oleh Hasan Al-Jaizy
Kenapa banyak kawan-kawan yang tidak melapangkan dada dan mudah menyerang tetapi ketika dilawan justru tidak bisa menjelaskan? Tidak menghargai ijtihad pihak lain yang sebenarnya masih bisa dimaklumi dan diterima. Bahkan mengeluarkan jurus delete-remove atau langsung saja cap Ahlul Bida'!? Dan kadang malah dengan tidak beradabnya menampar seorang ustadz yang belajar berpuluh tahun dan mempelajari kitab2 tak terhitung!?
Jawaban KEDUA adalah:
[2] Tidak Memahami Adab Khilaf dan Perkara Khilafiyyah ATAU Jika Memahami, Tidak Mau Berlapang Dada [Praktek Adab]
Ulama manapun akan mengatakan bahwa zaman sekarang ini Fiqh Al-Khilaaf memiliki kepentingan yang sangat bagi para dai. Fitnah yang terjadi, seperti tersebarnya kesesatan, hizbiyyah, perpecahan, hajr sepihak dan lain-lain utamanya disebabkan hilangnya atau kurangnya Adab Khilaf.
Khalal [kecacatan] dalam Adab Khilaf bisa terjadi pada thullab, bisa juga terjadi pada ulama. Tapi, yang tentu saja banyak bergulir adalah di antara thullab atau duat [dai-dai]. Yang lebih spesifik, mengenai perkara fiqhiyyah far'iyyah. Jika dua orang atau bahkan dua kelompok bentrok karena masalah Qunut Subuh, pembacaan basmalah sebelum Al-Fatihah dalam shalat Jahr, dan semacamnya, maka inilah yang kecacatan dalam Adab Khilaf.
Dan kadang seseorang tidak memahami adanya khilaf dalam suatu perkara, tetapi langsung menganggapnya final. Siapapun yang menyelisihi, maka pasti disebut 'sesat'. Ketidaktahuan akan khilaf bisa lebih disifati jumud dibanding ketidaksempurnaan beradab dalam perkara khilafyyah. Seperti halnya orang yang sudah menghasankan sebuah ritual bid'ah, mau disebut banyak dalil beserta wajah pendalilan, tetap bersikukuh di tempat.
Khilaf itu sendiri dari segi umumnya terbagi menjadi dua: Khilaf Tanawwu' [perselisihan yang bersifat variatif] seperti kaum salaf menafsirkan salah satu kata dalam ayat berbeda-beda tafsiran. Khilaf ini maqbuul selama disodorkan oleh ulama, bukan oleh juhala atau kusala. Kedua: Khilaf Tudhaad [perselisihan yang bersifat kontradiktif] seperti sebagian ulama Syafi'iyyah menganggap pelafalan niat sebelum shalat itu tidak diperlukan sama sekali, tetapi sebagian mereka menganggap pelafalan niat sebelum shalat itu 'dianjurkan', dengan alasan penguatan [ta'kiid] niat. Untuk khilaf semacam ini, tentu diperlukan tinjauan dalil dan wajah pendalilan agar bisa men-tarjih mana yang benar. Dan membutuhkan ilmu2 yang sudah saya sebutkan di atas.
Dan khilaf dari segi penerimaan terbagi menjadi dua: Khilaf Saaigh Mu'tabar [perselisihan yang dianggap] dan Khilaf Ghairu Saaigh Ghairu Mu'tabar [yang tidak dianggap]. Pembahasan ini panjang sekali.
Para mahasiswa Fakultas Syariah di kampus penulis, mempunyai mata kuliah Fiqh tiap harinya. Kitab yang dipegang adalah kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd Al-Maliky. Dahulu, penulis dan kawan-kawan adalah anak-anak yang buta akan masalah khilaf. Dulu, dengan mudah kami menghakimi ini dan itu bid'ah karena menyelisihi apa yang dipelajari di pondok dulu. Tapi, ketika Allah membuka cakrawala pandangan fiqhiyyah lebih luas, kami menyadari kemudian bahwa perkara Fiqh itu tidak sesempit yang kami yakini dahulu. Karena itulah, kalau sekiranya antum bertemu anak LIPIA, tanyakan juga sekarang masih duduk di I'dad, Takmily atau sudah Syariah? Jika jawabannya 'Syari'ah', maka insya Allah lumayan balanced. Karena dengan kitab Bidayatul Mujtahid tersebut, kami menemukan ratusan perkara Fiqhiyyah yang diperselisihkan hukumnya. Itu pun tidak semuanya. Ada lagi ribuan perkara yang belum dicatat Ibnu Rusyd.
