oleh Hasan Al-Jaizy
Ini adalah cerita NYATA yang terjadi hari Ahad kemarin. Tatkala saya dan adik saya berangkat pergi menuju ke Taman Mini. Niat awalnya adalah berdagang. Niat akhirnya adalah cari duit. Tidak ada niatan lain.
Ini adalah bukti NYATA bahwa ucapan orang tua, biarpun tidak serius, bisa jadi 'sesuatu' yang NYATA terjadi.
Saya dan adik saya berangkat jam 9 pagi. Adik saya memakai motor. Saya di belakangnya sambil membawa 'bakul' berisikan pepes karya emak saya, seorang emak-emak paling emak-emak dari emak-emak yang pernah saya lihat di bumi ini.
Saya membawa uang sekitar 60 ribuan. Adik saya beberapa puluh ribu terbawa olehnya. Sebelum saya keluar rumah, saya sempat ribet sendiri memakai sarung di kamar. Emak saya seperempat teriak dari bawah, "Cepetan ente, gan! Entar nyampe sana jam 12 [baca: DUA BELAS] lho!"
Dalam hati, saya bergumam sambil tergesa menata yang seharusnya ditata, 'Ah, masak segitunya perjalanan sampai 3 jam!?' Lalu kami berdua [saya dan adik] pun cabut. Serrrr!
Di tengah perjalanan, teman-temannya adik saya [yang sudah ada di TKP Stand Jualan] menelepon. Mereka memesan beli Aqua gelas 2 kardus dan beberapa keperluan. Baiklah. Akhirnya di dekat Kampung Rambutan, kami membeli semua keperluan itu dengan uang kami terlebih dahulu. Fikirnya: 'Nanti akan diganti tentu saja!'
Setelah beberapa kali kebingungan mencari jalan yang tepat menuju Taman Mini, akhirnya kami dapatkan jalan menuju gerbang loket 3. Berkat petunjuk polisi. Saat itu jam 10 pagi lewat sekian menit.
Ketika belokan gerbang loket sudah di depan mata, tiba-tiba: 'Deg...deg..deg...!' Ban kempes.
Akhirnya kami berhenti dan merasa kebingungan tingkat kecamatan. Melihat pemandangan sekitar, tidak ada terlihat tanda-tanda eksistensi Jasa Penambalan Ban. Lalu adik saya pun menyeberang mencari-cari dan bertanya-tanya. Sementara saya diam di pinggir jalan bersarung menjaga karya emas emak.
Adik saya kembali. Dikatakan letak tukang tambal ban harus muter di puteran depan. Akhirnya kami muter setelah sempat linglung karena ada dua belokan. Tapi, the show must go on. Kalau kita menyerah di situ dan berhenti, cerita ini selesai. Kalau cerita ini selesai, pembaca status ini malah jadi sebal.
Kami pun berhenti di sebuah toko berbentuk rumah manusia yang di depannya dipamerkan pelek=pelek mobil. Kami bertanya perihal eksistensi tukang tambal ban di daerah sekitar. Seseorang menunjuk pada toko di sampingnya. Ke sanalah kami.
Setelah sampai, kami diminta menunggu sang tukang; karena dia sedang ada urusan. Akhirnya setelah 15 menit lebih, muncullah ia dengan pakaian lusuhnya. Ia terlihat sibuk bulak-balik ke sebelah. Intinya, kami terdiam sekitar 30 menit dengan panas badan tinggi dan panas hati. Saat itu panasnya bukan main.
Akhirnya si tukang pun memeriksa apa yang terjadi. Bocor. Perlu ditambal. Dan proses pengeluaran ban dalam dan penambalan pun membutuhkan waktu minimal 25 menit. Tapi, ketika itu, semua terjadi lebih dari 25 menit. Tambah panas hati. Sabar...sabar... Di sela penungguan takdir, kami berdua ngobrol tentang apapun. Bercanda demi hangatkan hati. Lalu saya teringat perkataan emak kami: "Entar nyampe sana jam 12 [baca: DUA BELAS] lho!"
Saya bertukas pada adik saya, "Jangan-jangan benar kata emak. Kita bakal sampai jam 12!"
Setelah selesai penambalan, si tukang hendak memasang. Tetapi kemudian dia malah mendapati kebocoran di bagian lain dari ban dalam itu. Bahkan sampai 3 atau 4 lubang. "Rejal ni bahlul sawak! Gawe softoh thok!" kata saya kepada adik saya. Itu tadi bahasa pondok saya [bahasa jeme'eh/jema'ah] yang artinya: "Orang ini bodoh sekali! Kerja cuma bercanda aja!"
