oleh Hasan Al-Jaizy
Pernah seorang berilmu membahas topik Bersuci. Ia berusaha mengasah keilmuannya dengan membicarakan apa yang baru saja dibaca dari buku. Tiba-tiba muncul seorang pemuda, 'Hare gene, Tong, lo masih ngemeng Bersuci?'
Ada beberapa dari kita baru merasa terangsang jika berbicara masalah 'Khilafah', perjuangan Palestina, demokrasi, sekularisme, aliran sesat dan sebagainya. Jika ada pembahasan Kitab Tauhid, Bab Takut Akan Syirik ---> skip skip skip. Hare gene ngebahas Syirik? Katanya, 'Lo kira gue rendahan en bodo ga ngerti sirik?'
Padahal orang yang banyak ilmunya, suka berbicara tentang agama dan banyak menukil ayat-hadits, bisa terjatuh dalam 'kesyirikan ashghar' jika ada riya di hatinya. Sekarang, bagaimana dengan anak-anak berbau kencur campur terasi yang paling dahsyat berbicara Khilafah, Jihad Palestina, demokrasi, sekularisme dan topik-topik berat lainnya? Bukankah mereka juga berpeluang atau bahkan lebih riskan terjerumus ke kesyirikan kecil dibanding orang yang memiliki kapasitas ilmu syariah???
Khilafah itu wacana hot. Semua bisa dikaitkan dengan Khilafah. Semua berita bisa menjadi hot jika disematkan kemudian nama 'Khilafah'. Genangan air di depan kantor kelurahan daerah saya exist sampai sekarang karena absennya Khilafah. Di Hari Raya Idul Adha, masih banyak penyembelih menyembelih hewan kurban di depan hewan lainnya yang masih hidup. Ini karena tidak adanya Khilafah. Dan sekarang, banyak orang Muslim ber-tahazzub [berkelompok-kelompok], sebagian hobi protes pada pemerintah, sebagian mengaku pejuang Syariah padahal Syariah berlepas diri dari propagandanya. Ini semua karena absennya Khilafah dari muka bumi tanah air mbahku...dan...mbahmu!
Sambil menyelam, minum air sekaligus. Padahal menyelamnya di kolam pemandian umum. Beberapa orang -tanpa diketahui- telah mengencingi air sambil berendam. Jadinya, apa yang diminum? Adalah ketika tidak puas promosi propaganda, sempat pula menyerang teman-teman yang juga rindu akan Syariah dan Khilafah, namun dengan cara menegakkan Aqidah yang sahih terlebih dahulu.
Sebagian kita merasa dirinya atau kelompoknya pualing-pualing tanpa bukti otentik, real dan understandable. Beberapa pemuda kekar merasa paling lembut hatinya karena menyebut diri dan kelompoknya sebagai orang-orang yang kangen akan Syariah. Padahal mereka mencaci beberapa ulama Syariah dengan sebutan 'ulama Haidh dan Nifas'. Padahal mereka melet-melet di depan anak-anak Fakultas Syariah sembari bilang, 'Cucian deh lu. Kite udah ampe lepel Primaconry, lu masih pade di bab Haji.' Padahal kalau memang mereka benar merindukan Syariah, mereka akan berusaha mempelajari Syariah, bukan malah sengaja ngangkang di depan kitab-kitab Syariah.
Memangnya Syariah akan tegak jika diperjuangkan orang-orang yang seharinya baca novel picisan? Memangnya Syariah akan tegak dengan emosi dan perasaan? Well, kalau berlandaskan emosi dan perasaan semata, maka wanita lebih kuat dalam masalah ini.
Tidak, kawan. Penulis tidak membenci para perindu Syariah yang nyatanya para pecandu label Khilafah. Mereka -bagaimanapun- adalah saudara-i Muslim yang sedang semangat mengubur kesesatan dan keburukan non-Islami. Dan mereka memiliki andil dalam beberapa arena percaturan yang menghadirkan maslahat untuk umat. Juga, tidak dipungkiri di antara mereka adalah saudara kita yang memiliki kapasitas keilmuan; bahkan ada yang berhasil mengimbangi antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi.
Merindukan Syariah adalah kepahitan tersendiri. Sementara semangat tanpa ilmu seimbang adalah kemanisan tersendiri. Namun, kepahitan dan kemanisan tersebut bukan hakikatnya. Karena sejatinya Syariah adalah manis tak terkias. Sementara semangat buta adalah pahit dan letih. Adakah kita ingin membalap Bajaj menggunakan Bus Safari Dharma Raya sementara kita sendiri tidak mengerti cara menyetir bus besar dengan baik? Apakah kita cukup berteriak saja, 'Bus Safari akan membalap Bajaj dan menyenggolnya hingga nyusruk ke selokan!' tapi sampai kapanpun tidak mau belajar menyetir bus?
Atau Syariah dan Khilafah itu hanya 'wacana'? Usaha merealisasikannya adalah dengan cara yang tidak akan tercapai ia direalisasikan. Tidak akan. Tidak mungkin. Teriak itu banyak dan bisa melangit. Tetapi ia hanyalah teriakan yang tak terlihat dzatnya; hanya terdengar sementara. Mulailah kita dengan yang lebih real. Belajar dahulu adalah sebuah langkah real. Rumah takkan tegak bertiang sapu lidi. Isi dulu massa keilmuan kita. Bukan hanya mengumpulkan massa tanpa ilmu.
No comments:
Post a Comment