Penulis sendiri pernah merasakan 'getahnya' ketika berusaha sebisanya [dengan keterbatasan] untuk 'memberitahu' atau memahamkan. Yaitu memahamkan seorang daiyah [dai wanita] yang mempunyai 'hobi' mencoreng segala perkara yang bertentangan atau menyelisihi keyakinannya. Dengan selalu mengatasnamakan 'salaf', segala jenis penyimpangan [menurutnya] dibantai. Jika rupanya beliau memberitahu siapa beliau, dan seberapa kadar keilmuan yang dimiliki, maka masih bisa kita angkat topi. Tapi, sayangnya kondisi dan kesiapaannya itu majhul. Lebih dahsyatnya, semua artikel pembantai yang disebarkan adalah hasil ijtihad, yang tidak lain tidak bukan adalah ijtihad copy paste.
Ketika itu penulis berusaha meluruskan sedikit pemahaman mengenai Ikhtilaaf di sebuah foto yang berturut sebuah artikel. Menurut penulis, tulisan hasil ijtihad copas tersebut tidak berimbang dan berat sebelah, yaitu menghakimi bahwa seluruh perkara khilafiyyah adalah buruk dan tercela. Ini bathil. Dan para ulama pun berselisih. Bahkan sudah masyhur di kalangan orang yang 'belajar' bahwa ulama dari zaman ke zaman memiliki perselisihan pendapat, baik dalam skala individual, maupun dalam skala madzhab. Kemudian penulis menyebutkan perbedaan antara Ikhtilaaf [Perbedaan Pendapat] dengan Iftiraaq [Perpecahan].
Sayangnya, beberapa ikhwah justru menyalahkan apa yang penulis tulis. Yang ujung-ujungnya: remove from friendlist.
Di sinilah seharusnya kita -ikhwan dan ikhwat, dai dan daiyah- jika memang ingin menuntut ilmu dan berdakwah, maka fahami juga Adab Khilaf. Jangan hanya mengandalkan label manhaj atau penisbatan pada generasi terbaik. Jika orang yang berpayah mencari ilmu saja bisa terkena syubhat 'pamer-ilmu', lebih-lebih orang yang sekadar mengandalkan label dan penisbatan, meskipun banyak berbicara mengenai perkara agama, tapi sebenarnya yang ia bicarakan adalah kalimat dan ijtihad orang lain secara komplit.
Ada kitab yang sangat bagus dan 'adil' dalam membahas Adab Khilaf, yaitu kitab Adab Al-Khilaf karya Dr. Yasir Burhamy asal Mesir. Juga ada serial kajian Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid yang sangat penting bagi thullab al-ilm, terutama yang haus di bidang Ushul Fiqh, yaitu serial Manhaj Al-Istidlaal wa At-Talaqqi inda As-Salaf. Semua ada di Internet.
--bersambung--
Jawaban KEDUA adalah:
[2] Tidak Memahami Adab Khilaf dan Perkara Khilafiyyah ATAU Jika Memahami, Tidak Mau Berlapang Dada [Praktek Adab]
Ulama manapun akan mengatakan bahwa zaman sekarang ini Fiqh Al-Khilaaf memiliki kepentingan yang sangat bagi para dai. Fitnah yang terjadi, seperti tersebarnya kesesatan, hizbiyyah, perpecahan, hajr sepihak dan lain-lain utamanya disebabkan hilangnya atau kurangnya Adab Khilaf.
Khalal [kecacatan] dalam Adab Khilaf bisa terjadi pada thullab, bisa juga terjadi pada ulama. Tapi, yang tentu saja banyak bergulir adalah di antara thullab atau duat [dai-dai]. Yang lebih spesifik, mengenai perkara fiqhiyyah far'iyyah. Jika dua orang atau bahkan dua kelompok bentrok karena masalah Qunut Subuh, pembacaan basmalah sebelum Al-Fatihah dalam shalat Jahr, dan semacamnya, maka inilah yang kecacatan dalam Adab Khilaf.
Dan kadang seseorang tidak memahami adanya khilaf dalam suatu perkara, tetapi langsung menganggapnya final. Siapapun yang menyelisihi, maka pasti disebut 'sesat'. Ketidaktahuan akan khilaf bisa lebih disifati jumud dibanding ketidaksempurnaan beradab dalam perkara khilafyyah. Seperti halnya orang yang sudah menghasankan sebuah ritual bid'ah, mau disebut banyak dalil beserta wajah pendalilan, tetap bersikukuh di tempat.
