oleh Hasan Al-Jaizy
Seseorang mengeluh menumpahkan rasa sebalnya, "Gue heran sama si Panjul. Anak kemarin sore baru ngustadz tadi pagi tapi lagak bibirnya kayak ngarab-ngarab gitu. Baru aje die selese ceramah di mesjid depan kite-kite. Kagak inget kayaknye kite biasa nongkrong ngobrol pake bahasa kampung biasa. Tadi lagaknye kayak Wan Abud baru dateng Haji dari Arab aje, banyak kata gak bisa dipahamin. Lagenye kayak orang gede!"
Bisa difahami keluhan itu. Kita juga harus memahami bahwa orang ini tidak faham gejala yang terjadi pada si Panjul. Karena seseorang yang tidak merasakan langsung, tidak memahami seluruhnya.
Seorang penceramah pemula, tidak bisa dituntut sehebat penceramah senior; karena pemula adalah pelajar. Ia masih BELAJAR ceramah. Kalau menuntut muqallid untuk berlaku seperti mujtahid, maka Anda lebih rendah dari muqallid.
Seorang thalib yang belajar agama langsung pada syaikh, atau ustadz dengan bahasa Arab, secara otomatis akan memberikan influence dan pengaruh pada dirinya. Lalu ditambah gizi dan vitamin dari kitab-kitab. Banyak sekali istilah-istilah syar'i yang secara otomatis akan diucapkan pegiat ilmu Syariah dalam pembelajaran ataupun pengajaran.
Istilah Ghuluw, misalnya. Kalau diartikan ke bahasa nasional: 'berlebih-lebihan' atau 'melampaui batas'. Kalau mau lebih gaul, Ghuluw bermakna 'lebay'. Saya fikir Anda tidak usah menyalahkan khatib atau penceramah ketika mengatakan, "Islam melarang ghuluw dalam beragama!" Karena kata tersebut sudah terceplos secara otomatis.
Jangan langsung mengatakan bahwa penceramah yang sering mengeluarkan istilah2 gharib bin aneh berarti ia sedang bergaya. Jangan karena kejahilan dan ketidaktahuan kita akan istilah2 tersebut, lantas kita menyalahkannya begitu saja. Saya teringat dengan daurah Ust. Abu Qotadah cs di Kalimantan awal 2006 dulu. Salah seorang ustadz dalam kajiannya berkata, "Ana yakin antum banyak yang bingung karena ana dan para asaatidzah sering mengucapkan istilah2 Arabic yang aneh. Itu bukan salah kami. Itu salah antum. Siapa suruh tidak belajar Arabic?" Setelah kalimat itu, jema'ah satu masjid langsung berbondong belajar bahasa Arab.
Ceramah dengan bahasa merakyat dan difahami mayoritas manusia dengan baik itu tidak mudah; karena -seperti yang saya katakan tadi- banyak istilah yang sering 'keceplosan' diucapkan tanpa berfikir bahwa audiens belum tentu fahaminya. Terlebih jika penceramahnya masih pemula. Sudah SYUKUR ia masih mau belajar berdakwah dan ceramah. Sudah SYUKUR ia bisa memulai mentransfer ilmu ke hadirin.
Sekarang, kiaskan dengan diri Anda. Misalnya, kataklah Anda adalah seorang doktor. Sekarang, ceramahlah di depan umat tentang pembedahan perut manusia. Saya yakin pasti Anda akan menceploskan beberapa istilah yang sangat familiar bagi Anda namun asing bagi wong ndeso. Satu contoh saja. Sekarang, belajar agama tentu memperkaya istilah2 dan wacana. Memangnya mudah membumikan istilah dan kalimat? Bahkan tidak semua ayat atau hadits bisa diterjemahkan seenaknya saja.
Karena itu, guru agama harus diapresiasi meski mungkin ada kekurangan secara individual. Untuk mengungkap materi dengan bahasa merakyat dan bisa difahami oleh akal-akal berbeda itu tidak semudah manusia mengomentari pertandingan bola.
Sekarang, justru baiknya kita ngaca masing-masing. Ketika kurang mengerti maksud penceramah karena ada beberapa istilah asing, salah siapa tidak mengerti? Apa si penceramah harus mendefinisikan semuanya?
You akan merasakan jika you berposisi seperti dia.
http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/477053709002686
No comments:
Post a Comment