Wednesday, December 26, 2012

CAT : [69] "MENUNTUT ANAK BERPRESTASI"


oleh Hasan Al-Jaizy


Saya mau berbicara tentang anak. Padahal saya belum punya anak. Istri saya saja belum beranak. Jangankan begitu, saya sendiri belum punya istri. Masalah, kan? Agar tidak berbelit-belit, Anda diam saja. Biarkan saya bicara tentang anak sebentar.

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah artikel yang pagi ini saya baca dengan gaya marathon tanpa koprol sambil bilang 'wow'. Seorang tua atau sepasang orang tua akan senang jika anaknya berprestasi; terutama di bidang yang diridhai orang tuanya. Baik itu berprestasi di sekolah, maupun di lingkungan rumah. Tak segan pula para orang tua menceritakan kelebihan anaknya di depan umum. Di depan hidung tetangga, atau di depan muka saudara ketika ngumpul lebaran, misalnya.

Bawal Putih: "Jeng, anakku jadi ketua di sekolahnya, lho!"
Bawal Merah: "Wah, syukurlah, ketua kelas atau regu atau apa?"
Bawal Putih: "Ketua regu, Jeng."
Bawal Merah: "Regu apa tuh?"
Bawal Putih: "Regu piket, Jeng!"

Sebagian orang tua melakukan 'pressing' pada anaknya agar memuaskan angan-angan; salah satunya dengan menuntut anaknya agar berprestasi. Karena dengan prestasi, insya Allah itu akan menegakkan harkat dan martabat orang tua, dan juga bermanfaat untuk sang anak ke depan.

Tapi, kadang orang tua lupa untuk mencontohkan sesuatu agar jelas tergambar bagi anaknya. Sebagian orang tua menuntut anaknya membaca buku, sementara mereka malah hobi menonton TV. Sebagian orang tua menuntut anaknya berbakti padanya, sementara mereka tidak ajari tata krama dan enggan mendidik. Dan inilah problematika yang boleh kita angkat di mari.

Para mahasiswa yang duduk manis di dalam kelas, akan terkagum akan dosennya jika ternyata ia bergelar tinggi dan mereka tahu bahwa ia telah menempuh jalan perjuangan di masa lalu yang amat berat dan berhasil. Beda pasti jadinya raut muka dan spirit mahasiswa jika yang datang ke kelas adalah Pak Anis Matta [misalnya]. Kemudian, jam pelajaran berikutnya, yang datang malah Pak Purnomo.; seorang dosen berwajah kurang sedap dan gelarnya AT [Ahlu Tajriih].

Begitu pula dengan anak. Jika anak tahu bapaknya adalah orang hebat, besar, berprestasi dan mencontohkan baik-baik, selama ia tidak ditekan, normalnya akan meniru atau bahkan akan melebihi bapaknya. Namun sebaliknya jika ia mengenali bapaknya hanya pegawai biasa yang enggan maju, enggan mencontohkan bagaimana caranya jadi orang hebat, atau bahkan rupanya bapaknya suka main bunga di tepi jurang, anak justru bakal sedih dan kecewa. Bisa jadi, imbas kecewanya anak adalah kenakalan yang lebih parah dari bapaknya.

Ketika seorang bapak menuntut anaknya begini begitu, ia layak sadari dahulu seberapa begini ia dan seberapa begitu ia. Bahkan, dikatakan bahwa 'action talks louder than words'. Misalnya: Bapak-bapak yang suka membaca buku di ruang tamu sambil senderan, atau ngejengkang, atau bagaimanapun posisinya, itu lebih mendorong anak untuk menyukai membaca buku dibanding kalimat-kalimat ini, "Paijo! Ndang moco! Karep dadi wong mbladus ta!?" atau "Bajuri! Gue udah beliin lu kitab-kitab Petruk-Gareng sebakul. Bukannye lo bace malah dijadiin tatakan meje. Baca gak!?"

Anak -however- sangat senang dihargai dan dipuji. Ketika Anda mengajar anak kecil -misalnya- membaca Al-Qur'an, jangan pernah segan melontarkan pujian 'Bagus', 'Cakep', 'Pinteer', 'Alkamdulillah [versi ngapak]' dan lainnya. Itu adalah motipasi [versi Sunda] untuk anak! Jangan sampai guru sekolahan lebih ia cintai dari guru yang melahirkannya [yaitu ibu sendiri]! Pemicu prestasi anak pertamanya itu ada pada sikap dan didikan madrasah rumah. Itu yang primary; karena adanya kedekatan batin dan biologis. Saya pernah punya murid perempuan berumur 8 atau 9 tahun, yang tadinya pintar di kelas dan ujian, jadi menurun dan lesu dengan statistika mengherankan. Setelah saya korek penyebabnya, rupanya ayahnya bulak-balik ke luar negeri. Dan ketika meeting bersama ayahnya, saya melihat dan menilai bahwa ayahnya justru tidak tahu banyak tentang anaknya. Bahkan ia mengakui di depan saya [sebagai orang luar rumah] bahwa ia sangat sibuk bekerja hingga ke luar negeri dan jarang bertemu anaknya.

Nah, yang semacam ini tidak usah menuntut apa-apa dari jenis prestasi anaknya. Yang dituntut dari anak hanyalah 'loe yang penting hidup, jangan nyusahin gue, kawin pas gede, mati masuk surge!'

Pertanyaan: "Apakah prestasi terbaik anak terhadap orang tuanya?"

Jawaban: "Bakti di usia balighnya, baik itu kala hayat keduanya, atau wafatnya. Semua orang tua akan sakit hati jika anaknya durhaka di usia baligh meskipun anaknya menghasilkan gudang-gudang harta. Tapi, orang tua akan bahagia hayat-wafat, jika ia tahu anaknya sangat berbakti pada mereka."

So, sebelum mengantarkan anak pada prestasi duniawi, lebih asasi lagi Anda [wahai orang tua] dan saya [wahai calon orang tua insya Allah] untuk mengantarkan anak pada prestasi bakti.

No comments:

Post a Comment