oleh Hasan Al-Jaizy
Dahulu sangat jamak terkesan bahwa pemuda berkacamata itu pintar dan suka membaca buku.
Kini? Tidak. Kacamata banyak dijual. Murah. Dan banyak dibeli bukan karena hajat darurat untuk melihat, melainkan perkakas unik untuk dilihat. Gaya-gayaan. Tentu tidak boleh kita menghakimi siapapun yang berkacamata hanya sekadar bergaya dengannya. Salah satu ciri khas mayoritas orang berkacamata yang memang karena kekurangan kualitas penglihatan dan karena kebutuhan adalah ketika ia melepas kacamatanya, ia akan langsung sedikit menyipitkan mata. Bisa dibuktikan. Dan ciri khas orang yang berkacamata karena style saja adalah suka gonta ganti frame, kadang dengan corak atau bentuk menarik, tidak konstan memakainya, hanya saat keluar rumah saja, dan sebagainya. Tidak 100% seperti ini, namun bisa kau buktikan sendiri di lapangan.
Dahulu yang namanya sebutan sarjana muda adalah sebuah kebanggaan betul-betul. Di tanah Betawi saja, jika seorang gadis dilamar seorang sarjana, keluarga gadis bangga bukan main.
Kini, sebutan sarjana muda sudah lumrah. Bahkan anak-anak muda ingin cepat-cepat jadi sarjana, sebodo teuing lah dengan ilmu selama 4 tahun. Yang penting dapat gelar dulu. Setelah sarjana muda membuih di samudera, mulailah magister muda bertebaran. Magister muda lama-lama tidak menyilaukan lagi saking bertaburnya di padang-padang pasir. Seterusnya akan merambat ke doktor-doktor muda. Suatu saat, kita akan benar-benar berharap manusia tak mudah silau dengan gelar akademik. Sehingga yang kurang beruntung di ranah akademik, entah karena faktor finansial ataupun kondisional, namun memiliki potensi dan kualitas memadai, menjadi manusia yang lebih layak dipandang dan dihormati.
Dahulu telepon genggam hanya dimiliki orang berada. Anak-anak dan pekerja kantor hanya bisa berdecak kagum dengan barang itu.
Kini telepon genggam adalah kelaziman setiap manusia. Sehari tanpa menjamahnya, serasa sesal mentalak tilu istri yang pernah dicinta. Tiada lagi wibawa orang bertelepin genggam.
Dahulu menulis kitab takhrij hadits adalah sebuah upaya yang hanya bisa dilakukan di perpustakaan besar. Membutuhkan masa yang panjang. Membutuhkan mata yang tidak mudah menutup rapat. Setelah tercipta berjilid kitab, puasnya setinggi langit, berkahnya mendunia dan sangat berarti.
Kini, seorang pelajar muda pun mampu melakukannya dengan cara dan trik singkat. Klik sana klik sini geser sana arsir sini, jadilah sebuah susunan takhrij. Yang mungkin saja ia tidak membuka kitab asalnya langsung. Bahkan bisa saja tanpa pernah membuka maraji langsung. Sehingga kian lama hal seperti ini bisa dilakukan siapa-siapa. Dengan segala kemudahan yang terberi. Yang sangat mungkin justru tidak memberi arti pada diri sendiri.
Antara dulu dan kini!
Kita tidak mengkufuri nikmat dan rahmat terberi. Kemudahan ini sungguh menyenangkan! Karena menyenangkan itulah, kita tentu lebih memilih yang mudah, bukan? Karena itulah, betapa banyak yang telah berbuat dan menghasilkan, namun serasa tiada makna bagi diri sendiri terasakan.
Antara dulu dan kini, meskipun kita tidak bisa mengkiaskan keseluruhan kini dengan yang dulu, tapi setidaknya ada yang bisa kita ambil dari pelajaran:
"Easy come = easy go"
Bukan kaedah mutlak, melainkan kaedah yang bisa saja terjadi pada diri kita sendiri.
