalam menjuluki orang-orang sebagai 'pendosa' dan julukan lain. Kalau begini, ada kemiripan dengan penyeru kebid'ahan. Para penyeru kepada kebid'ahan, mereka mengamalkan amalan bid'ah dengan perasaan itu adalah amalan baik. Nah, sebagaimana orang yang sudah merasa saleh dan lepas dari dosa, ia akan mengatai orang yang tidak ia sukai sebagai 'pendosa'.
Saya teringat beberapa liqa di kelas bersama dosen kami, yaitu Dr. Muslih Abdul Karim. Beberapa kali ia bertanya, "Yang merasa tidak pernah berbuat dosa, tunjuk tangan!" Dan tentu saja tidak ada yang tunjuk tangan. Kenapa? Karena kita semua pendosa!
Pendosa itu artinya 'pelaku dosa' atau 'pelaku perbuatan dosa'. Jika seseorang merasa tidak pernah melakukan dosa sehingga menyebut orang lain 'pendosa', maka kenapa ia tidak cepat-cepat mengubur diri sendiri saja!? Kenapa tidak cepat-cepat wafat!? Karena itu akan mempercepat dirinya ke surga. Jangan berlama-lama di dunia ini; ditakutkan nanti malah jadi 'pendosa'.
Seorang attender kajian yang rutin, bisa jadi merasa tinggi hanya dengan seringnya duduk di majelis ilmu. Lalu memandang tukang cendol dengan rendah. Ayolah, come on. Memang benar, ilmu mengangkat derajat seseorang. Tapi, ingat...bukan engkau yang mengangkat derajatmu sendiri di atas orang. Malah, seharusnya kita iba melihat orang tidak seberuntung kita. Bukan malah melet-melet. Kalau baru bisa jadi pendengar saja sudah blagu, gimana kalau nanti jadi penceramah!?
Kita harus ingat juga, dahulu kita bodoh. Dahulu kita kecil. Sekarang kita besar. Nah, kalau sudah besar, jangan malah melet-melet ke anak kecil dan mengatakan, 'Cucian banget sih, lo, anak kecil. Makanye, gede donk kayak gue!' Orang dewasa yang berbicara seperti itu pada anak kecil, maka ia justru lebih kecil dari anak kecil. Meskipun usianya +40.
Begitu pula dengan orang pintar dan banyak ilmunya. Ketika sudah berilmu, kok malah melet-melet dengan ilmunya. Kemana pergi kewibawaan dan hikmah ilmunya?
Jadi, keramat itu berkaitan dengan kemuliaan. Kubur saja deh sikap memuliakan diri dan menjambani orang lain. Memang benar, ada jenis orang yang patut ditendang dan dihina, tapi tidak sembarang orang, bukan?
Bagaimana cara menjambani diri sendiri di hadapan manusia? Mudah. Caranya: muliakanlah diri sendiri dan hinakan orang lain semaunya...bisa dicoba di status FB. Tidak selamat mencoba!
Tadi, dalam perjalanan pulang kuliah, dari dalam bis Kopaja T57, saya memandang sesuatu. Sesuatu yang kemudian menjadi sesuatu untuk direnungkan. Akhirnya, sesuatu itu menjadi sesuatu malam ini. Yaitu ketika duduk di jendela bis, saya memperhatikan satu gerobak sampah. Penuh dengan sampah dan kotoran. Ia terhenti di pertigaan lampu merah Duren Tiga. Rupanya hendak menyeberang ke seberang namun terhalang merahnya lampu. Di depan gerobak dan penariknya, berjejer motor-motor. Seperti biasa, motor-motor itu berjejer di depan batas perhentian lampu merah.
Gerobak tertancap di sana. Tidak bisa melaju lagi. Dan, 'Tiiin...tiiin' Suara klakson mobil. Di belakangnya ada mobil hitam. 'Tiiin...tiiin'. Oh, rupanya, gerobak itu menghalangi jalan mobil yang ingin belok ke kiri. Tapi, mau apa lagi? Gerobak tak bisa kemana-mana. Mau maju pun sudah terhalangi motor-motor. Tapi, supir mobil itu tetap tak sabaran. Terus saja ia membunyikan klakson. Hmmm...mobilnya mewah. Tapi, sepertinya pengemudinya tidak berotak mewah. Dan saya tidak merasa bersalah menilai seperti itu.
