Tuesday, December 25, 2012

CAT : [64] "Ctrl C - Ctrl V VERSUS Rewrite"


oleh Hasan Al-Jaizy


Keduanya sama-sama COPAS, jika copas dimaknai 'nukil'. Dan nukil berasal dari bahasa Arab, yang bermakna 'dipindahkan'. Menukil, dalam bahasa Indonesia, bermakna 'memindahkan'.

Tulisan ini, selain penulisnya ingin menjabarkan pandangannya tentang copas vs rewrite/retype, ditujukan pula sebagai tanggapan atas sebuah foto atau status-status yang mengatakan:

"Para ulama, juga COPY-PASTE ilmu ayat, hadits, faedah melalui para sahabat dll"

-------------------------------------------------------------

Ctrl C dan V adalah cara termudah. Kita tidak layak sebenarnya menuding orang 'bermudah-mudah' karena ia hanya mengandalkan Ctrl C dan V. Seseorang dibebani berdasarkan kemampuannya. Jika ia merasa kesulitan melakukan cara lain dan tidak bisa selain menekan tombol-tombol itu, maka tidak dipermasalahkan.

Masalahnya adalah ketika suatu kebiasaan dan adat menjadi tabiat. Adat itu berbeda dengan tabiat. Adat adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan masih besar kesempatan untuk diubah. Tetapi jika adat sudah menjadi tabiat, maka hampir mustahil diubah. Karena tabiat adalah sesuatu yang sudah 'permanen' dalam diri seseorang. Jika tabiat seseorang adalah Ctrl C dan V, saya yakin kelak ia akan kerepotan di banyak kondisi.

Selain itu, kemudahan tidak bisa dijadikan sandaran dan andalan. Problematika yang banyak menjangkiti manusia zaman ini adalah dirahmati dengan kemudahan lalu menjadikannya sebagai andalan. Jika sudah ada HP untuk menelepon, untuk apa bertemu langsung? Jika sudah ada Ctrl C dan V, untuk apa menulis ulang dari buku? Jika sudah ada e-book gratis, untuk apa beli buku?

Ctrl C dan V [menurut saya] TIDAK SAMA dengan rewriting atau retyping [menulis ulang]. Meskipun keduanya sama-sama COPAS [jika 'copas' di sini dimaknai luas, yaitu menukil, mengambil dan sebagainya].

Kenapa?

Karena menulis ulang memberikan faedah bagi Anda lebih banyak dibanding sekadar menekan 3-4 tombol. Bahkan Syaikh Abdul Kariim Al-Khudhair mengatakan dalam kajian 'Manhajiyyah fi Al-Qira'ah', bahwa pencari ilmu yang menulis ulang faedah dari kitab dalam buku catatannya atau meringkasnya, itu memberi faedah baginya 10 kali lipat lebih banyak dibanding hanya membacanya di kitab.

Dan banyak dari kita menekan Ctrl C + V dengan mudahnya akan suatu artikel dan faedah, sementara -boleh jujur silahkan juga bohong- kadang kita belum sempurna memahaminya, atau -at least- belum tuntas membacanya [karena merasa sudah tahu atau faham seluruhnya]. Ini, adalah penyakit buruk jika dijadikan adat; terlebih jika sudah menjadi tabiat. Karena kemudahan bisa mewariskan kecanduan. Dan kecanduan akan kemudahan bisa mewariskan penyakit, kemalasan dan kemanjaan.

================================

Kemudian, ini berkaitan dengan foto yang mengatakan 'para ulama meng-copas ayat, hadits, faedah etc dari Rasulullah, Tabi'in dst'.

Jika copas dimaknai 'menukil', 'mengambil', 'menerima transfer ilmu', 'mendengar kemudian menyalin' dan semacamnya, maka kalimat di atas tidak bermasalah sama sekali. Terlebih jika ada kalimat tambahannya: "Namun ingat! Mencantumkan nama dan sumber itu penting dst"

Saya pribadi, tentu setuju dengan itu.

Namun, ada sisi lain yang membuat saya tidak setuju. Dan jika Anda tidak setuju dengan ketidaksetujuan Anda, saya setuju dengan ketidaksetujuan Anda terhadap ketidaksetujuan saya. Toh, masing-masing dipersilahkan memandang.

