Friday, December 14, 2012

CAT : [30] "JAKA GOLOK BAWA SEMBUNG!"


oleh Hasan Al-Jaizy


Guru Qiro'ah : "Mister, huruf hija'iyyah terdiri dari 26, loch!"

Guru English : "Ciyus, I haru bilang 'waw' gituch?"

Guru Qiro'ah : "Yo alif ba ta dulu dong, Mister. Masak langsung ke huruf 'waw'?"

Dalam membaca atau mendengar, kita perlu memahami kata dan kalimat yang terbaca atau terdengar. Perlu juga memahami sikon, personality pembicara dan lainnya. Jika memahami dengan benar dan pada tempatnya, maka nyambunglah. Namun, jika salah dalam memahami, maka sembunglah!

Dalam salah satu ilmu bahasa Arab, dikenal istilah Haqiqah [hakekat] dan Majaaz [Majas]. Kalau hakekat, maksudnya adalah makna sebenar atau asal atau asli dari suatu kata ataupun kalimat. Sedangkan majas, maksudnya adalah makna yang tidak sebenarnya, atau bukan aslinya dari suatu kata ataupun kalimat.

Saya beri contoh:

"Saya melihat kutu di rambutmu", yang difahami dari kata 'kutu' adalah hewan yang secara adat dan tradisi senang tinggal di rerambutan. Ini adalah makna hakekat.

"Di perpustakaan banyak sekali kutu bergentayangan", yang difahami dari kata 'kutu' adalah manusia yang suka membaca buku. Biasa disebut 'kutu buku'. Penyebutan 'kutu' bagi manusia, bagaimanapun, tidak mengisyaratkan makna aslinya. Karena keduanya memiliki perbedaan yang jauh kiranya.

Lalu, ilmu Ushul Fiqh pun mengadopsi salah satu materi ilmu Balaghoh ini. Hanya, sebagaimana yang tersohor dan berlaku, ilmu Ushul Fiqh justru membahas pembahasan ini lebih dalam dan lebih luas dari ilmu Balaghoh. Karena itulah: seorang ahli Ushul Fiqh pasti seorang yang mahir bahasa Arab. Dan jangan heran jika: tidak mungkin seorang yang tidak memahami bahasa Arab takkan menguasai Ushul Fiqh. Sehingga: untuk mengetahui dan mendalami nash ayat atau hadits dengan detail, manusia harus ngerti ilmu bahasa Arab dan Ushul Fiqh. [Nyok, belajar lagi kita!]

Dalam ilmu Ushul Fiqh, dikenal pula Hakekat dan Majas.

Hakekat terbagi menjadi 3:

[1] Hakekat Lughawiyyah: yaitu makna asli yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa.

Misalnya:
-- lafadz 'Shalat', secara bahasa bermakna DOA.
-- kosakata 'Wedhus', secara bahasa bermakna 'kambing' atau semacamnya.

[2] Hakekat Syar'iyyah: yaitu makna yang telah ditetapkan oleh Syariat, baik itu langsung oleh Allah dan Rasul-Nya, ataupun hasil racikan para ulama syariat.

Misalnya:
-- lafadz 'Ghibah', secara syar'i bermakna 'penyebutanmu tentang saudaramu yang ia benci [jika mengetahui/mendengarnya]'. Makna ini langsung dari Rasulullah.
-- lafadz 'Shalat', secara syar'i bermakna 'perbuatan dan perkataan khusus, yang dimulai dengan Takbiir dan diakhiri dengan Salam.' Makna ini adalah hasil racikan para ulama. Dan bisa terjadi perbedaan kalimat.

[3] Hakekat Urfiyyah: yaitu makna yang telah diamini/ditetapkan/dimaklumi oleh daerah/kelompok/golongan/kumpulan manusia setempat atau sekelompok.

Misalnya:
-- kosakata 'Ghosob', di lingkungan/urf pesantren atau pondokan, maknanya adalah 'meminjam barang tanpa izin'.
-- penyebutan 'Wedhus', di kalangan geng motor Losari Cirebon, ternyata dimaksudkan untuk salah satu anggotanya. Bukan dimaksudkan 'wedhus' kambing.

Kemudian, juga ada pembahasan majas dalam Ushul Fiqh.

Saya cukupkan di sini saja. Mudah-mudahan mudah dicerna. Agar nyambung dengan suatu pembahasan, maka sesuaikan pemahaman dengan kadar atau kualitas pembahasan.

Jangan ketika kita berbicara tentang singkong produksi Sorong, malah difahami sebagai singkong produksi Hongkong.

Jaka Sembung bawa golok


No comments:

Post a Comment