Sunday, November 11, 2012

RISALAH UNTUK THULLAB AL-ILM : [4] "Tidak IKHLAS Dalam Mencari Ilmu"

oleh Hasan Al-Jaizy

Kenapa banyak kawan-kawan yang tidak melapangkan dada dan mudah menyerang tetapi ketika dilawan justru tidak bisa menjelaskan? Tidak menghargai ijtihad pihak lain yang sebenarnya masih bisa dimaklumi dan diterima. Bahkan mengeluarkan jurus delete-remove atau langsung saja cap Ahlul Bida'!? Dan kadang malah dengan tidak beradabnya menampar seorang ustadz yang belajar berpuluh tahun dan mempelajari kitab2 tak terhitung!?

Jawaban KETIGA adalah:

Sekilas faktor ketiga ini (ketidakikhlasan dalam menuntut ilmu) terkesan seperti tidak 'nyambung' dengan bahasan utama. Penulis tekankan kini bahwa ketidakikhlasan sangat berkaitan dengan serang-menyerang tidak dalam kebenaran dan kesombongan. Tapi sebelum melanjutkan paragraf berikut, penulis juga hendak menyatakan bahwa menulis ini bukan berarti bermaksud menuding pihak tertentu secara khusus bahwa mereka tidak ikhlas dalam menuntut ilmu. Bahkan, tulisan ini merupakan salah satu bentuk atau trik untuk memotivasi penulisnya sendiri agar memperbaiki dirinya pula.

Saya mulakan dengan hadits ini:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama’ atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka”. [H.R. Tirmidzy]

Siapakah di antara kita yang yakin dan mampu memastikan diri sendiri selama ini ikhlas? Apakah kita sudah mengenyahkan niat-niat yang buruk itu?

Mungkin tanpa sadar dahulu atau bahkan akhir-akhir ini mendebat orang bodoh tanpa tujuan baik. Murni hanya berdebat dan meninggi. Lalu kita membuka-buka kitab dengan ketergesaan untuk menghancurkan argumen orang bodoh. Dan disertai caci maki menyakitkan hati.

Atau tanpa sadar kita merasa lebih hebat dari para ulama, baik itu dengan ucapan langsung atau tidak langsung. Dengan ucapan langsung ketika kita katakan, 'Ustadz fulan adalah ahlul bida' atau hizby tulen' di depan manusia, padahal ustadz yang dimaksud tidak terbukti sifat-sifat buruk. Jika ada ketergelinciran dari ustadz terkait, itu hanya sedikit bagai kerikil di kaki gunung. Dengan tingkah tidak langsung kita menampik dan menertawai ijtihad-ijtihad yang sah dari beberapa ulama.

Atau tanpa sadar kita ingin dipandang, dilihat dan dianggap oleh manusia. Dipandang berilmu, dilihat saleh atau dianggap bermanhaj. Lalu kemanakah esensi kalimat 'Laa ilaaha illallaah' jika ternyata jalan yang kita tempuh adalah jalan ketidakikhlasan???

Saudara kita Abu Zuhriy berkata, "Termasuk kesalahan dalam menuntut ilmu adalah ketika ia meniatkan ilmu yang ia peroleh tersebut untuk hanya SEKEDAR MENAMBAH/MEMPERLUAS WAWASAN (tanpa ada niat sedikitpun untuk mengamalkannya), atau ia meniatkannya hanya untuk mendebat orang lain dengan ilmunya, atau hanya untuk merendahkan orang lain dengan ilmu tersebut, atau hanya untuk menjadikan ilmu tersebut sebagai ‘senjata’ untuk menyerang orang lain…"

"Sehingga ketika ia membaca satu ayat/hadits (yang berisi kejelekan) ia tujukan ayat tersebut kepada orang lain, dan ia lupa kepada dirinya yang memiliki kejelekan yang banyak.."

"Sehingga ketika ia membaca satu ayat/hadits (yang berisi kebaikan) ia tujukan ayat tersebut kepada dirinya sendirinya, padahal ia tidak mempunyai kebaikan.."

Cap-cap negatif yang kita stempelkan pada orang lain atau bahkan pada ulama, apakah itu 'darurat' dan tugas kita? Baiklah. Benar, memang banyak orang yang berhak dilabeli sebagai ini itu [negatif], tetapi alangkah baiknya kita imbangi dengan doa untuk mereka. Dengan doa yang murni, bukan doa-doaan.