Kini? Tidak. Kacamata banyak dijual. Murah. Dan banyak dibeli bukan karena hajat darurat untuk melihat, melainkan perkakas unik untuk dilihat. Gaya-gayaan. Tentu tidak boleh kita menghakimi siapapun yang berkacamata hanya sekadar bergaya dengannya. Salah satu ciri khas mayoritas orang berkacamata yang memang karena kekurangan kualitas penglihatan dan karena kebutuhan adalah ketika ia melepas kacamatanya, ia akan langsung sedikit menyipitkan mata. Bisa dibuktikan. Dan ciri khas orang yang berkacamata karena style saja adalah suka gonta ganti frame, kadang dengan corak atau bentuk menarik, tidak konstan memakainya, hanya saat keluar rumah saja, dan sebagainya. Tidak 100% seperti ini, namun bisa kau buktikan sendiri di lapangan.
Dahulu yang namanya sebutan sarjana muda adalah sebuah kebanggaan betul-betul. Di tanah Betawi saja, jika seorang gadis dilamar seorang sarjana, keluarga gadis bangga bukan main.
Kini, sebutan sarjana muda sudah lumrah. Bahkan anak-anak muda ingin cepat-cepat jadi sarjana, sebodo teuing lah dengan ilmu selama 4 tahun. Yang penting dapat gelar dulu. Setelah sarjana muda membuih di samudera, mulailah magister muda bertebaran. Magister muda lama-lama tidak menyilaukan lagi saking bertaburnya di padang-padang pasir. Seterusnya akan merambat ke doktor-doktor muda. Suatu saat, kita akan benar-benar berharap manusia tak mudah silau dengan gelar akademik. Sehingga yang kurang beruntung di ranah akademik, entah karena faktor finansial ataupun kondisional, namun memiliki potensi dan kualitas memadai, menjadi manusia yang lebih layak dipandang dan dihormati.
Dahulu telepon genggam hanya dimiliki orang berada. Anak-anak dan pekerja kantor hanya bisa berdecak kagum dengan barang itu.
Kini telepon genggam adalah kelaziman setiap manusia. Sehari tanpa menjamahnya, serasa sesal mentalak tilu istri yang pernah dicinta. Tiada lagi wibawa orang bertelepin genggam.
Dahulu menulis kitab takhrij hadits adalah sebuah upaya yang hanya bisa dilakukan di perpustakaan besar. Membutuhkan masa yang panjang. Membutuhkan mata yang tidak mudah menutup rapat. Setelah tercipta berjilid kitab, puasnya setinggi langit, berkahnya mendunia dan sangat berarti.
Kini, seorang pelajar muda pun mampu melakukannya dengan cara dan trik singkat. Klik sana klik sini geser sana arsir sini, jadilah sebuah susunan takhrij. Yang mungkin saja ia tidak membuka kitab asalnya langsung. Bahkan bisa saja tanpa pernah membuka maraji langsung. Sehingga kian lama hal seperti ini bisa dilakukan siapa-siapa. Dengan segala kemudahan yang terberi. Yang sangat mungkin justru tidak memberi arti pada diri sendiri.
Antara dulu dan kini!
Kita tidak mengkufuri nikmat dan rahmat terberi. Kemudahan ini sungguh menyenangkan! Karena menyenangkan itulah, kita tentu lebih memilih yang mudah, bukan? Karena itulah, betapa banyak yang telah berbuat dan menghasilkan, namun serasa tiada makna bagi diri sendiri terasakan.
Antara dulu dan kini, meskipun kita tidak bisa mengkiaskan keseluruhan kini dengan yang dulu, tapi setidaknya ada yang bisa kita ambil dari pelajaran:
"Easy come = easy go"
Bukan kaedah mutlak, melainkan kaedah yang bisa saja terjadi pada diri kita sendiri.
No comments:
Post a Comment