Tuesday, December 25, 2012

CAT: [66] "PERMASALAHKANLAH YANG DIPERMASALAHKAN!"


oleh Hasan AL-Jaizy

Pernah suatu ketika seorang alim di zaman dahulu mendapati sekumpulan pemuda sedang duduk berbincang. Ia pun duduk di dekat mereka. Sementara perbincangan panas mereka tetap berlanjut. Salah satu pemuda membuat perhatiannya tertarik padanya. Karena ia tak henti-hentinya membicarakan, "Fulan adalah begini begitu, fulan keburukannya begini begitu, fulan dst..."

Selesai perbincangan mereka, sang alim memanggil anak muda tersebut. "Kemarilah engkau." Ia pun mendekat.

"Aku kagum dengan cerita-ceritamu. Kau mengetahui banyak tentang saudara-saudaramu!" tukas sang alim.

Lalu ia bertanya, "Apakah kau pernah mendebat seorang musyrik?"

"Tidak pernah."

Lalu ia bertanya lagi, "Kau pernah ikut perang memerangi orang kafir?"

"Tidak pernah."

"Subhanallah. Orang-orang kafir selamat dari lisan dan tanganmu. Sementara saudara-saudaramu sendiri yang seiman tak selamat dari lisanmu."

===============================

Cerita di atas diwartakan di beberapa kitab dan ceramah masyaayikh.

Kaum munafik berbaur dengan kaum muslimin. Wajah mereka adalah wajah Islam. Warna dan bajunya seragam. Namun hati lah yang membedakan. Mengerikannya, siapa yang kenal tepat warna hati manusia?

Benar kujawab jika ditanyakan, 'Bukankah kita harus memberantas penyelewengan dan kesalahan dalam tubuh Islam?'

Benar kujawab jika ditanyakan, 'Bukankah lebih baik bersihkan dulu rumah dan pekarangan sendiri daripada bersihkan rumah tetangga?'

Tepat sekali. Sebagaimana:

Kita kini 'mempermasalahkan' pengucapan selamat natal bertubi-tubi; dan tidak pernah mau menzahirkan lisan/tulisan untuk mempermasalahkan natal itu sendiri! Seberapa banyak pengucap 'selamat natal'? Lebih baik kita telanjangi kenatalan kaum kafir sekalian.

Lihatlah kita yang buta warna kejahatan Yahudi; tertuang dalam Al-Qur'an berpasal-pasal! Bahkan kita lebih pintar membantah tentang hukum berpartai meskipun partai itu Islami hingga hafal semua tentang bantahan terhadap kebid'ahan. Bukan berarti itu buruk. Itu baik, bermanfaat, bermaslahat dan patut dilestarikan.

Tetapi Yahudi, Nashrani, Budha, Hindu dan atheist selamat dari tikaman kita.

Ungkapan 'Selamat Natal' tidak semerebak dan semendunia perayaan Maulid Nabi. Benar sekali jika ungkapan tersebut terkait masalah akidah; meskipun secara sosiologi tersifati 'toleran'. Dan menasihati saudara untuk tidak mengatakannya adalah sebuah kebaikan.

Namun, saya mengajak diri sendiri dan diri selain saya sendiri untuk juga menikam peraya Natal itu; dengan menegakkan hujjah meskipun dilabeli 'penghujat'. Kita serius dalam menegakkan hujjah tentang 'tasyabbuh bil kuffar', sementara kita sendiri tak pernah membahas 'kuffar' dan keburukannya. Yang kita bahas adalah tasyabbuh selalunya.

Ini hanyalah tuangan yang terfikir. Boleh saja yang membacanya mengerutkan dahi sembari berfikir, 'Apa maumu?'. Mauku adalah jawaban dari kita atas pertanyaan ini: 'Mengapa kaum kafir seperti lebih selamat dari lisan/tulisan kita dari kaum muslimiin?'

Akan ada alasan: "Karena kaum kafir sudah jelas kekafirannya. Sementara dalam tubuh muslimiin bertebaran syubhat yang harus diberantas."

Diterima. Kemudian, kita akan mendapati kita bernafsu membahas tentang kelompok2 atau ormas yang dikenal 'menyimpang'. Kita tanya: 'Mengapa kaum kafir, Syi'ah dan lainnya lebih selamat dari lisan/tulisan kita dibanding saudara kita yang hanya menyimpang beberapa perkara?'

Akan ada alasan: "Kaum kafir sudah jelas kekafirannya. Syi'ah 12 sudah jelas kesyirikannya. Sementara saudara kita begitu banyak syubhatnya."

Dan yang kemudian akan mengerucut, menyempit, menekan hingga perbincangan antara majelis. Majelis sebelah begini, majelis sebelah begitu...jangan diikuti jangan dihadiri. Sehingga akhirnya timbullah: Hizbiyyah Madzmuumah, yang dulunya berawal dari sikap 'longgar' terhadap kuffar, 'sempit' terhadap 'muslimiin'. Dan ini juga masalah yang layak dipermasalahkan.

No comments:

Post a Comment