Wednesday, November 21, 2012

Jika Yakinmu Kau Tak Bisa, Kau Takkan Bisa


oleh Hasan Al-Jaizy

Seorang santri, telah dinyatakan lulus dari pendidikan pesantrennya secara resmi. Yang kini ia lakukan sebagai amanah teremban adalah keluar gerbang pondoknya dan menyiarkan apa yang telah terbekali selama belajar di sana. Apa lagi selain ilmu? 

Rupanya ia tergolong santri rajin dan pintar. Nilai hasil ujiannya mengagumkan. Dan jika kau berbicara dengannya, ibarat berbicara dengan seorang sarjana agama era 80-an. Dan jika kau berbicara dengannya, kau seakan adalah seorang sarjana agama pasca 2000. Kenapa sarjana agama pasca 2000? Karena kesarjanaan banyak sarjana kini ibarat kiamat ilmiah. Setelah lulus, tidak lagi menggali ilmu lebih, namun mencari uang semata dengan bekal sederhana. Dan banyak ilmu-ilmu dilupakan. Ditinggalkan. Yang terpandang sekarang adalah bagaimana mendapatkan uang, jabatan dan martabat di mata manusia. Bukankah begitu, wahai aku?

Remaja ini pun diutus ke sebuah kampung. Untuk berdakwah. Ia dibekali uang dan materi secukupnya oleh pondok. Namun bekal terbaik dan terbesarnya adalah ilmu. Namun, apa yang terjadi 2 bulan kemudian? Pengusiran. Warga kampung mengembalikannya. Terlihat wajah-wajah benci. Terucap kalimat-kalimat benci. Apa gerangan yang telah terjadi?

Padahal dahulu ia adalah raja santri di bidang ilmu. Dielu-elukan banyak guru. Namun, seolah kini ia tiada berarti. Justru merugikan manusia. Rupanya ia berdakwah dengan cara yang mengharuskan para pendengar mengepalkan tangan. Ilmu yang disampaikan adalah benar, namun cara menyampaikan tidak benar. Jika menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikan dengan cara tidak benar, maka bilakah akan sampai manusia pada kebenaran!?

Maka, guru-guru pun menasihatinya agar kembali mengkaji dan menggali ilmu sosial dan ilmu dakwah. Ia pun berusaha mempelajarinya berwaktu lamanya. Beberapa masa kemudian, ia kunjungi kampung kakeknya. Hendak berdakwah di sana. Ia pun mempraktekkan ilmu sosial dan dakwah yang telah dipelajarinya dengan dalam.

Ia mulai diikuti. Beberapa manusia menyukai. Namun, kemudian ia terjebak dalam lingkaran perasaannya sendiri. Rupanya ia meninggi. Manusia pun satu-persatu membenci. Akhirnya kembali ia menitiskan air mata karena mengakhiri semuanya dengan kehampaan.

Maka, guru-guru pun menasihatinya agar kembali mengkaji hati dan menggali sumur perasaan agar terus merendah. Sebait kalimat sombong bisa saja hancurkan segunung ilmu. Lalu, ia pun menelaah kembali hati, keikhlasan dan kerendahannya. Beberapa masa kemudian, ia pergi ke kota dan tinggal di sana. Rupanya di kota, kehidupan begitu ketat. Tidak ada jasa diberi tanpa uang dipunya. Senyum-senyum dan keramahan harus dibeli dengan uang. Karena tidak terbiasa bekerja, ia pun kehabisan uang. Dan berakhirlah cerita kota dengan sakit-sakitan. Orang-orang tak peduli sakitnya. Ketidakpedulian itu menambah sakitnya. Lalu kembalilah ia ke pangkuan para guru.

Maka, guru-guru pun menasihatinya agar bekerja dan mencari penghasilan. Jangan mengharapkan bantuan semata tanpa keringat berada. Bahkan burung pun bisa arungi sehutan demi dapatkan penghasilan. Lalu mengapa manusia mampu kembangkan yang teringinkan -dengan izin Allah- namun mematikannya!? Ia pun belajar kembali mengasah kemampuan yang ada selain ilmu agama. Dan seterusnya....

Dan aku tidak tahu apalah artinya tulisan ini tanpa mendapat suatu pelajaran darinya...

No comments:

Post a Comment