Thursday, December 20, 2012

SALATIGA, SELALU DALAM KENANGAN : [9] "PASAR MALING"


oleh Hasan Al-Jaizy


2004. Ketika itu saya masih mondok. Saat liburan dan pulang kota, pergi ke pasar Jatinegara. Mau apa? Hunting buku atau majalah bekas. Majalah yang saya cari ketika itu adalah majalah Humor. Humor adalah majalah era 90-an yang sudah tidak aktif lagi. Karena itulah saya cuma dapat bekasan. Itu pun mencarinya sulit. Harus keliling toko-toko buku bekas, kemudian mewawacandai penunggunya. Menanyakan eksistensi makhluk gaib...eh, majalah Humor di lapaknya.

Di kota Salatiga, dikenal sebuah bagian dari pasar, bernama Pasar Maling. Yang menjulukinya ya anak pondok saya. Istilah pondok lainnya: Suq Sariq. Kenapa dinamakan Pasar Maling? Karena isinya barang loakan. Murah meriah, bekasan dan sanad barangnya wallahu a'lam. Perawinya majhul semua dan penjualnya muttaham bil kadzib! Tertuduh berdusta. Muttaham bis sariqah! Tertuduh nyolong. Wong ustadz saya dulu pernah kehilangan sendal di pondok, ternyata ketika ia pergi ke Pasar Maling, sendalnya mejeng terkekeh-kekeh di sebuah lapak.

Di Pasar Maling, dijual juga kaset-kaset bekas dan original. Harganya setengah harga gres [baru]. Tapi, ada juga yang jual kaset aspal [asli-palsu], harganya seperempat harga gres.

Saya suka hunting buku atau majalah bekas di Pasar Maling jika hari itu adalah hari Jum'at. Terutama saat Jum'at siang. Karena memang pondok hanya mengizinkan keluar ke kota di Jum'at siang-sore. Tidak boleh selainnya kecuali dengan alasan darurat. Kalau tidak darurat dan cuma pengen main saja, silahkan manjat tembok atau gunakan trik lainnya. Tapi kalau ketahuan, ya resiko ditanggung pelaku skandal.

Kembali ke hunting. Ketika masih SMP, saya pernah memborong majalah sepakbola bekas. Ketika itu satu majalah bekas harganya berkisar 500-1000 rupiah ga pake nawar. Saya pun beli sekitar 10 atau lebih ga pake lama. Saat itu memang suka sekali membaca dan muraja'ah berita sepakbola ga pake tahdzir.

Duduk di bangku menengah atas, saya tertarik memborong majalah Intisari. Tentu saja bekas. Eman-eman mau beli baru. Kalau membaca majalah Intisari versi lama, saya teringat masa-masa itu. Ada seorang teman asal Banyuwangi yang juga suka bianget membaca, namanya Nadzofi Amaluddin. Dan ketika SMP, punya juga seorang teman doyan baca apa saja, namanya Ridha Azhari. Muka cina keturunan Banjarmasin. Kalau ketawa terbata-bata sambil mengeja dan sulit dihentikan.

Jika menemukan majalah Humor, saya gembira bukan main bola. Sueneng tuenan! Pasalnya, majalah tersebut sulit sekali didapat. Biarpun mungkin sudah apek, berdebu dan membuat bersin-bersin, tetapi tetap setia 'mantengin' tu majalah dibaca huruf per huruf.

Dulu, ketika masih mondok, saya belajar menulis 'humor' dan candaan dari majalah Humor ini. Majalah Humor suka memelesetkan kata atau istilah. Yang tadinya serius bisa menjadi mbladhus. Beberapa hasil inspirasi atau pengasahan tertulis di buku-buku, yang kalau sekarang mungkin masih ada di bumi ini [hiks] mungkin bakal menjadi kenangan yang menguras air cucian.

Pasar Maling memiliki atmosfir yang sulit didapat di pasar selainnya. Pasar Maling adalah pasar tradisional yang sederhana. Barang-barang rongsokan bergentayangan di sana. Penjual atau penunggunya juga unik-unik bentuknya, ada yang berambut panjang, ada yang terkuncir atas kepalanya, ada yang bolong di tengah perutnya [pusar], bahkan ada yang berjenglot tebal dan lebat.

Saya tidak tahu apakah Pasar Maling dan penunggunya masih ada sampai sekarang. Jikalau masih ada, tentu atmosfirnya beda dengan yang dulu. Sekarang pasti lebih modern. Pasti ada renovasi. Penunggunya juga ga sekuno dulu lagi. Ga berambut panjang ga jelas, dan ga suka pamer bolongan di tengah perut.

Pasar Maling termasuk pasarnya rakyat kecil. Disenggol dikit, emosi yang main. Seperti mereka yang turun ke jalan 'demi-memperjuangkan' suara rakyat kecil. Disenggol dikit, mbakar ban dan main lempar batu. Pasar Maling, jika terbakar satu ruko, akan berentetan terbakar samping hingga seluruhnya. Seperti rakyat kecil, jika disakiti satu jiwa, akan ikut-ikutan sakit yang lainnya. Padahal belum tentu ngerti masalah.

Kalau bukan rakyat kecil, berarti dia rakyat besar. Dan rakyat besar, disakiti sedikit, ngambek langsung, main duit dan lapor media.

INTISARINYA : HUMOR...What a joke!

No comments:

Post a Comment