Tuesday, December 11, 2012

CAT : [19] "MENILAI RENDAH KALA TINGGI"


oleh Hasan Al-Jaizy


Ini adalah cerita tentang kita-kita, yang kadang sadar begitu tinggi rasanya dan tidak sadar betapa masihnya kita di kerendahan. Ini adalah karakter pada kita-kita -setidaknya pernah kita seperti ini-, yang merasa senang dan bangga dengan apa atau siapa kini lalu menoleh tertawai yang belumlah apa-apa atau siapa-siapa.

Kadang kita menilai orang lain dengan kiasan diri kita sekarang yang rasanya lebih tinggi darinya ditinjau dari segi tertentu yang karenanya ada penilaian.

Padahal bisa jadi dahulu ketika kita serendah itu, kita lebih buruk dari itu.
Padahal bisa jadi jikalau kita serendah itu, kita lebih jelek dari itu.

[1]

Seorang yang dalam keadaan sehat jasmani, setidaknya ibalah melihat siapa yang dalam keadaan sakit. Yang pertama adalah iba. Tunaikan eksistensi perasaan mengasih. Lalu berharap hingga berdoa semoga melekas sembuhnya.

Bagaimana jika begini:

Seorang anak muda yang sehat menertawai seorang kakek yang jalannya terpincang dan sehidup hingga akhir hayat bergantung pada sebuah tongkat tua. Anak muda itu menilai sang kakek dengan kondisi dirinya sendiri. Ia tidak berfikir jikalau kelak ia nanti menjadi kakek, bisa jadi nasibnya lebih tidak baik dari itu. Ia pula tiada fikiran jikalau ia sekarang adalah seorang kakek, ia belum tentu bisa berjalan dengan kaki.

[2]

Seorang yang dalam keadaan sehat rohani, setidaknya ibalah melihat siapa yang sakit hatinya atau fikirnya. Kenapa harus merasa paling bersih hatinya dan menenggelamkan diri pada tawa selalu terhadap orang yang sedang dirundung penyakit hati!? Padahal yang bersihkan hati sejatinya adalah Sang Pembolak-balik Hati manusia, yaitu Allah Ta'ala!!!

Seperti kita yang kadang:

...overjoy, merasa senang lampaui batas setelah mampu beramal saleh, seperti berinfaq banyak-banyak, menderma, membantu banyak orang, berdakwah sana-sini, atau lainnya.

Atau ketika kita baru saja selesai shalat berjamaah, lalu melihat ada banyak manusia di luar masjid sedang 'lalai'. Kita berpaling dari mereka. Tidak berkata apapun. Tidak mencaci. Ya, tidak mencaci di lapangan, tetapi kemudian justru kita mencaci-maki mereka di depan teman sendiri!? Jikalau cacian itu mungkin layak dialamatkan kepada mereka, maka sebuah kewajaran. Namun, bagaimana jika cacian itu hadir langsung dari hati yang sedang mengkiaskan kelalaian orang dengan kesalehan diri sendiri!?

[3]

Ilmu bermahal harga. Faham yang sahih akan suatu kebenaran berharga mahal. Satu buku sarat akan ilmu yang dibeli dengan rupiah, isinya tak sebanding dengan tawaran berapapun dari rupiah.

Tidak semua orang diberi faham yang benar. Bahkan, sebenar-benarnya orang yang berfaham benar tentang agama kini, pasti ada salahnya.

Sekarang, bagaimana jika kita sudah 'merasa' berfaham benar, bersikap dalam agama dengan benar, berteman dengan orang-orang benar dan semuanya benar? Apakah kemudian kita mengkiaskan kondisi teman-teman atau siapapun yang belum se-beruntung kita dengan 'kebenaran' diri kita?

Bagaimana kita melihat orang-orang di jalanan?
Apa yang terbisik di hati tentang orang-orang pasar?

Apakah setelah melihat mereka, kita merasa tinggi dan merendahkan mereka begitu saja?
Atau kita bersyukur tidak seperti mereka?

Jikalau benar kita bersyukur, maka bukanlah hal pertama berupa cacian terbesit di hati, melainkan pengagungan pada Allah [rasa syukur], rasa kasihan pada mereka dan mendoakan mereka kebaikan.

Bukankah seorang beriman yang sempurna imannya adalah yang menghendaki saudaranya juga mendapatkan apa yang ia sukai???

Kita bisa mudah mengatakan 'fulan tukang bid'ah', 'fulan tercela dengan kemaksiatan tertentu', 'fulan begini dan begitu'. Bermudah-mudahlah...

Tapi, ada pertanyaan kini:

"Seberapa sulit...seberapa berat HATIMU benar-benar berharap dan mendoakan mereka kebaikan dan rahmat?"

Ingat, sebagaimana mudah bagi seseorang mengatakan 'fulan begini-begitu' di situs ini, mudah pula ia menulis do'a-do'a sebagai penyeimbang. Namun, kembali pertanyaan tentang hati:

"Apa benar HATI pemilik doa hadir berdoa?"

===========================

Menilai selain diri sendiri
dengan neraca salehnya diri sendiri
adalah bentuk kesombongan diri
yang biasanya berupa caci maki

Namun tidak semua cacian
disifati sebagai keburukan
Adakalanya seorang pelaku kejahatan
layak sekali diterpa busur makian

No comments:

Post a Comment