Saturday, December 22, 2012

CAT : [53] "DALAM KERAGAMAN"


oleh Hasan Al-Jaizy


Dalam keragaman, bukan klaim dan pengakuan yang dibutuhkan. Tetapi sosialisasi dan amalan lebih diminta ia punya perwujudan. Justru klaim dan pengakuan [self-proclaiming] seringkali menimbulkan kerutan di dahi manusia tak segolongan. 

Setelah membaca tulisan teman sekelas saya ini: [http://www.facebook.com/saed.clpy/posts/303411959778414] yang berjudul 'Aku Muhammadi Bukan Muhammadiyah', saya tertarik menulis tulisan ini. Pemuda asal Cilacap ini memang sedang gencar dan semangat menulis. Salah satu hal yang membuatnya termotivasi menulis adalah pembahasan tentang ikhtilaf dan tanawwu' di lapangan.

Sekarang, ada pertanyaan:

"Bangsa Indonesia, ada berapa suku [atau katakan sub-ras]?"

Katanya, ada ratusan. Baiklah. Sekarang, saya bertempat tinggal di daerah Kalibata, Jakarta. Masukkan semua perwakilan dari tiap suku di Indonesia ke daerah saya untuk tinggal menetap beranak pinak mandi cuci kakus di sini. Apa kemudian yang terwujud? Keberagaman di satu buq'ah atau daerah. Kemudian, keberagaman itu mewujudkan apa?

Konyol jika kita sudah hidup bersama, sama-sama mencari penghasilan dan bertahan hidup, lalu ada yang memulai, "Saya ini orang Batak dan kamu bukan". Ada yang menimpali, "Saya ini orang Jawa, presiden kalian semua Jawa." Saya ikut menyatakan, "Saya keturunan Betawi dan tanah yang kau injak adalah tanah moyangku." Si Madura pun berkata, "Kalian tidak punya keahlian bikin sate dan soto. Saya mahir akannya karena Maduranya saya!" Belum lagi orang Irian marah dengan bahasanya sendiri, "Don't judge a book by its koper. My koper is black, cause I'm Irian!"

Akhirya apa yang terjadi? Hancurlah daerah saya. Tiap-tiapnya meninggi dengan rasnya....tiap-tiapnya berkelompok.

Sekarang, beralih ke gambaran kampus saya. Kampus ini juga memiliki kekurangan, sebagaimana yang lainnya. Tapi, yang paling menarik adalah keragamannya. Yang paling menarik adalah kita tetap adem dalam keragaman.

Di satu kelas, selalu ada ikhwah salafiyyin, ikhwaniyyin, nahdhiyyin, muhammadiyyin, irsyadiyyiiin, persisiyyin, hasmiyyin, hate'iyyiin, galauwiyyin, dan pengen-kawiin. Tetapi tidak ada yang mengklaim blak-blakan bahwa 'Gue ini...gue itu...Kamu ini...kamu itu."

Bukan berarti saya juga setuju 100% mereka berafiliasi di kelompok-kelompoknya; karena tidak semua kelompok saya setujui 100% kandungannya. Tetapi, justru keragaman inilah yang membuat kita adem ayem dan tidak semaunya lempar martil. Kalau dalam satu kelas cuma ada anak-anak HTI misalnya, sangat yakin saya mereka pasti suka menjelek-jelekkan Salafiyyiin. Begitu juga seandainya satu kelas cuma ada teman-teman Salafy [atau menjadi mayoritasnya], saya yakin sekali tema usungan HTI jadi bahan dagelan.

Makanya, ada sesuatu yang bisa sampeyan petik, ndro:

Kalau sampeyan seorang muhadhir atau khatib atau penceramah, sementara audiens itu campuran, mulai dari NU, PKS, PDS, PNS, Persija, Persikabo, Persiboy Boyolali dan Persetan, tidak akan Anda mengatakan, "Persetan itu sesat; karena tasyabbuh bi setan! Meskipun kepanjangannya Persatuan Sepakbola Magetan!" Bisa-bisa Anda dilempar bata. Lha, ini ceramah dalam keragaman.

Tapi, kalau ceramah di kelas atau masjid yang hadirinnya adalah orang-orang sewarna, sampeyan bebas meludahi siapapun di luar golongan, ndro!

Terlebih jika sampeyan ceramah di Internet. Sampeyan boleh mengejek kelompok lain separah-parahnya. Wong aman kok. Terlebih jika sampeyan memakai nama akun samaran dan tidak asli. Lebih aman lagi.

Berarti PALING ENAK:

--> Ceramah di Internet
--> Memakai nama akun palsu
--> Tanpa foto muka sendiri
--> Bergabung di komunitas sefaham sewarna

Kalau sudah begini, semua kelompok bisa dijelek-jelekkan dengan dahsyat dan beraninya. Tidak ada itu yang namanya tasamuh. Berani karena berselindung di balik keentahan. Sebenarnya yang semacam ini tidak berani sama sekali. Yang berani itu adalah yang langsung di tengah keragaman manusia: ia mencela keberagaman di depan tiap-tiap yang dicela.

Keberagaman sekitar justru membuat kita banyak belajar, toh? Tapi, bukan berarti saya setuju dengan keberagaman warna begitu saja. Dengan adanya keragaman, kita bisa belajar mengapa warna itu lebih disukai banyak orang dan mengapa warna lainnya dibenci banyak orang. Kita belajar 'kenapa' dan 'bagaimana' bisa, bukan belajar untuk menjadi warna-warni.

Manusia yang turun ke lapangan dan melihat serta merasakan langsung berbeda sikapnya dengan yang hanya mau hidup di dalam rumah dan ketika keluar rumah, ia tidak peduli dengan sekitarnya.

No comments:

Post a Comment