Karena mengejar waktu dan tidak mungkin ditambal lagi, kami memilih membeli ban dalam baru seharga 35 ribu. Totalnya 35 ribu. Awalnya keberatan; karena uang kami berdua sudah menipis disebabkan belanja kebutuhan tadi. Tapi, mau pegimane lageee? Ya sudahlah, direlakan saja.
Pukul 11.40, kami baru bisa kembali naik motor. Lalu sampailah kami di belokan kiri menuju Loket 3 Taman Mini. Sebelum sampai di antrian motor, saya bertanya pada adik, "Masuk Taman Mini bayar, kan?"
Bleng! Baru nyadar kalau masuk Taman Mini itu bayar. Memangnya punya Mbah Kakungmu pow masuk tidak bayar!? Saya dan adik saya terkesiap di detik itu. "Oh iya, ya...masuk musti bayar!" kata adik saya. Kita berdua ngeri sendiri mengingat uang tinggal tak seberapa.
Tiba-tiba datang seorang emak-emak penjual minuman. Dia menawarkan minuman. Tapi kami malah menawarkan soal. "Bu, bayar masuk berapa?" Dia menjawab, "Seorang 9.000" yang membuat saya kaget setengah hidup; karena belum tentu kita punya 18.000. Saat itu, belum memeriksa isi semua kantong. Baik itu kantong baju, kantong celana, hingga kantong 'ajaib'.
Kita pun nekad ke loket sembari bertanya. Siapa tahu ibu penjual tadi berdusta atau sekedar ber-ijtihad tanpa dalil. Maka kita pun mendekati petugas karcis. Ia langsung berkata, "24 ribu, mas!"
Lemaslah langsung tubuh kita berdua. "Waduh, mas....ga ada uang cukup nich! Ya sudah kita minggir dulu, mas!" kata saya. Lalu kami pun menepi dan meratapi nasib. Saat itu jam 11. 50!!!
"Udah deh, telepon temen2 ente! Suruh pada kemari bawa duit!" perintah saya pada adik. Dia membalas, "Ane ga punya pulsa telepon!" Kalimat itu membuat saya tambah lemas. Haduuuh, sama lah kita. Sama-sama ga punya pulsa untuk telepon. Cuma bisa SMS. Adik saya pun segera kirim SMS. Lalu ia ditelepon temannya dan menjelaskan bahwa kita tidak punya uang cukup untuk diizinkan masuk. Maka, temannya segera pergi mencari loket 3 dengan motor. Tentu saja ia tidak tahu jalan dengan tepat. Bisa jadi nyasar-nyasar dulu.
Di tengah penungguan, kami mengumpulkan duit. Di pinggir jalan. Depan loket. Yang ada semuanya recehan ribuan. Jumlah total setelah dikuras habis dari semua kantong: 19.000! Kurang 5.000 lagi!!! Ah, nanggung sangat.
Saya melihat jam. 11. 58. "Benar kata emak! Kita bakal nyampe jam 12. Tapi, sampai sekarang ga ada petunjuk dan penyelamat!" kata saya pada adik. Kami berdua menyaksikan mobil-motor masuk tak sepi-sepi. Di antara semua pengendara, banyak para jenggoters dan cingkrangers. Tadinya saya mau cegat salah satu dari para jenggoters, baik itu mobil atau motor. Untuk apa? Untuk merealisasikan ucapan emak saya bahwa kami akan sampai jam 12. Tapi, malu juga. Apa kata emak saya nanti???
12.00
Jam 12 TEPAT! Tiba-tiba saya melihat salah seorang dari pengendara motor yang sedang ingin masuk dan membayar di loket. Tepat! Ia adalah Arief Ardiansyah, kakak kelas saya waktu di pondok dulu. Ia datang dengan anaknya dan temannya yang juga teman di pondok. Langsung saja saya setengah berlari menghampiri. Ia terkaget, "Lho, ente ngapain di sini?"
Saya balas, "Al-Muhim [yang penting]. Ane kejebak di mari. Ada 5 ribu ga?" Todongan itu langsung dibalas dengan sogohan 5 ribu.
Setelah itu, suasana hati berubah sama sekali. Akhirnya pukul 12 tepat kami berhasil masuk Taman Mini Indonesia Indah dengan resmi. Cerita ini sudah disingkat. Sebenarnya panjang sangat. Tapi yang penting:
"Ucapan Emak-Babeh Perlu Diwaspadai"
No comments:
Post a Comment