Thursday, November 8, 2012

RISALAH UNTUK THULLAB AL-ILM : [2] "Tidak Belajar Arabic, Ushul Fiqh, Qawaid Fiqhiyyah dan Musthalah Hadits"


oleh Hasan Al-Jaizy

Kenapa banyak kawan-kawan yang tidak melapangkan dada dan mudah menyerang tetapi ketika dilawan justru tidak bisa menjelaskan? Tidak menghargai ijtihad pihak lain yang sebenarnya masih bisa dimaklumi dan diterima. Bahkan mengeluarkan jurus delete-remove atau langsung saja cap Ahlul Bida'!? Dan kadang malah dengan tidak beradabnya menampar seorang ustadz yang belajar berpuluh tahun dan mempelajari kitab2 tak terhitung!?

Jawabannya adalah:

[1] Mereka tidak mempelajari Arabic, kemudian Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah. Kok bisa? Memangnya nyambung? Ya, nyambung sekali. Karena kalau antum melihat para asaatidzah yang sudah menguasai ilmu-ilmu alat di atas, ketika berbicara dan menetapkan suatu hukum/perkara, menggunakan ilmu2 di atas. Baik itu perkara Fiqhiyyah, maupun Aqadiyyah. Tidak asal temu artikel langsung ambil dan diyakini benar karena bertabur dalil.

Sedangkan sebagian kita ini seringkali seakan berbicara dengan dalil, tapi belum tentu memahami dalil dengan baik. Atau dalam artian: 'yang penting gue berdalil'. Imam Asy-Syathiby dalam I'tisham sendiri pernah menegaskan bahwa Ahlul Bida' juga mempunyai dalil untuk memperkuat keyakinan bid'ah atau ritual bid'ah mereka. Tetapi permasalahannya di sini bukan sekadar ada dalil atau tidak, melainkan: 'benar atau tidak pendalilannya?' atau 'apakah sekadar comot saja?'

Jadi, bukan hanya naql saja, melainkan aql dimainkan. Naql itu sekadar teks, yang jika ditaruh di mana-mana, huruf dan kalimatnya tidak berubah. Tetapi untuk memahaminya perlu kaedah dan akal. Jika naql [teks] ditaruh di satu aql, bisa berbeda dengan aql lainnya. Nah, konsekuensi dari pemahaman telanjang adalah penyimpangan dalam memahami. Karena itu, kita butuh kaedah-kaedah untuk menjadikan dalil itu difahami dengan benar sehingga hukum dan faedah yang ter-download darinya sah. Ini pun masih bisa diperdebatkan. Karena dalam Ushul Fiqh, banyak terjadi perbedaan pandangan tentang keabsahan suatu kaedah atau aplikasi.

Ini problematika kawan-kawan: PENDALILAN. Bagaimana kita memahami dalil? Apakah dengan Al-Qur'an terjemahan semata? Kalau cuma begitu, ibu-ibu pengajian juga bisa. Ustadz-ustadz televisi juga sangat mampu. Tapi, pendalilan ini membutuhkan ilmu basic, yaitu Arabic, Ushul Fiqh, Al-Qawaid, dan Ulumul Qur'an. Dalil itu tidak sekedar taruh lho, ya. Kalau kita yang selama ini masih lemah dalam menguasai ilmu di atas, berfikir: 'Asal gue ngomong, terus taruh ayat/hadits, perkataan salaf atau cukup dengan perkataan Ibnu Taimiyyah, maka omongan gue maqbul'.

Well, itu mungkin maqbul bagi kalangan sendiri. Tapi bagi kalangan luar, bisa didebat. Ingat sekali lagi, nanti akan banyak anak-anak muda yang sudah mampu berbahasa Arab memulai pertanyaan seperti ini, 'Loe bisa baca kitab ga?' Seakan mizan atau neraca sahih dan salihnya orang adalah kemampuannya baca kitab. Orang sesat bisa saja mengandalkan pertanyaan di atas.

Kita selama ini hanya copy-paste artikel dan semacamnya. Semua dalil memang ada. Tapi, bagi yang cita-citanya besar dan memang pengen menjadi orang 'berilmu', HARUS BISA menyebutkan sisi pendalilan [wajhul istidlal] dari dalil yang dia taburkan. Dia harus faham Arabic, kaedah Ushuliyyah, kaedah Fiqhiyyah dan lainnya untuk menjadikan dalil tersebut sah untuk dijadikan dalil.

Ini yang hilang atau tidak ada dari sebagian ikhwah. Memang benar, yang terpenting kita berdakwah. Tapi, ingat: Kita seringkali menjelek-jelekkan pihak lain disebabkan mereka tidak berdalil dan tidak berpemahaman salaf etc, sementara kita sendiri tidak tahu bagaimana berdalil [menjabarkan pendalilan] dan Arabic. Setahu ana, kaum salaf itu berbahasa Arab semua. Bagaimana kita menisbatkan diri padanya, tetapi satu sifat yang identik pada mereka justru tidak kita miliki??? Ini gharib sungguh. Tapi, sebenarnya memang ini semua TIDAK WAJIB, kecuali bagi yang konsentrasi di bidang agama.

TAPI, perlu juga saya mengingatkan bagi yang lupa atau memberitahu bagi yang belum tahu bahwa:

Imam Asy-Syathiby dalam Al-Muwaafaqaat menyebut bahwa BAROMETER seseorang dalam memahami agama ini ditinjau dari pemahamannya akan bahasa Arab.

--> Jika pemahaman Arabic-nya tinggi, maka layak baginya berilmu agama tinggi
--> Jika pemahaman Arabic-nya sedang/rendah, maka layak baginya berilmu agama sedang/rendah
--> Jika pemahaman Arabic-nya nol, maka .... silahkan teruskan.

Dan beliau [Asy-Syathiby] bukanlah orang Arab. Beliau ulama Andalus di zamannya. Berasal dari Grenada. Karena itu, terkadang beliau disebut secara lengkap: Abu Ishaq Asy-Syathiby Al-Gharnaathy.

Penulis sendiri TIDAK menempatkan dirinya di atas pembaca mengenai ilmu-ilmu alat tersebut. Karena antara penulis dan pembaca -insya Allah- ada satu sifat kesamaan, yaitu sama-sama thaalib al-ilm.

--bersambung--

No comments:

Post a Comment