oleh Hasan Al-Jaizy
Dulu, ketika saya masih muda dan seorang mahasiswa [dan saya masih muda dan juga mahasiswa], jika ingin membeli kitab, lebih suka pergi ke toko yang menjual kitab-kitab murah. Alasannya: ekonomi. Bahkan dulu jika ingin punya kitab baru, saya pergi ke perpustakaan kampus, meminjam kitab sekian hari, lalu dicetak ulang oleh perusahaan fotokopi. Intinya sama: jadi kitab. Dan itu tingkah mayoritas mahasiswa.
Tapi, semakin kemari -alhamdulillah- semakin nyadar. Nyadar apa?
Tahun kemarin, bifadhlillah, Allah memberi kesempatan menyimak kajian semacam daurah 'Manhajiyyah fi Qira'atil Kutub' [Metode/Manhaj Membaca Kitab] oleh Syaikh Nashir Al-Haniny, salah seorang dosen dari sebuah kampus Saudi. Salah satu nasihat beliau adalah:
"Ente beli dah tu kitab yang cetakannya bagus dari pustaka yang terjamin mutunya, baik itu dari segi kertas, font [huruf], tahqiq dan lainnya! Beli kitab seperti itu walaupun mahalnye minta ampun! Jangan beli kitab-kitab yang cetakannye abal-abal dari pustaka kemarin sore!"
Kalau saat itu, saya masih berfikir, 'Hmmm...kalo bagi non-mahasiswa atau orang tajir, enak sekali berbicara seperti itu. Masalahnya, eman-eman duit.'
Tapi, justru sekarang saya berfikir sebaliknya. Saya mengamini total apa ucapan beliau! Belilah buku mahal terjamin mutunya.
Kalau mau disadari, membeli buku murahan atau cetakan beras kencur, itu meminimalisir semangat membaca bagi kebanyakan pembeli; kecuali jika memang pembeli itu benar-benar kere. Saya beri gambaran:
[1] Badriyyah itu anak orang kaya terpandang; karena ia kembaran si Qomariyyah. Bapaknya salah satu utusan kerajaan. Jika Badriyyah ingin beli kitab mahal, mudah saja. Tapi, jiwa muda dan umur mahasiswa Badiryyah membuatnya ingin 'ngirit' buat beli buku, 'bocor' buat beli pulsa. Dan itu keanehan mayoritas kita. Badriyyah pun beli kitab banyak-banyak tapi murahan. Hasilnya? Cuma sekadar koleksi memenuhi rak yang malas dibaca tiap-tiapnya. Kenapa? Karena kurang berharga bagi dirinya. Wong dibeli dengan harga murah kok. Easy come = easy go...amirite?
[2] Suyuthi itu miskinnya tidak ketulungan. Gajinya di perguruan hijau berkali-kali dikebiri dengan alasan tak masuk akal. Jika ia mau membeli buku, dia menunggu awal bulan. Ketika terima gaji, jadi pengen nangis sendiri karena total gaji dengan harga buku kembar siam. Akhirnya ia relakan gajinya untuk membeli kitab impian. Habis sudah uangnya diganti dengan goresan ilmu. Tetapi, justru dengan kepahitan itu, Suyuthi sangat menghargai kitab yang dibeli. Karena baginya sangat-sangat mahal, meskipun bagi Qomariyyah, harga kitab tersebut sama dengan harga nata rambut di salon langganannya. Murah meriah.
Beda antara dia yang mengandalkan buku bajakan dengan yang membeli originalnya.
Beda antara dia yang memilih cetakan murahan dengan yang memilih cetakan memuaskan.
Beda antara dia yang menghargai ilmu murah dengan yang menghargainya sepadan mahal.
Beda antara dia yang mengatakan, 'Jika ada yang murah [meski jelek], buat apa yang mahal!?' dengan yang mengatakan, 'Jika ada yang mahal [tapi bagus], buat apa yang murahan!?'
Beda antara dia yang mengatakan, 'Jika ada yang mudah [tapi memanjakan], buat apa sulit-sulit!?' dengan yang mengatakan, 'Jika ada yang sulit [tapi mengasah], buat apa ingin mudahnya saja!?'
Pilihan membeli buku ada pada masing2. Terserah. Sesuai dengan selera. Kalau seleranya yang mahal, silahkan beli. Tetapi jangan cuma beli! Kalau seleranya yang murah, silahkan beli dan hargailah ilmu!
At least, pemburu buku murah atau pembajaknya masih lebih baik daripada orang yang sama sekali tidak ada minat membeli buku [padahal mampu]. Membeli buku bukan tujuan, tetapi buku sangat kuat mengantarmu pada tujuan. Ga percaya ya silahkan.
No comments:
Post a Comment