Thursday, November 29, 2012

Menggali Kuburan Keramat


oleh Hasan Al-Jaizy

Lumayan mnyesal kenapa dahulu di Salatiga dan Pontianak tidak menulis diary, buku harian atau minimal buku semesteran untuk merunut kejadian-kejadian. Lalu diberi judul Kitab Kejadian. Nah, sekarang saat ingin mengenang, rupanya banyak cerita yang membangkai tak hidup lagi. Padahal banyak cerita yang layak diceritakan. Dan banyak pelajaran bisa digali pula. Tapi mau apa lagi?

Salah satu cara agar bisa menulis dengan baik atau terbiasa menulis adalah dengan menulis buku diary. Kalau hari gini, Anda bisa menggantinya dengan menulis status atau tulisan di blog. Dulu, mayoritas penulis diary adalah perempuan. Dampaknya, mereka lebih pintar dalam melukiskan cerita dan peristiwa dengan tinta dibandingkan pria. Kalau kata beberapa pria, 'Cuih, buat apa sih nulis diary? Ga ada manfaatnya!?'

Mereka berkata seperti itu seolah-olah mereka sudah menggunakan seluruh waktu untuk meraih manfaat. Memangnya menonton TV program hiburan lebih bermanfaat?! Soal manfaat, menulis apapun selama dalam proses pelatihan akan memberi manfaat pada pelaku. Dan komentar manusia tidak selalu bermanfaat. Jadi, untuk perkara ini, lebih baik Anda menjadi pelaku daripada sekadar berkadar sebagai komentator.

Penulis sendiri melihat adanya shahwah (kebangkitan) dalam perihal tulis menulis di beranda pesbuk ini. Yaitu ingatan tentang masa lalu, beranda dipenuhi status2 yang sekalinya irit : irit sekali dan sekalinya panjang : panjang sekali. Dan lucunya (bagi saya lucu) karya sendiri ngirit sekali sementara yang panjang malah tulisan orang yang ditempel. Ya, itu sah-sah saja toh? Terserah dia donk!? Gila lu,ndro?

Lalu ada pembelaan. 'Masalah buat mbahmu? Yang penting kan tulisannya ilmiah!' Yo saya bisa balikkan: 'Yang ilmiah itu penulis aslinya, bukan kamu nya. Atau yang ilmiah itu tulisannya, dan tulisan itu bukan milikmu.' Ketika itu, saya cukup terhibur dengan lawakan beberapa orang yang ketika kita hidangkan tulisan karya sendiri malah dibilang 'Ah, sotoy ente!' tapi ketika kita minta bagaimana caranya agar terhindar dari penyakit sotoymie, mereka tunjukkan Ctrl+C dan Ctrl+V. Sebenarnya itu lawakan. Tapi trik Ctrl itu tetap sah dan seringkali bermanfaat.

Tapi itu dulu, ketika banyak orang lagi semangat2nya karena derajat pemula atay newbie. Ingat lho, defender dan pembela terkeras dalam kelompok apapun adalah newcomer/newbie. Yang sudah sesepuh biasanya malah nyantai, elegan tapi ngena.

Kalau sekarang, penulis melihat sendiri adanya kebangkitan itu. Yaitu: teman2 kelihatannya mulai 'berani' menulis. Bukan menulis satu paragraf saja, tapi banyak. Berani menuangkan isi fikirannya. Tapi ya tidak semuanya berani ambil risiko dituding sok tahu, keluar dari manhaj, bermanhaj gado-gado, guncang, warna-warni, pramuka, sawah, kepiting, yuyu dan lainnya. Karena takutnya itu, kadang mau menulis apa yang menjadi pertanyaan hati, malah tidak jadi dan dihapus lagi. Karena berfikr, kalau saya mnulis ini, nanti fulan dan fulan akan komentar dan ngecap udel saya semau jidatnya. Padahal pertanyaan saya ini penting.

Permalaikat (lawan persetan) dengan cap-cap komentator, selama yang Anda tulis benar. Tetapi, masalahnya bgini: apa yang Anda yakini benar : belum tentu diyakini orang lain. Makanya, ketika Anda punya pendapat X dengan dalil Y dan difahami dengan kaedah Z, bisa jadi hancur. Dihancurkan oleh apa? Dihancukan oleh fatwa ulama atau kutipan dari seorang alim. Padahal Anda yakin apa yang Anda yakini benar dan terbangun di atas kebenaran. Lalu mengalirlah cap-cap: jahil, sok tahu, berbicara tanpa ilmu, suombuong, menyelisihi, dan seterusnya.

Nyambungnya kemana-mana ya? Saya jadi bingung nih. Ternyata bel masuk sudah bunyi. Dosen sudah masuk. Pesan saya terakhir:

"Jangan cuma bisa mengomentari jika sebenarnya bisa berkarya sendiri. Jangan cuma bisa menilai selama mampu menciptakan."

No comments:

Post a Comment