Sunday, December 30, 2012

Kakek-kakek

oleh Hasan Al-Jaizy


Selain -karena kurang kerjaan- saya suka mengamati kali, dedaunan, tingkah hewan dan lagak emak-emak, saya juga suka mencuri kesempatan untuk mengintip kakek-kakek. 

Kakek saya sudah wafat, baik dari pihak ayah maupun ibu. Kalau kata syair, 'bukanlah pemuda adalah yang katakan "inilah babeh ane", tetapi pemuda adalah yang katakan "inilah ane!"'. Tapi tidak ada cela kita hikayatkan siapa bapak-bapak kita; terutama jika ada ibrah dan pelajarannya.

Kakek saya bernama Jaiz. Dikenal dengan sebutan Mbah Jaiz. Merupakan tokoh besar dan imam masjid di kampungnya. Beliau adalah seorang pendekar. Tahun 2001, beliau pergi meninggalkan kehidupan dunia, yang merupakan sebuah undangan bagi banyak pendekar dari beragam kampung tuk ziarahi rumahnya. Juga banyak dari rakyat bergerombol mendatangi.
Di masa mudanya dahulu, Mbah Jaiz adalah seorang yang ingin sekali belajar agama namun miskin harta. Maka, demi mendapat biaya untuk belajar di perguruan, ia sempatkan bekerja mencari penghasilan di pusat desa. Hasilnya adalah bekalnya untuk belajar di perguruan. Beliau adalah seorang ndeso yang tak pernah berharap menjadi orang kota. 

Beliau adalah seorang pendekar yang beranak banyak. Dan bapak saya adalah anak beliau. Jika bukan, maka anak siapa lagi? Sebagaimana seharusnya, seorang anak harus lebih hebat dari bapaknya. Maka bapak saya lebih mendekar dari bapaknya. Lebih sakti, lebih berilmu dan lebih banyak barang pusaka. Jika dahulu mbah saya hanya bisa membeli barang pusaka, maka bapak saya justru bisa menciptakan barang pusaka di tanah Betawi.

Sementara kakek saya -dari pihak ibu- adalah Betawi tulen yang memang seumur hidup diuji kefakiran tingkat kecamatan. Beliau dahulu adalah seorang ahli ibadah yang bekerja di pabrik obat. Bersama emaknya ia bekerja di sana. Beliau adalah orang jujur, sederhana dan penyayang anak kecil. Setiap baru gajian, beliau selalu mngumpulkan anak kecil dan memberi mereka jajanan. Beliau sangat taat dan rajin beribadah sehingga tak pernah luput shalat di masjid. Selalu datang sebelum adzan karena memang beliaulah muadzin satu-satunya. Dan kadang jemaah satu-satunya.

Pernah dahulu ketika beliau datang ke masjid yang mungkin penerangan masih sederhana sekali sebelum subuh, beliau mendapatkan seekor kuntil beranak atau yang semacamnya di depan masjid. Tapi, karena 'dikacangi', akhirnya mbak kuntil minggat.

Kakek-kakek, jika kau perhatikan muka mereka, akan kau temukan lukisan-lukisan kehidupan di wajah mereka. Garis-garis tua itu seolah goresan-goresan luka hasil perjuangan sepanjang umur. Jenggot yang memutih, beserta kumisnya, seolah isyaratkan bahwa semakin dekat jasad mereka dengan kain kafan.

Lihat pula tangan mereka yang keriput itu. Gelombang-gelombang kehidupan yang telah mereka terjang. Dahulu mereka adalah pelayar yang selamat dari gelombang samudera hikayat hayat. Kini lukisan itu terkuas di kulit mereka...sekujur tubuh mereka.

Di antara mereka, ada yang mulai berjalan membungkuk. Tiada lagi tegak selaksana dahulu ketika ia berjuang mencari nafkah tuk anak istri. Tiada lagi tawa bahak yang dahulu ia lantunkan di usia muda membangga. Mereka membungkuk, isyaratkan tanah semakin mendekat. Isyarat ciptaan bahwa mereka harus ingat maut dan akhirat.

Di antara mereka ada yang hanya bisa terduduk bahkan terlentang tak berdaya. Hanya bisa mengingat dan merenung.

Kau kadang akan melihat beberapa gurisan luka di beberapa bagian kulitnya. Luka-luka itu tentu menyimpan cerita masa lalu, ketika kepala mereka masih tegak dan tawa mereka masih berbahak. Tetapi, luka terdalam yang bukan terlukis di kulit adalah luka di hati. Luka di hati yang diterjemahkan raut muka dan bisa percepat maut.

Yaitu luka yang diukir oleh anaknya sendiri jika ia didurhakai. Maka, semakin tua orang tuamu, semakin haluslag belaimu seharusnya; karena kekecewaan dan sakit hati takkan bisa disembuhkan setelah kehilangan ruh dan mati.

No comments:

Post a Comment