oleh Hasan Al-Jaizy
Suatu hari, Al-Arify mengisi pengajian kecil-kecilan dan santai. Ia duduk-duduk di sekitar orang, yang mereka semua adalah kaum awam dan berkemampuan ilmu rendah. Di majelis tersebut, tiada yang menonjol di antara hadirin kecuali seorang kakek tua. Dia disegani bukan karena apa, melainkan usia.
Al-Arify dalam sebuah kebetulan, menyampaikan satu fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-. Selesai kutipan, kakek itu berkata dengan irama bangga dan binar mata, "Kau tahu? Syaikh bin Baz adalah teman saya ketika belajar di masjid. Di kajiannya Syaikh Muhammad bin Ibrahim, sekitar 40 tahun lalu!"
Cerita di atas singkat sekali. Dan bisa berlalu dengan singkat. Namun saya juga teringat pada nama-nama besar yang juga saya kagumi. Mereka bernama besar, berpangkat tinggi dan bergelimang sukses tentu bukan sebuah kebetulan semua terjadi. Karena jika ada air bergelombang, pasti ada penyebabnya, sekecil apapun ia. Bahkan gunung pun takkan jadi tanpa kerikil dan bebatuan.
Dan orang-orang besar, mereka begitu membanggakan. Membuat bangga keluarganya, kerabatnya, rekan-rekannya, teman-temannya bahkan pencelanya di masa lalu. Tiap orang besar yang kau dan aku kagumi, mereka memiliki masa lalu dan sejarah hayat. Dan di antara lembaran masa lalu mereka, tercantum nama-nama pendengki atau pencela.
Ketika gunung adalah gunung, banyak orang mendakinya. Lalu mereka berbangga bahwa mereka pernah mendakinya. Kenapa? Karena gunung itu tinggi, sedangkan mereka rendah dan pernah mencicipi ketinggiannya.
Kamu sekarang adalah kecil. Bukanlah kamu melainkan bukan siapa-siapa. Tapi, ambisi dan harapanmu bisa menyeretmu menuju puncak gunung. Di hari ini banyak makhluk julurkan lidah di depan mukamu. Atau ada pula yang tidak kenalimu. Tapi....
Ketika terkenal dan ternama nya kau nanti, semua seolah mengingat bahwa mereka pernah menjadi teman bermain kelerengmu. Atau pernah sekelas denganmu. Atau pernah mengenalimu. Atau pernah berteman denganmu di jejaring sosial. Bahkan guru-guru di sekolah dasarmu kelak menabur hikayat tentangmu di masa kecil. Padahal belum tentu mereka kala kecilmu perhatikanmu.
"Saya pernah kenal dengan si Fulan"
"Saya pernah bermain dengan si Fulan"
"Saya dulu teman sebangkunya si Fulan"
"Saya dulu ketua kelasnya si Fulan"
Orang-orang berbangga ketika temannya di puncak. Sedangkan ketika kau di kaki gunung, mereka belum tentu mengangkatmu. Bahkan ketika terpurukmu, beum tentu mereka menolongmu.
Dan mengapa orang-orang seperti Al-Albany, ibn Baz, Al-Utsaimiin -rahimahumullah- ketika mereka wafat, mimbar-mimbar termangu, perpustakaan-perpustakaan merunduk, dan kaset-kaset menangis? Sedangkan ketika seorang yang tak bernama atau berjasa meninggal nanti, bisa jadi tiada siapapun menangisi! Kecuali hanya ikutan tradisi semata....atau ritual 40-an yang sebenarnya adalah pesta setelah matinya!?
Lalu kenapa gula dikerubuti semut...sementara garam tak hendak dikerubuti siapa-siapa?
Al-Arify dalam sebuah kebetulan, menyampaikan satu fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-. Selesai kutipan, kakek itu berkata dengan irama bangga dan binar mata, "Kau tahu? Syaikh bin Baz adalah teman saya ketika belajar di masjid. Di kajiannya Syaikh Muhammad bin Ibrahim, sekitar 40 tahun lalu!"
Cerita di atas singkat sekali. Dan bisa berlalu dengan singkat. Namun saya juga teringat pada nama-nama besar yang juga saya kagumi. Mereka bernama besar, berpangkat tinggi dan bergelimang sukses tentu bukan sebuah kebetulan semua terjadi. Karena jika ada air bergelombang, pasti ada penyebabnya, sekecil apapun ia. Bahkan gunung pun takkan jadi tanpa kerikil dan bebatuan.
Dan orang-orang besar, mereka begitu membanggakan. Membuat bangga keluarganya, kerabatnya, rekan-rekannya, teman-temannya bahkan pencelanya di masa lalu. Tiap orang besar yang kau dan aku kagumi, mereka memiliki masa lalu dan sejarah hayat. Dan di antara lembaran masa lalu mereka, tercantum nama-nama pendengki atau pencela.
Ketika gunung adalah gunung, banyak orang mendakinya. Lalu mereka berbangga bahwa mereka pernah mendakinya. Kenapa? Karena gunung itu tinggi, sedangkan mereka rendah dan pernah mencicipi ketinggiannya.
Kamu sekarang adalah kecil. Bukanlah kamu melainkan bukan siapa-siapa. Tapi, ambisi dan harapanmu bisa menyeretmu menuju puncak gunung. Di hari ini banyak makhluk julurkan lidah di depan mukamu. Atau ada pula yang tidak kenalimu. Tapi....
Ketika terkenal dan ternama nya kau nanti, semua seolah mengingat bahwa mereka pernah menjadi teman bermain kelerengmu. Atau pernah sekelas denganmu. Atau pernah mengenalimu. Atau pernah berteman denganmu di jejaring sosial. Bahkan guru-guru di sekolah dasarmu kelak menabur hikayat tentangmu di masa kecil. Padahal belum tentu mereka kala kecilmu perhatikanmu.
"Saya pernah kenal dengan si Fulan"
"Saya pernah bermain dengan si Fulan"
"Saya dulu teman sebangkunya si Fulan"
"Saya dulu ketua kelasnya si Fulan"
Orang-orang berbangga ketika temannya di puncak. Sedangkan ketika kau di kaki gunung, mereka belum tentu mengangkatmu. Bahkan ketika terpurukmu, beum tentu mereka menolongmu.
Dan mengapa orang-orang seperti Al-Albany, ibn Baz, Al-Utsaimiin -rahimahumullah- ketika mereka wafat, mimbar-mimbar termangu, perpustakaan-perpustakaan merunduk, dan kaset-kaset menangis? Sedangkan ketika seorang yang tak bernama atau berjasa meninggal nanti, bisa jadi tiada siapapun menangisi! Kecuali hanya ikutan tradisi semata....atau ritual 40-an yang sebenarnya adalah pesta setelah matinya!?
Lalu kenapa gula dikerubuti semut...sementara garam tak hendak dikerubuti siapa-siapa?
No comments:
Post a Comment