Bayangkan...

Kenapa banyak kawan-kawan yang tidak melapangkan dada dan mudah menyerang tetapi ketika dilawan justru tidak bisa menjelaskan? Tidak menghargai ijtihad pihak lain yang sebenarnya masih bisa dimaklumi dan diterima. Bahkan mengeluarkan jurus delete-remove atau langsung saja cap Ahlul Bida'!? Dan kadang malah dengan tidak beradabnya menampar seorang ustadz yang belajar berpuluh tahun dan mempelajari kitab2 tak terhitung!? Jawaban KETIGA adalah: Sekilas faktor ketiga ini (ketidakikhlasan dalam menuntut ilmu) terkesan seperti tidak 'nyambung' dengan bahasan utama. Penulis tekankan kini bahwa ketidakikhlasan sangat berkaitan dengan serang-menyerang tidak dalam kebenaran dan kesombongan. Tapi sebelum melanjutkan paragraf berikut, penulis juga hendak menyatakan bahwa menulis ini bukan berarti bermaksud menuding pihak tertentu secara khusus bahwa mereka tidak ikhlas dalam menuntut ilmu. Bahkan, tulisan ini merupakan salah satu bentuk atau trik untuk memotivasi penulisnya sendiri agar memperbaiki dirinya pula. Saya mulakan dengan hadits ini: مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang yang bodoh atau menandingi para ulama’ atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya kedalam api neraka”. [H.R. Tirmidzy] Siapakah di antara kita yang yakin dan mampu memastikan diri sendiri selama ini ikhlas? Apakah kita sudah mengenyahkan niat-niat yang buruk itu? Mungkin tanpa sadar dahulu atau bahkan akhir-akhir ini mendebat orang bodoh tanpa tujuan baik. Murni hanya berdebat dan meninggi. Lalu kita membuka-buka kitab dengan ketergesaan untuk menghancurkan argumen orang bodoh. Dan disertai caci maki menyakitkan hati. Atau tanpa sadar kita merasa lebih hebat dari para ulama, baik itu dengan ucapan langsung atau tidak langsung. Dengan ucapan langsung ketika kita katakan, 'Ustadz fulan adalah ahlul bida' atau hizby tulen' di depan manusia, padahal ustadz yang dimaksud tidak terbukti sifat-sifat buruk. Jika ada ketergelinciran dari ustadz terkait, itu hanya sedikit bagai kerikil di kaki gunung. Dengan tingkah tidak langsung kita menampik dan menertawai ijtihad-ijtihad yang sah dari beberapa ulama. Atau tanpa sadar kita ingin dipandang, dilihat dan dianggap oleh manusia. Dipandang berilmu, dilihat saleh atau dianggap bermanhaj. Lalu kemanakah esensi kalimat 'Laa ilaaha illallaah' jika ternyata jalan yang kita tempuh adalah jalan ketidakikhlasan??? Saudara kita Abu Zuhriy berkata, "Termasuk kesalahan dalam menuntut ilmu adalah ketika ia meniatkan ilmu yang ia peroleh tersebut untuk hanya SEKEDAR MENAMBAH/MEMPERLUAS WAWASAN (tanpa ada niat sedikitpun untuk mengamalkannya), atau ia meniatkannya hanya untuk mendebat orang lain dengan ilmunya, atau hanya untuk merendahkan orang lain dengan ilmu tersebut, atau hanya untuk menjadikan ilmu tersebut sebagai ‘senjata’ untuk menyerang orang lain…" "Sehingga ketika ia membaca satu ayat/hadits (yang berisi kejelekan) ia tujukan ayat tersebut kepada orang lain, dan ia lupa kepada dirinya yang memiliki kejelekan yang banyak.." "Sehingga ketika ia membaca satu ayat/hadits (yang berisi kebaikan) ia tujukan ayat tersebut kepada dirinya sendirinya, padahal ia tidak mempunyai kebaikan.." Cap-cap negatif yang kita stempelkan pada orang lain atau bahkan pada ulama, apakah itu 'darurat' dan tugas kita? Baiklah. Benar, memang banyak orang yang berhak dilabeli sebagai ini itu [negatif], tetapi alangkah baiknya kita imbangi dengan doa untuk mereka. Dengan doa yang murni, bukan doa-doaan. Bayangkan...

No comments:

Post a Comment