Monday, December 31, 2012

Membangkitkan Kuburan Keramat

oleh Hasan Al-Jaizy

"Gus, waktu ente mondok dulu, kitab pikihnye pake apaan?" tanya saya di kelas pada seorang Gus-gus, teman dekat saya di kampus. Ia adalah lulusan pondok NU alias perguruan hijau. 

"Dulu, ane pake kitab Fathul Mu'in kalau di majelis. Tapi di kelas pake Fathul Qorib," jawabnya.

"Oh, gitu ya, Gus!? Bisa dua gitu, ya? Kenapa Fathul Mu'in ga dimasukkan jadi kurikulum sekolah aja?" tanya saya selanjutnya.

"Yo, ga cukup lah, San. Kan lebih tebal. Nanti ya ga habis buat sekian semester."

"Oh, ngerti lah ane. Jadi, kalo di majelis [pengajian pondok], pake Fathul Mu'in karena memang lebih luas dan ga terkait sama silabus resmi ya!?" Saya mengangguk-angguk.

Gus pun berkata, "Dulu tuh ya, waktu ane jadi santri, ane ngeliat ustadz ane ngejelasin Fathul Mu'in kagum buanget. Lancar banget ngejelasin."

"Ciyus?"

"Tapi ternyata ya dia NGEJELASIN pakai kitab I'anatu Ath-Thalibin. Plek persis," terusnya.

Hehe...saya ketawa tersenyum-senyum atau senyum tertawa-tawa berduaan. Kitab I'anatu Ath-Thalibin adalah sebuah kitab syarh untuk Fathul Mu'in. Bagus sekali penjabarannya memang. Bagi yang ingin mendalami Fiqh Syafi'i tingkah menengah, buku ini recommended.

Jadi, dahulu, karena memang 'jahilnya' kita, kita memandang ustadz tersebut pintarnya sangat-sangat. Padahal sang ustadz pun tak luput dari bantuan dan bisa jadi takkan bisa melakukan tanpa bantuan itu; karena memang sudah menyandarkan diri padanya.

Banyak manusia yang kita kagumi karena kepiawaiannya dan kemampuannya. Sedang di saat bersamaan, kita juga dalam kondisi 'bodoh' dan 'tidak tahu'. Atau di saat bersamaan pula, orang yang kita kagumi tersebut menggunakan atau memanfaatkan bantuan sehingga terlihat sungguh piawai.

Seperti kekaguman kita terhadap pesulap. Ia bisa mengecoh pandangan penonton. Koin yang tadinya ada di tangan, tiba-tiba raib lalu malah nangkring di dalam gelas, misalnya. Bukan sulap bukan sihir, kalau gagal jangan nyengir. Kita tentu jika melihat dengan zahir kepolosan dengan menelanjangi diri dari sikap kritis dan rasa ingin tahu, akan berdecak kagum dengan hal itu. Tapi, bagi pesulap, hal itu sudah ratusan hingga ribuan kali ia praktekkan. Sudah biasa. Sudah basi. Sedangkan bagi kita, yang tidak tahu caranya, ya terpelongo saja.

Dan pesulap, selain membutuhkan keahlian, membutuhkan alat bantu atau bahkan orang kedua.

Seperti ustadz tadi, selain membutuhkan keahlian bahasa Arab dan kemampuan menerangkan, ia membutuhkan alat bantu, yaitu kitab I'anatu Ath-thalibin. Tinggal baca menerjemahkan saja; langsung dianggap hebat oleh orang jahil. Sementara bagi orang hebat, hal tersebut tidak hebat-hebat amat. [bukan bermaksud merendahkan atau meninggikan!]

Tetapi, ibrohnya: orang yang tidak punya akan terkagum akan kepunyaan orang lain atau orang lain yang berpunya.

Makanya, ada kalimat 'Iri tanda tak mampu'; karena memang tidak punya kemampuan. Kalau Anda punya, ngapain ngiri? Kalau Anda mampu, ngapain ngiri? Kalau Anda ga punya dan ga mampu, maka wajar saja Anda ngiri. Begitu, kan?

Kagum itu seringkali disebabkan ketidaktahuan kita akan trik-trik orang yang dikagumi. Makanya, jika Anda kagum akan seseorang, jangan berlebihan. Karena Anda pun tidak bisa memastikan apakah kehebatan orang tersebut murni miliknya atau hanya mengandalkan bantuan; sehingga jika bantuan habis, ia tidak punya apa-apa lagi!?

Banyak kok artis-artis yang muka aslinya bluwek; tetapi setelah tampil di TV, ia lebih cantik dari pelacur manapun. Mungkin malam ini mereka-mereka akan tampil. Lha, kalau yang begini, untuk apa dikagumi kecantikannya? Wong aslinya ga punya kecantikan kok. Anda lebih cantik lho sebenarnya; tanpa melihat apakah And wanita atau bukan.

No comments:

Post a Comment