Ada banyak kondisi manusia lain yang perlu kita fahami. Dan jika kondisi itu sudah kita fahami atau kita pandang jelas, maka berbuatlah dan berucaplah padanya sesuai kondisinya. Orang yang diberi kelebihan menghafal cepat, jangan seenaknya menghina orang yang diberi kekurangan dalam menghafal. Anak pengajian, entah dia berumur 20 atau 40, jangan sesombongnya menghina semua yang tidak sepengajian dengannya.
Ketika manusia sedang kaya, ia lebih berpotensi melupakan si miskin. Juga dengan orang-orang alim atau saleh. Ilmu itu bisa juga membuat pemiliknya bangga. Bahkan kesalehan dan amal perbuatan baik bisa membuat pemiliknya sombong.
Kalau sudah merasa saleh, mungkin sudah SAH dan legal dalam menjuluki orang-orang sebagai 'pendosa' dan julukan lain. Kalau begini, ada kemiripan dengan penyeru kebid'ahan. Para penyeru kepada kebid'ahan, mereka mengamalkan amalan bid'ah dengan perasaan itu adalah amalan baik. Nah, sebagaimana orang yang sudah merasa saleh dan lepas dari dosa, ia akan mengatai orang yang tidak ia sukai sebagai 'pendosa'.
Saya teringat beberapa liqa di kelas bersama dosen kami, yaitu Dr. Muslih Abdul Karim. Beberapa kali ia bertanya, "Yang merasa tidak pernah berbuat dosa, tunjuk tangan!" Dan tentu saja tidak ada yang tunjuk tangan. Kenapa? Karena kita semua pendosa!
Pendosa itu artinya 'pelaku dosa' atau 'pelaku perbuatan dosa'. Jika seseorang merasa tidak pernah melakukan dosa sehingga menyebut orang lain 'pendosa', maka kenapa ia tidak cepat-cepat mengubur diri sendiri saja!? Kenapa tidak cepat-cepat wafat!? Karena itu akan mempercepat dirinya ke surga. Jangan berlama-lama di dunia ini; ditakutkan nanti malah jadi 'pendosa'.
Seorang attender kajian yang rutin, bisa jadi merasa tinggi hanya dengan seringnya duduk di majelis ilmu. Lalu memandang tukang cendol dengan rendah. Ayolah, come on. Memang benar, ilmu mengangkat derajat seseorang. Tapi, ingat...bukan engkau yang mengangkat derajatmu sendiri di atas orang. Malah, seharusnya kita iba melihat orang tidak seberuntung kita. Bukan malah melet-melet. Kalau baru bisa jadi pendengar saja sudah blagu, gimana kalau nanti jadi penceramah!?
Kita harus ingat juga, dahulu kita bodoh. Dahulu kita kecil. Sekarang kita besar. Nah, kalau sudah besar, jangan malah melet-melet ke anak kecil dan mengatakan, 'Cucian banget sih, lo, anak kecil. Makanye, gede donk kayak gue!' Orang dewasa yang berbicara seperti itu pada anak kecil, maka ia justru lebih kecil dari anak kecil. Meskipun usianya +40.
Begitu pula dengan orang pintar dan banyak ilmunya. Ketika sudah berilmu, kok malah melet-melet dengan ilmunya. Kemana pergi kewibawaan dan hikmah ilmunya?
Jadi, keramat itu berkaitan dengan kemuliaan. Kubur saja deh sikap memuliakan diri dan menjambani orang lain. Memang benar, ada jenis orang yang patut ditendang dan dihina, tapi tidak sembarang orang, bukan?
Bagaimana cara menjambani diri sendiri di hadapan manusia? Mudah. Caranya: muliakanlah diri sendiri dan hinakan orang lain semaunya...bisa dicoba di status FB. Tidak selamat mencoba!
No comments:
Post a Comment