oleh Hasan Al-Jaizy
Jika sedang 'sayang' sama teman dekat, saya akan mengajaknya ngobrol ringan. Pertanyaan yang saya keluarkan berkisar sesuatu yang teman harapkan. Karena mendengar atau membaca harapan teman itu -selama itu positif- menambah erat ikatan batin. Jika yang dihadapi adalah pekerja atau pedagang, obrolan santai berkenaan apa rencana ke depan dan harapannya. Bagaimana pendapatan atau kondisi kerjaannya sekarang. Jika yang dihadapi seorang muda yang beristri, bisa ditanya berharap dapat anak laki atau perempuan. Kenapa dan apa harapannya.
Kalau yang dihadapi bujangan tulen, pertanyaan klasik, 'Kapan ente nikah?' yang tentu saja bukan bermaksud mengejek. Wongs saya juga belums koks.
Seperti beberapa menit tadi pagi di kelas. Saya sempatkan duduk di samping teman saya dari Lamongan, Jawa Timur. Tahun 2008 saya pernah kunjungi kampungnya. Sebenarnya cukup lama tidak bercengkrama dengan anak satu ini.
Detik itu, ia sedang menatap kertas ringkasan pelajaran Tarbiyah. Tatapannya kosong. Saya perhatikan mukanya beberapa detik. Lalu bertanyalah saya, 'Lagi belajar, bro?'
Tidak sempat ia menjawab, langsung saja malah curhat, 'Ane bingung nih. Tadi malam ana ringkas sampai jam setengah 12.' Lalu saya perhatikan kertas ringkasannya. Tidak begitu rapih memang. Tapi, bukan itu yang ingin saya bahas. Lalu, saya bertanya tiba-tiba,'Ente kapan nikah?'
Lagi-lagi dia tidak menjawab dengan bahasa langsung. Malah curhat lagi. "Ane dilarang nikah, san."
"Whoa, maksud ente...ente ga dibolehin nikah sebelum lulus kuliah?"
"Iya. Ane udah pernah bilang sama ortu ane."
Hmmm...Saya malah jadi teringat teman2 FB. Ada beberapa teman FB paling usil dalam bicara nikah. Ada pula yang malah menggalau gara2 digembosi kawannya untuk nikah. Tapi itu hak masing-masing. Mau usil atau galau silahkan. Cuma jangan berlebihan. Dan kalau ditentang ya dirasakan saja.
Tapi, saya membayangkan teman saya ini jika ia juga bekecimpung di FB seperti saya dan berteman dengan kompor-kompor yang kadang suka ngeek bujangan. Bisa jadi ia akan galau. Bukan galau karena geje dan tambah kebelet nikah. Tetapi galau karena ia harus menahan diri demi bakti, turuti permintaan orang tua dan konsentrasi pada ilmu. Masalah lainnya, kadang orang mengkiaskan suatu perkara dalam hidup orang lain dengan miliknya. Akhirnya ada yang nyeletuk, 'Ah, alesan aje tuh ga nikah. Mana ada ortu cegah anaknya nikah?' Dari sini, terlihat jelas kesoktahuan manusia.
Mendengar tuturan teman saya itu, saya memaklumi. Sama sekali tak ada pihak yang layak disalahkan. Itu hak ortu dia juga yang meminta anaknya nikah selepas kuliah. Bukan hak komentator atau kritikus, meskipun menenteng dalil keutamaan menikah dengan seluruh jalur periwayatan. Memangnya situ siapa? wkwk.
Kemudian saya mengalihkan pembahasan. "Abis lulus, ente mau jadi apa?" Ini pertanyaan favorit saya. Sangat menyenangkan mengetahui cita-cita orang lalu mendoakannya. Siapa tahu nanti ketika kita masing-masing sudah jadi orang besar, kita bersua dan mengenang kebersamaan masa yang telah lama berlalu.
Mendengar pertanyaan itu, ia nyeletuk, "Bupati!"
Seketika saya pun membalas, "Aamiin!" meskipun ia tadi sekadar celetuk saja. Tapi jawaban itu saya harapkan teristijabah. Lebih baik Lamongan dikepalai teman saya yang kenal ilmu syar'i daripada dikepalai orang sekuler. Woah, saya pun kemudian dicurigai oleh beberapa orang, 'Wah, ente pro demokrasi ya, san?' Menjawabnya ya cengir-cengir saja. Hehe. Emangnya situ, antipati berlebihan dan seakan tanpa harapan!? Bahkan kalau ada seorang alim yang faham ilmu syar'i dan saleh pengen jadi presiden, yo saya dukung. Alhamdulillah. Cuma, pertanyannya: 'ada gak orang kayak gitu?'
Daripada begini ga boleh begitu ga boleh lalu ditanya, 'emang bolehnya jadi apa?' lalu menjawab, 'jadi kayak gue nih dan golongan gue. Loe selamat deh.'
Teman saya tadi hanya bercanda kok. Tapi, kalau dia serius, saya amini berkali-kali. Kalau ada teman yang saya kenal baik dan berilmu ingin jadi ketua NU, Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, Camat, Lurah atau apapun yang masih ada celah baiknya atau bisa menjadi kendaraan untuk menebar maslahat, ya saya timpali dengan 'aamiin'.
Tapi mungkin ada yang menimpali, "Gila lu, Ndro! Ternyata lu hizby, pro-demokrasi, senang umat terpecah, bergolong-golong!"