Kenapa ada kritikan padanya? Karena foto/status dengan kalimat tersebut adalah suatu 'upaya' untuk menanggapi sebagian kritikan dari ikhwah 'Aswaja', perguruan hijau dan semacamnya terhadap ikhwah 'Salafiyyiin' yang secara glamour [meskipun hanya sebagian, tidak semua ikhwan/akhawat] menyebar tulisan hasil copas. Bahkan saya sendiri kadang takjub sembari bertanya 'Apakah dia sudah membaca artikel yang dicopas dan memahaminya?' setelah melihat siapa dia dan keimuannya, sementara yang di-copas adalah masalah Irja, Khawarij, dan perkara-perkara besar lainnya.

Sehingga dengan Ctrl C + V, seorang 'Salafy' bisa menulis status memancing perdebatan yang kemudian ketika ditanggapi oleh pihak-pihak yang tersinggung, ia langsung keluarkan jurus andalan, yaitu jurus kemudahan dan 'abrakadabra'. Jadilah suatu tulisan panjang. Copas murni sebagai bantahan bagi pihak-pihak tersinggung. Dan ketika dibantah kembali, langsung mengeluarkan jurus kedua:

"Ngafwan, tidak melayani debat"

Yang terkadang disertai [sekali lagi] hasil Ctrl C + V tentang buruknya perdebatan dan dalil-dalilnya. Jika pihak yang tersinggung tersebut masih menanggapi dan mengajak debat, ini jurus ketiga:

"Remove/Block This Person"

Jika memang hal semacam di atas adalah fair bagi Anda, maka ambil saja sikap seperti itu. Nanti, jangan merengek sendiri ketika di dunia nyata dipertemukan dengan pihak-pihak yang tidak menyukai manhaj Anda, lalu menanyai dan menggelar sesi tanya jawab ilmiah, yang ketika itu Anda tidak bisa melakukan: Ctrl C + V, tidak bisa 'Ngafwan, tidak melayani debat' dan lebih-lebih tidak bisa 'Remove/Block This Person'.

Untuk menanggapi kritkan Aswaja dan Aswaji yang bilang 'Dasar loe ulama copas, beraninya di dumay doang', bukanlah dengan menebarkan dalih 'Ah, ulama juga copas kok. Mereka copas dari gurunya. Copas ayat dan hadits turun-temurun. Semua ilmu adalah hasil copas! Yang penting menyebutkan sumber!'

Dalih di atas menunjukkan penyimpangan jawaban dan kiasan. Ketika kritikan mereka ditujukan pada makna copas khusus, jangan dibalas dengan makna copas umum. Justru dalih semacam ini menunjukkan 'kemalasan' kita dalam memikirkan kritikan orang dan inginnya seperti ini saja. Yang penting 'merasa' ilmiah. Perasaan ilmiah belum tentu menjadikan orang lain merasa kita ini ilmiah.

Justru dengan adanya kritikan semacam itu, kita harus lebih berdaya lagi dalam membangun kafaa'ah ilmiyyah. Karena kritikan mereka justru sebenarnya adalah timah panas yang kelak menghasilkan dengannya barang berharga. Di sisi lain, kritikan tersebut bermakna: 'Loe cuma pinter ngemeng di dunia maya, di depan rakyat loe cuma bisa jalan nunduk ajah tanpa menyapa!'

Dahulu, awal-awal kebangkitan dakwah di FB, banyak ikhwan/akhwat melakukan jurus 'copas' tanpa menyebutkan sumber kitab/link. Kemudian dikritik: 'Jangan jadi maling! Mana amanat ilmiyyah nya?'

Lalu kita berubah haluan sikap. Kita -syukurnya- mulai copas dengan sertakan nama penulis, atau sumbernya, baik itu kitab/link website. Lagi-lagi ada yang kritik: 'Jangan cuma bisa copas donk loe! Mana kemampuan menulis dari fikiran loe sendiri!?'

Apakah kita mengabaikan kritikan tersebut sambil bergumam, 'Ah, berisik loe. Yang penting ilmiah, isinya kebenaran dan gue udah sertain sumber. Masalah?'

Benar! Itu masalah untuk beberapa kondisi. Benar! Tidak semua ocehan manusia perlu kita tanggapi. Tapi, ingatlah jika kritik itu membangun, meskipun dari seorang bodoh dan munafik sekalipun, maka Anda bisa terjaga dan terbangun dari kemanjaan atau kemudah-mudahan yang selama ini Anda menyandarkan diri padanya.

Betapa banyak orang tak bisa ungkapkan apa yang terfikir dan terilmui di fikiran melalui tulisan atau lisan, maka jadilah kita orang yang tidak seperti kebanyakan orang!

No comments:

Post a Comment