Wednesday, November 14, 2012

Sketsa VII


"Ora ono wonge!" teriak Suyuhti menyeruak keluar dari gubuk. 

"Lho, kok iso???" seru Syirozi dan Nawawi berbarengan sembari melepaskan tangan yang sebelumnya saling bergandeng.

"Yo, mbuh ra ngerti. Jan tenan. Anyep tenan neng jero, dhes. Wedhi aku," tuksa Suyuthi.

TIBA-TIBA Nawawi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Kat! Kat! Kat! Kok jadi bahasa Jawa sih? Nanti pembaca pada ga ngerti lho?"

AKhirnya penulis status ini pun mengembalikan bulu-bulu yang berdiri pada pendiriannya.

=====================

"Lalu, kita hendak ke mana, kawan? Aku sudah mulai merasakan angin yang tidak baik di sini," ujar Nawawi. Matanya gentayangan ke sana ke mari. Sesekali ia menatap gubuk yang terlihat semakin gelap saja isinya.

"Kita ke makam pemilik gubuk ini. Di sana ada temanku. Ia sedang mendalami suatu ilmu hitam diam-diam. Aku tahu itu. Aku uji ingatan kalian kini. Berapa jarak antara gubuk ini dan makam pemiliknya?" tanya Suyuthi menguji.

"40 tombak!" jawab Nawawi dan Syirozi serempak ga pake pegangan tangan lagi.

"Ah, bagus! Rupanya kalian berdua tidak seperti sebagian teman perguruan kalian yang ditanya sedikit langsung ruju ke Mbah Gagal. Lalu salin tempel seolah-olah tahu banyak. Ikut aku. Kita akan lewati beberapa pohon-pohon besar. Ketika kau lewati itu semua, jangan lepaskan lisan kalian dari ayat Kursi!" ucap Suyuthi dengan mantap.

Mereka menyusuri semak-semak dan beberapa pohon beringin. Nawawi merasa seakan ada yang memanggil-manggil namanya dari sebuah pohon beringin. Tapi, ia melawan perasaan itu dengan membaca ayat dan berusaha menerjemahkan artinya satu huruf satu huruf. Syirozi pun tak kalah terpacu pula jantungnya berdebar. Belum pernah seumur-umur ia menjelajah tempat keramat dan menelusuri tempat-tempat yang mengerikan. Selama ini, yang ia tahu hanya 2 hal: "1. Bid'ah, 2. Syirik". Karena dua hal itu selalu menjadi jurus terseru yang dipelajari di perguruan sawah.

"Diam. Jangan bersuara sedikitpun. Kau dengar itu!?" tukas Suyuthi sembari menghentikan langkah kedua temannya. Mereka mengheningkan cipta. Berusaha mencerna sekunyah-kunyahnya apa yang bisa didengar.

Ternyata ada sesuatu! Suara tangisan!!!

Mereka bertiga bergidik terdiam. Tubuh mereka seakan kaku mendengar tangisan itu. Sumbernya berasal dari sebuah pohon beringin besar. Rupanya di sanalah makam Mbah Maherjaen. Suyuthi tahu itu. Mereka bertiga belum sempat memandang ke sana. Jaraknya tak terlalu jauh adanya. Sekira 10 tombak terlempar berjarak.

Suyuthi, Syirazi dan Nawawi komat-kamit membaca ayat Kursi namun suara tangisan tak kunjung usai. Sepertinya baterainya belum lama di-cas.

Suyuthi mengepalkan tangan. Ia harus membalikkan badan dan melihat apa dan siapa gerangan di makam itu. Apakah benar itu temannya yang sedang menangis? Namun itu suara tangisan wanita. Atau lebih tepatnya, bersuara seolah nenek-nenek. Atau, malah nenek temannya?

Sembari menggamit tangan Nawawi untuk mendapatkan energi kekuatan hati untuk membalikkan badan, Suyuthi membalikkan badan....

DAN...

RUPANYA pemilik status ini harus pergi berbelanja bahan-bahan jualan emak di Pasar Jati untuk esok hari. Emak saya jualan pepes lho. Jika Anda suka pepes dan belum pernah mencicipi pepes buatan emak saya, itu berarti Anda belum mencicipi pepes hakikat. Pepes emak saya adalah pepes terbaik. Saya rekomendasikan agar Anda mencicipi pepes emak saya, meskipun sedikit, meskipun hanya mengunyah daun bungkusnya saja, atau tusuk lidinya. Super sekali.

Status ini mungkin akan diteruskan di tengah malam...mungkin pula tidak.

No comments:

Post a Comment