Saya jawab sedikit, "Terus, gue harus bilang 'naudzubillah' gitu? Seakan yang punya cita-cita memperbaiki rumah rusak dianggap hina? Seakan semua cita-cita yang ga sesuai dengan AD ART kelompokmu harus dianggap miring!? Tega lu, Kas!"
Jangan kege'eran.
Kalau yang dihadapi bujangan tulen, pertanyaan klasik, 'Kapan ente nikah?' yang tentu saja bukan bermaksud mengejek. Wongs saya juga belums koks.
Seperti beberapa menit tadi pagi di kelas. Saya sempatkan duduk di samping teman saya dari Lamongan, Jawa Timur. Tahun 2008 saya pernah kunjungi kampungnya. Sebenarnya cukup lama tidak bercengkrama dengan anak satu ini.
Detik itu, ia sedang menatap kertas ringkasan pelajaran Tarbiyah. Tatapannya kosong. Saya perhatikan mukanya beberapa detik. Lalu bertanyalah saya, 'Lagi belajar, bro?'
Tidak sempat ia menjawab, langsung saja malah curhat, 'Ane bingung nih. Tadi malam ana ringkas sampai jam setengah 12.' Lalu saya perhatikan kertas ringkasannya. Tidak begitu rapih memang. Tapi, bukan itu yang ingin saya bahas. Lalu, saya bertanya tiba-tiba,'Ente kapan nikah?'
Lagi-lagi dia tidak menjawab dengan bahasa langsung. Malah curhat lagi. "Ane dilarang nikah, san."
"Whoa, maksud ente...ente ga dibolehin nikah sebelum lulus kuliah?"
"Iya. Ane udah pernah bilang sama ortu ane."
Hmmm...Saya malah jadi teringat teman2 FB. Ada beberapa teman FB paling usil dalam bicara nikah. Ada pula yang malah menggalau gara2 digembosi kawannya untuk nikah. Tapi itu hak masing-masing. Mau usil atau galau silahkan. Cuma jangan berlebihan. Dan kalau ditentang ya dirasakan saja.
Tapi, saya membayangkan teman saya ini jika ia juga bekecimpung di FB seperti saya dan berteman dengan kompor-kompor yang kadang suka ngeek bujangan. Bisa jadi ia akan galau. Bukan galau karena geje dan tambah kebelet nikah. Tetapi galau karena ia harus menahan diri demi bakti, turuti permintaan orang tua dan konsentrasi pada ilmu. Masalah lainnya, kadang orang mengkiaskan suatu perkara dalam hidup orang lain dengan miliknya. Akhirnya ada yang nyeletuk, 'Ah, alesan aje tuh ga nikah. Mana ada ortu cegah anaknya nikah?' Dari sini, terlihat jelas kesoktahuan manusia.
Mendengar tuturan teman saya itu, saya memaklumi. Sama sekali tak ada pihak yang layak disalahkan. Itu hak ortu dia juga yang meminta anaknya nikah selepas kuliah. Bukan hak komentator atau kritikus, meskipun menenteng dalil keutamaan menikah dengan seluruh jalur periwayatan. Memangnya situ siapa? wkwk.
Kemudian saya mengalihkan pembahasan. "Abis lulus, ente mau jadi apa?" Ini pertanyaan favorit saya. Sangat menyenangkan mengetahui cita-cita orang lalu mendoakannya. Siapa tahu nanti ketika kita masing-masing sudah jadi orang besar, kita bersua dan mengenang kebersamaan masa yang telah lama berlalu.
Mendengar pertanyaan itu, ia nyeletuk, "Bupati!"
Seketika saya pun membalas, "Aamiin!" meskipun ia tadi sekadar celetuk saja. Tapi jawaban itu saya harapkan teristijabah. Lebih baik Lamongan dikepalai teman saya yang kenal ilmu syar'i daripada dikepalai orang sekuler. Woah, saya pun kemudian dicurigai oleh beberapa orang, 'Wah, ente pro demokrasi ya, san?' Menjawabnya ya cengir-cengir saja. Hehe. Emangnya situ, antipati berlebihan dan seakan tanpa harapan!? Bahkan kalau ada seorang alim yang faham ilmu syar'i dan saleh pengen jadi presiden, yo saya dukung. Alhamdulillah. Cuma, pertanyannya: 'ada gak orang kayak gitu?'
Daripada begini ga boleh begitu ga boleh lalu ditanya, 'emang bolehnya jadi apa?' lalu menjawab, 'jadi kayak gue nih dan golongan gue. Loe selamat deh.'
Teman saya tadi hanya bercanda kok. Tapi, kalau dia serius, saya amini berkali-kali. Kalau ada teman yang saya kenal baik dan berilmu ingin jadi ketua NU, Muhammadiyyah, Persis, Al-Irsyad, Camat, Lurah atau apapun yang masih ada celah baiknya atau bisa menjadi kendaraan untuk menebar maslahat, ya saya timpali dengan 'aamiin'.
Tapi mungkin ada yang menimpali, "Gila lu, Ndro! Ternyata lu hizby, pro-demokrasi, senang umat terpecah, bergolong-golong!"
Saya jawab sedikit, "Terus, gue harus bilang 'naudzubillah' gitu? Seakan yang punya cita-cita memperbaiki rumah rusak dianggap hina? Seakan semua cita-cita yang ga sesuai dengan AD ART kelompokmu harus dianggap miring!? Tega lu, Kas!"
Jangan kege'eran.
No comments:
Post a Comment