oleh Hasan Al-Jaizy
Ulama adalah pewaris Nabi, yang tak mewarisi dinar dan dirham, melainkan warisan ilmu yang jika dinar dan dirham bersatu, takkan sebanding nilai meski sebentang laut membiru.
Ulama adalah yang menjadi perantara hidayah dan ilmu untuk orang jahil dan buta. Kebodohan bagai kebutaan. Bahkan kebodohan bisa jadi adalah kematian, seperti kata seorang penyair:
وفي الجهل قبل الموت موت لأهله
واجسامهم قبل القبور قبور
"Dan dalam kebodohan sebelum kematian
adalah kematian bagi pemiliknya
dan jasad-jasad mereka adalah
kuburan sebelum kuburan"
Orang bodoh laksana mayat yang tak memberi manfaat.
Orang bodoh yang berbicara dan membahayakan manusia dengan lisannya ibarat bangkai lepas dikubur; baunya menyengat dan manusia tak hendak mendekatinya. Yang mendekati hanyalah lalat-lalat pecinta bangkai.
Dan lalat-lalat pecinta bangkai adalah manusia-manusia ahli Ghibah; terutama yang senang menjilati daging bangkai ulama.
Jadikan ini sebagai nasihat untuk masing-masing.
Sebagian kita [semoga bukan saya; semoga bukan Anda; dan jikalau pernah, semoga tiada lagi] .... Sebagian kita memulai menegakkan manhaj atau meniti jalan yang lurus dengan berkecimpung dalam perbincangan tentang ulama. Sehingga tak luput kita terkena cipratan darah bangkai yang sedang dijilat-jilat. Hingga kemudian kita pun tertarik menjilat bangkai yang zahirnya lezat. Lalu, kemana perkataan Abu Sinan Al-Asady:
إذا كان طالب العلم قبل أن يتعلم مسألة في الدين يتعلم الوقيعة في الناس؛ متى يفلح؟!
"Jika seorang pencari ilmu, sebelum mempelajari masalah dalam agama, ia justru mempelajari fitnah/umpatan/celaan pada manusia, MAKA KAPAN IA BERUNTUNG!?" [Tartiib Al-Madaarik; Abul Fadhl Al-Qadhy Iyadh, 3/14]
Apakah benar, mengawali manhaj dengan cara menghunus pedang depan manusia lalu meneror mereka satu persatu?
Apakah benar, mengawali titian perjalanan hidayah sunniyyah dengan cara menikam atau minimal menggores lukisan berdarah di belakang punggung ulama?
Jika memang itu caranya, maka berita gembira untuk kita, wahai peniti jalan lurus. Ahmad bin Al-Adzra'i berkata:
الوقيعة في أهل العلم ولا سيما أكابرهم من كبائر الذنوب
"Umpatan/fitnah terhadap Ahlil Ilm [Ulama], terlebih pembesar mereka adalah termasuk salah satu dari dosa-dosa besar." [Ar-Radd Al-Wafir; Muhammad bin Abu Bakr Ad-Dimsyiqy, hal 197]
Dan para pengumpat jua pemfitnah atau pengobar fitnah antar ulama adalah para perusak dan penelanjang yang takkan pernah amalan setannya diridhai Sang Pencipta dan takkan diterima akal sehat. Bahkan amalannya takkan dianggap baik sedikitpun; dan Allah membalas amalan manusia sesuai amalannya.
Bagaimana jika ketika memfitnah ulama dengan tuduhan-tuduhan, lalu mengingat perkataan beberapa salaf berikut:
البلاء موكَّل بالقول، لو سخرت من كلب لخشيت أن أُحَوَّل كلبًا
"Bala itu terwakilkan [awalnya] dengan perkataan. Jika aku mengejek seekor anjing, aku takut menjadi sepertinya." [Al-I'lam bi Hurmati Ahlil Ilmi wal Islaam, hal. 322]
Betapa adanya yang teriak 'mereka adalah ulama su', dan ternyata sifat itu menjadi sifatnya.
Betapa adanya yang berani melabeli ulama fulan seburuk label tanpa haq, dan ternyata label tersebut adalah miliknya.
Diceritakan oleh Syaikh Al-Arify, di sebuah majelis rutin Syaikh bin Baaz, ada seorang thalib [penuntut ilmu] yang bermudah-mudah dalam membicarakan ulama dan mencela di balik punggung mereka. Sehingga penuntut ilmu lainnya membenci dan menjauhinya. Dan suatu hari, anak muda ini ditangkap polisi dalam keadaan sedang berzina!
Berhati-hatilah dan hati-hatilah olehmu lisanmu melebihi kehati-hatianmu dari lisan orang lain. Karena lisan orang lain, jika buruknya, akan kembali pada pemiliknya yang mendengki. Sedangkan lisanmu, jika buruknya, kembali padamu yang memiliki.
No comments:
Post a Comment