Wednesday, November 14, 2012

Sketsa VI

...berdebar jantung mereka bertiga. Tadinya Syirozi ingin memegang tangan Nawawi karena ada rasa takut hinggap di hatinya. Tapi, ia mengurungkan niatnya. Sebagai calon pendekar, ia harus kuat dan tegar.

Mereka melewati hutan bambu. Di sana-sini, bambu-bambu seakan berubah menjadi kuntilanak. Bambu-bambu terkekeh-kekeh. Kayu-kayunya bergesekan menimbulkan bunyi tawa berirama mengejek yang membuat bulu-bulu berdiri. Itu bukan masalah bagi penulis jika pembaca membayangkan bulu-bulu berdiri. Bulu apakah yang berdiri? Tafsiran ada di masing-masing otak. Hanya pemilik bibir tersenyum lah yang fikirannya 'reget'. Sepertinya itu kamu!

"15 tombak dari sini, adalah gubuk Mbah Maherjaen!" bisik Suyuthi perlahan dan hati-hati. Kedua temannya menyimak.

"Sungguh, kawan...aku tidak tahu siapa itu Mbah Maherjaen. Kau yang sudah bermasa lamanya tinggal di kampung ini, tentulah tahu gerangan siapa ia," bisik Syirozi.

Mereka bertiga berhenti sejenak di dekat sebuah pohon besar sekali. "Aku ceritakan sedikit mengenai legenda Mbah Maherjaen itu. Ia dahulu adalah tokoh di dunia persilatan suara. Tidaklah ia mampu berkelahi. Ia hanya mampu menyihir manusia dengan suara emasnya. Dulu, semua manusia tercandu akan suaranya dan menunggu selalu ia keluarkan suara. Bahkan, ketika berdehem pun, mereka menyukainya. Lebih parahnya, ia adalah seorang yang dikenal mubadzir dalam mengeluarkan tenaga dalamnya. Karena itu, ia dikenal sering sekali buang angin dengan suara merintih."

"Oouhh," kedua temannya menganga dengan polos. "Lalu, mengapa gubuknya dikenal angker atau malah dikeramatkan?"

"Aku juga tidak begitu tahu, kawan. Dikabarkan ia mati dalam keadaan bernyanyi. Itu disebabkan saking cintanya ia akan nyanyian. Lalu para dukun setempat menyuruh penduduk banyak-banyak mengorbankan hewan ternaknya. Penduduk diminta sembelih hewan-hewan itu di malam tertentu di dalam gubuk itu. Dikatakan, itu untuk meringankan dosa Mbah Maherjein yang selama hayatnya dikutuk untuk terus 'merintih' melalui jalur alternatif Pantura."


Sedang asyik cerita, Suyuthi melihat satu bayangan hitam berkelebat cepat menuju gubuk itu. "Diam semua tak bergerak! Aku harap kenal siapa dia!" bisik Suyuthi. Suyuthi mengingat-ingat siapa yang diperintahkan tuk berkhalwat di gubuk itu. Ia pun ingat.

"Aku tahu, ia adalah Gus Rambutan!" bisiknya lagi. "Kita lempari saja gubuknya dengan kerikil. Biar dia terganggu dan keluar!"

"Apa kau tidak takut balasan buruk bagi orang yang menzalimi hamba-Nya?" tanya Syirozi dengan kepolosan tingkat menengah.

"Justru ini pencegahan agar mereka tidak berbuat zalim, kawan. Mereka tidak sekadar berdiam dan bertafakkur di sana. Tapi Gus Rambutan adalah salah satu pembesar yang punya ilmu hitam memanggil arwah! Aku yakin, di dalam gubuk keramat itu, ia akan menanyakan 'nomor' pada arwah penunggu jamban dalam gubuk itu!" sahut Suyuhti hampir menempeleng temannya.

"Memangnya nomor apakah yang hendak ia tanyakan?"

"Nomor plat mobil yang hilang! Sontoloyo pula kau punya otak. Hampir saja aku menyesal punya teman seperti kau. Ayo, ikuti aku melempar!"

Suyuthi pun mulai melempar. Trak trak trak. Beberapa kerikil mengetuk kayu-kayu gubuk dengan keras. Disambut lagi dengan lemparan kerikil lainnya. Trak trak trak trek trek. Hampir saja menjadi sebuah aransemen bagus untuk grup Soneta. Wah, nada dan dakwah. Sepertinya memang benar, pemimpin grup Soneta itu sebentar lagi akan jadi pemimpin kerajaan. Jika itu terjadi, maka kiamat memang sudah dekat.

Tapi, berkali-kali mereka melempar, tak ada respon dari dalam gubuk. Suyuthi pun gemas dan penasaran. Ia mengajak kedua temannya untuk menghampiri gubuk dan merasuk ke dalamnya dengan nekad demi ketahui apa gerangan yang dilakukan Gus Rambutan.

"Wah, jangan...jangan...sungguh aku tak berani!" sahut Syirozi.

"Aku merasa ngeri. Tak terbayang kengerian apa yang akan tergambar di dalam pekatnya gubuk itu," pula tukas Nawawi. Mereka berdua gentar.

Suyuthi pun berjalan menuju gubuk gelap itu sendirian. Ia mulai membaca-baca beberapa ayat dan wirid dengan bisikan tak henti. Sementara di belakangnya, Nawawi dan Syirozi terhentak diam di jalan kenangan sambil bergandengan tangan saking ketakutan.

Dan...

No comments:

Post a Comment