Wednesday, November 14, 2012

Sketsa IV


oleh Hasan Al-Jaizy

"Ah, kau ini! Kau ibarat kutu di kepalaku atau kutu di kasurku. Senang pula menghisap milikku. Sudah separuh hartaku kau sedot sedari dulu." bisik Purnomo dengan emosi. Pendekar muda ini memang cukup mudah terpancing emosi. Dan hal yang paling membuat emosinya menggeludug adalah sawah dan rokok.

"hehe," temannya tersenyum. Ia sudah mendengar gerutuan itu berkali-kali. Ia sudah mempersiapkan Benteng Takeshi setiap meminta rokok dari Purnomo. Karena pasti kemarahannya muncrat dan menyembur. Tapi, akhir-akhirnya akan dikasih pula.

Kedua bola mata Purnomo masih tertuju pada pendekar muda cingkrangen itu. Ia sedang berbicara sesuatu pada pemilik kedai. Seperti memesan sesuatu. Beberapa pendekar yang duduk di dalam kedai juga mengamati. Mereka siap berkelahi jika memang merasa harus.

Pendekar Cingkrang menoleh kemana-mana. Ia mencari bangku yang kosong. 'Hmm...di sana ada bangku kosong. Aku akan duduk di sana," niatnya dalam bergumam. Tentu saja niatnya itu tidak ia lafadzkan; karena takut dianggap berbuat bid'ah. Ia pun bergegas ke bangku kosong itu. Bangku kosong, yang beberapa tahun kemudian menjadi nama sebuah film horror. Ya, bangku kosong.

Ternyata bangku yang dimaksud adalah kursi di meja Purnomo dan temannya. Dengan tanpa rasa apapun, ia duduk di sana. Purnomo menjadi salah tingkah. Tapi, tentu saja ia menganggapnya benar. Karena didikan perguruannya adalah 'jika kamu seolah-olah melakukan sesuatu yang salah, maka jadikan ia benar dan carilah dalil penguat!' Karena itu, dulu, ketika Purnomo berlatih jurus Bid'ngah Ngasanah, yang ia sadari sendiri bahwa itu adalah ilmu hitam, ia malah mencari-cari dalil pembenaran sahnya jurus itu.

"Assalamualaikum," sapa pendekar muda dengan senyum.

"Wlkmslam," jawab Purnomo dengan bahasa SMS. Hatinya bergetar. Ingus di hidungnya mulai melebarkan penjelajahan hingga hampir jatuh dari ambang hidung. Menunjukkan kebencian yang tak terhingga. Sementara temannya tidak peduli pada keduanya. Yang ia pedulikan adalah bagaimana caranya mengambil rokok Purnomo yang tergeletak di atas meja diam-diam.

"Siapa kau punya namaaaaaa?" tanya Purnomo dengan tenaga dalam. Mendengar suara tenaga dalam seperti itu, sang pendekar muda tersenyum sendiri. 'Loe kira gue ga bisa make tenage dalem?' fikir pendekar muda dalam fikiran. Padahal, yang penulis maksud tenaga dalam adalah gas yang keluar dari mulut setelah makan. Di jelata ia dinamakan Tahak. Di kerajaan ia dinamakan Sendawa.

"Nawawy," jawabnya sigap. Kesigapan itu malah membuat kebencian Purnomo menjadi-jadi.

"Dan berikan aku alasan mengapa kau kemari? Bahkan kau berani duduk di sampingku?"

"Aku kemari hanya untuk makan siang. Jika kau tak hendaki adanya aku di sini, aku siap pergi."

"Dan aku tak sudi kau berada di sini. Jangan kau pancing murkaku. Ini daerah kekuasaanku. Pendekar semacammu tak layak kemari."

"Baiklah jika memang itu maumu." Pendekar muda pun beranjak pergi. Ia mengambil jatah makanan pesanannya, membayar, berbicara sedikir pada pelayan kedai dan keluar.

Purnomo pun berfikir keras, 'Tidak mungkin ada anak perguruan sawah berani kemari. Sendirian pula. Semua orang tahu kedai ini adalah pusat pertemuan banyak pendekar hijau. Aku harus mewaspadai geliat pendekar2 sawah. Bukan tak mungkin ini adalah taktik mereka. Apakah mereka mencoba mengalihkan perhatian para pendekar di kedai ini selayaknya media mengalihkan perhatian rakyat dari isu korupsi ke terorisme? Ah, fikiran macam apa ini!?'

Di tengah kseriusannya berfikir, teman Purnomo berhasil mencomot dua batang rokoknya tanpa disadari sang empu. Skor ketika itu: 2-0.

Masih terus berfikir keras. Purnomo berdiri meninggalkan temannya. Ia mendekati pelayan, 'Kau tahu siapa pendekar muda asing tadi?'

"Hamba tidak tahu, Tuan! Mungkin bawah ane tahu! Nyimak!" tanggap pelayan.

"Adakah hal mencurigakan yang ia katakan padamu?"

"Hamba tidak berfikir curiga, Tuan! Takut kualat berburuk sangka. Tapi, tadi ada yang janggal, Tuan."

"Ya, ya, apa itu? Ceritakan padaku!" tukas Purnomo setengah menjerit. Semua pendekar di dalam kedai cukup terkaget dibuatnya. Mereka pun memasang telinga besar-besar. Menguping. Pasti ada kabar menarik, fikir para pendekar. Tiap tangan mereka menggenggam timun. Ternyata mereka sudah siap update status. Mereka siap share gosip yang sebentar lagi mereka dengar.

"Katakan padaku, apa itu!?" tambah Purnomo sembari mengguncang-guncang bayangannya sendiri.

"D-d-d-d-ia...membayar...s-s-s-emua yang Tuan makan...." jawab pelayan terbata-bata.

Semuanya kaget dan terheran. Purnomo tiba-tiba terdiam. Ia menatap jalan bebatuan lekat-lekat. Banyak hal yang ia fikirkan dengan kerasnya. Banyak pertanyaan semakin tertabur. Apa yang kau fikirkan, Purnomo?

No comments:

Post a Comment