Khilaf itu sendiri dari segi umumnya terbagi menjadi dua: Khilaf Tanawwu' [perselisihan yang bersifat variatif] seperti kaum salaf menafsirkan salah satu kata dalam ayat berbeda-beda tafsiran. Khilaf ini maqbuul selama disodorkan oleh ulama, bukan oleh juhala atau kusala. Kedua: Khilaf Tudhaad [perselisihan yang bersifat kontradiktif] seperti sebagian ulama Syafi'iyyah menganggap pelafalan niat sebelum shalat itu tidak diperlukan sama sekali, tetapi sebagian mereka menganggap pelafalan niat sebelum shalat itu 'dianjurkan', dengan alasan penguatan [ta'kiid] niat. Untuk khilaf semacam ini, tentu diperlukan tinjauan dalil dan wajah pendalilan agar bisa men-tarjih mana yang benar. Dan membutuhkan ilmu2 yang sudah saya sebutkan di atas.
Dan khilaf dari segi penerimaan terbagi menjadi dua: Khilaf Saaigh Mu'tabar [perselisihan yang dianggap] dan Khilaf Ghairu Saaigh Ghairu Mu'tabar [yang tidak dianggap]. Pembahasan ini panjang sekali.
Para mahasiswa Fakultas Syariah di kampus penulis, mempunyai mata kuliah Fiqh tiap harinya. Kitab yang dipegang adalah kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd Al-Maliky. Dahulu, penulis dan kawan-kawan adalah anak-anak yang buta akan masalah khilaf. Dulu, dengan mudah kami menghakimi ini dan itu bid'ah karena menyelisihi apa yang dipelajari di pondok dulu. Tapi, ketika Allah membuka cakrawala pandangan fiqhiyyah lebih luas, kami menyadari kemudian bahwa perkara Fiqh itu tidak sesempit yang kami yakini dahulu. Karena itulah, kalau sekiranya antum bertemu anak LIPIA, tanyakan juga sekarang masih duduk di I'dad, Takmily atau sudah Syariah? Jika jawabannya 'Syari'ah', maka insya Allah lumayan balanced. Karena dengan kitab Bidayatul Mujtahid tersebut, kami menemukan ratusan perkara Fiqhiyyah yang diperselisihkan hukumnya. Itu pun tidak semuanya. Ada lagi ribuan perkara yang belum dicatat Ibnu Rusyd.
Penulis sendiri pernah merasakan 'getahnya' ketika berusaha sebisanya [dengan keterbatasan] untuk 'memberitahu' atau memahamkan. Yaitu memahamkan seorang daiyah [dai wanita] yang mempunyai 'hobi' mencoreng segala perkara yang bertentangan atau menyelisihi keyakinannya. Dengan selalu mengatasnamakan 'salaf', segala jenis penyimpangan [menurutnya] dibantai. Jika rupanya beliau memberitahu siapa beliau, dan seberapa kadar keilmuan yang dimiliki, maka masih bisa kita angkat topi. Tapi, sayangnya kondisi dan kesiapaannya itu majhul. Lebih dahsyatnya, semua artikel pembantai yang disebarkan adalah hasil ijtihad, yang tidak lain tidak bukan adalah ijtihad copy paste.
Ketika itu penulis berusaha meluruskan sedikit pemahaman mengenai Ikhtilaaf di sebuah foto yang berturut sebuah artikel. Menurut penulis, tulisan hasil ijtihad copas tersebut tidak berimbang dan berat sebelah, yaitu menghakimi bahwa seluruh perkara khilafiyyah adalah buruk dan tercela. Ini bathil. Dan para ulama pun berselisih. Bahkan sudah masyhur di kalangan orang yang 'belajar' bahwa ulama dari zaman ke zaman memiliki perselisihan pendapat, baik dalam skala individual, maupun dalam skala madzhab. Kemudian penulis menyebutkan perbedaan antara Ikhtilaaf [Perbedaan Pendapat] dengan Iftiraaq [Perpecahan].
Sayangnya, beberapa ikhwah justru menyalahkan apa yang penulis tulis. Yang ujung-ujungnya: remove from friendlist.
Di sinilah seharusnya kita -ikhwan dan ikhwat, dai dan daiyah- jika memang ingin menuntut ilmu dan berdakwah, maka fahami juga Adab Khilaf. Jangan hanya mengandalkan label manhaj atau penisbatan pada generasi terbaik. Jika orang yang berpayah mencari ilmu saja bisa terkena syubhat 'pamer-ilmu', lebih-lebih orang yang sekadar mengandalkan label dan penisbatan, meskipun banyak berbicara mengenai perkara agama, tapi sebenarnya yang ia bicarakan adalah kalimat dan ijtihad orang lain secara komplit.
Ada kitab yang sangat bagus dan 'adil' dalam membahas Adab Khilaf, yaitu kitab Adab Al-Khilaf karya Dr. Yasir Burhamy asal Mesir. Juga ada serial kajian Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid yang sangat penting bagi thullab al-ilm, terutama yang haus di bidang Ushul Fiqh, yaitu serial Manhaj Al-Istidlaal wa At-Talaqqi inda As-Salaf. Semua ada di Internet.
--bersambung--
No comments:
Post a Comment