Friday, December 21, 2012

CAT : [50] "BENDERA TAK LAYAK DIHORMATI!"


oleh Hasan Al-Jaizy


Tidak mesti orang yang keberatan menjawab 'Ngafwan, ana ga tahu' adalah orang yang berusaha berbicara melebihi kadarnya atau sok tahu atau lainnya yang bersifat negatif.

Karena bisa jadi ia keberatan mengucapkan itu setelah ditanya perihal suatu permasalahan, karena ia dahulu tahu jawabannya namun terlupa. Dan ia berusaha mengingat keseluruhan jawaban atau berusaha menata kalimat.

Kadang kita menyesal mengapa lebih banyak lupa dibanding lebih banyak tahu.
Lebih menyesal lagi jika ternyata kita tidak tahu bahwa kita banyak lupa.

Kadar kemampuan tiap orang dalam menghafal dan mengingat itu berbeda, seperti yang termaklumi oleh akal sehat. Jangan ketika melihat gurumu atau ustadzmu lupa ayat, hadits, atau kaedah, langsung kau yakini itu karena ia sedikit ilmunya, kurang bisa dipercaya dan pandangan buruk lainnya. Daripada membahas dhabit atau tidaknya hafalan gurumu, lebih baik kamu mengaca diri. Andai kamu hafal 5 hadits, lalu diminta mempresentasikan ilmu di depan manusia, belum tentu kamu bisa melafadzkan satu hadits tuntas lancar.

Kadang kamu merasa senang dengan tulisan-tulisan yang kau buat. Bertaburan dalil-dalil. Jika itu sebatas kesenangan karena telah berhasil berbuat baik dan beramal, maka bersenanglah. Namun jika sampai merasa 'ustadz pun belum tentu bisa seperti aku' atau 'anak lulusan pesantren yang katanya mendalami agama pun belum tentu bisa seperti aku' atau perasaan menipu lainnya, maka perlu kewaspadaan segera.

Ingat sekarang zaman semua orang bisa berbicara. Dan kita bisa men-tazwiir [memalsukan-mengimitasi] sesuatu; baik itu memalsukan 'siapa kita', atau mengimitasi milik orang agar orang mengira 'kita adalah siapa'. Sehingga kadang yang tidak layak disebut ustadz pun dibilang ustadz dan syeikh. Dan yang benar-benar ustadz malah dikritik karena perbedaan-perbedaan. Karena sekarang perbincangan agama tidak hanya di pondok-pondok, mesjid-mesjid dan antar santri-ustadz, maka di luar ketiganya, semua boleh membincangkan agama.

Yang tidak pernah mondok, tidak perlu merasa lebih dahsyat dari anak-anak pondok; karena merasa dirinya yang bukan lulusan pondok saja bisa bicara agama. Sedangkan lulusan pondok belum tentu sehebat dia. Hati-hati. Anak pondok pun harus hati-hati dengan ilmunya [jika memang masih ada].

Yang tidak pernah ikut kajian, baik di masjid atau di pengajian formal akademik, melainkan belajar secara otodidak tanpa guru langsung, seperti belajar dengan menonton video kajian, mendengarkan mp3 atau sekadar membaca buku saja, tidak usah tendang-tendang gentong di depan masjid atau kampus Islami, dengan menantang, 'Mana nih anak pengajian? Ngaji doank ilmunya ga keliatan...ga disebarin! Katanya cari ilmu!? Mana!?' atau kalimat yang zahirnya tidak sekasar itu. Hati-hati.

Sekarang wasilah menuntut ilmu bergentayangan dan mengejar-ngejar kita. Kalau sudah dimudahkan begini, jangan petantang-petenteng menitip ludah ke mana-mana. Kita ini sudah dimudahkan. Artinya: kita ini dapat dengan mudah. Arti lain: kita tidak berjuang sebagaimana orang-orang dahulu. Kalau begitu: Jika perjuangannya tidak sekeras orang dahulu, jangan merasa tinggi dengan perjuangan mudah.

Seharusnya, semakin mudah kita mendapatkan, semakin mudah pula kita memberi. Bukan malah semakin mudah, semakin belagu. Gelar sarjana di era 80-an istimewa sekali; karena perjuangan menujunya benar-benar berat. Berbeda dengan era millenium. Makin kemari, makin banyak permainan uang dan copy-paste. Atau paling bagus: tidak curang tetapi tetap jauh lebih mudah. Nah, kalau semudah ini, justru seharusnya kita lebih merunduk dan malu dengan angkatan lama.

No comments:

Post a Comment