oleh Hasan Al-Jaizy
Jika seorang muda terbiasa mutaladzdzidz [menikmati] sensasi keangkuhan dalam dirinya ketika baru bisa menguasai suatu ilmu atau memahami suatu perkara atau 'merasa' keduanya, ditakutkan hingga tua ia terus menikmati rasa itu hingga hilang berkah ilmu dan fahamnya. Sungguh miskin jika seseorang mengerahkan segala juhd [daya dan upaya] untuk ilmu, namun ternyata tidak berkah ke depannya. Bahkan, seorang yang miskin ilmu namun senang berbagi dan lebih menikmati kerendahan hati, itu lebih memicu hadirnya keberkahan.
Karena ilmu tidak hanya tentang hafalan, pemahaman, banyaknya kitab, terkurasnya tinta pena, besarnya upaya dan frekuensi standar ikut kajian. Bahkan semua itu, jika tidak menghadirkan rasa takut [khasyyah] terhadap Yang Maha Tahu dan Yang Menelaah hati tiap manusia, bisa jadi tiada berarti.
Awalnya, ilmu dicari demi penghambaan [ubudiyyah].
Akhirannya, ilmu dimiliki sebagai modal penghambaan pula.
Di tengahnya, ilmu diamalkan sebagai penghambaan.
Di selanya, ilmu disebarkan sebagai dan untuk penghambaan.
Lalu, bagaimana jika seorang hamba menggali, mengamali dan menyebarkan ilmu tanpa adanya nafas penghambaan? Rugi yang tak tertandingi di sebandingnya kerugian lain.
Jika sudah menikmati keburukan jiwa sedari muda, sulit melucutinya di masa tua.
Sebagaimana seorang yang sudah tercandu narkoba diam-diam, selama tiada upaya melepaskan diri dari cengkraman candu, hingga mati bertemankan kekonyolan.
Seperti pula yang sudah terasah untuk menghidupkan perkara mengada-ada dalam agama [bid'ah], dan menjadikannya sebagai adat atau tradisi permanen, hingga seterusnya sulit melepaskan itu semua; meski hati benar-benar mengingkari.
Dikisahkan pula beberapa ulama Ahli Kalam [tanpa sebut nama] di qarn [abad] 4 Hijriyyah dan seterusnya, menyadari kesiaan dalam meng-kalam-kan agamanya. Lalu berupaya melepaskan jubah Kalam. Namun seperti sudah menjadi darah dan daging kujuri sekujur tubuh. Tak terlepaskan; meski hati dan lisan dengan jujur katakan, 'Sungguh aku telah sia-siakan banyak waktu dalam umurku menelan kalam'. Ya, hingga Kalam tercerna tanpa saringan, yang kemudian menjadi darah dan daging.
Maka, selagi sempat, dan selama masih ada penasehat dari selain diri sendiri, mari kita saling mengisi dan memahami. Dan Allah lah yang membolak-balikkan hati.
Jika seorang muda terbiasa mutaladzdzidz [menikmati] sensasi keangkuhan dalam dirinya ketika baru bisa menguasai suatu ilmu atau memahami suatu perkara atau 'merasa' keduanya, ditakutkan hingga tua ia terus menikmati rasa itu hingga hilang berkah ilmu dan fahamnya. Sungguh miskin jika seseorang mengerahkan segala juhd [daya dan upaya] untuk ilmu, namun ternyata tidak berkah ke depannya. Bahkan, seorang yang miskin ilmu namun senang berbagi dan lebih menikmati kerendahan hati, itu lebih memicu hadirnya keberkahan.
Karena ilmu tidak hanya tentang hafalan, pemahaman, banyaknya kitab, terkurasnya tinta pena, besarnya upaya dan frekuensi standar ikut kajian. Bahkan semua itu, jika tidak menghadirkan rasa takut [khasyyah] terhadap Yang Maha Tahu dan Yang Menelaah hati tiap manusia, bisa jadi tiada berarti.
Awalnya, ilmu dicari demi penghambaan [ubudiyyah].
Akhirannya, ilmu dimiliki sebagai modal penghambaan pula.
Di tengahnya, ilmu diamalkan sebagai penghambaan.
Di selanya, ilmu disebarkan sebagai dan untuk penghambaan.
Lalu, bagaimana jika seorang hamba menggali, mengamali dan menyebarkan ilmu tanpa adanya nafas penghambaan? Rugi yang tak tertandingi di sebandingnya kerugian lain.
Jika sudah menikmati keburukan jiwa sedari muda, sulit melucutinya di masa tua.
Sebagaimana seorang yang sudah tercandu narkoba diam-diam, selama tiada upaya melepaskan diri dari cengkraman candu, hingga mati bertemankan kekonyolan.
Seperti pula yang sudah terasah untuk menghidupkan perkara mengada-ada dalam agama [bid'ah], dan menjadikannya sebagai adat atau tradisi permanen, hingga seterusnya sulit melepaskan itu semua; meski hati benar-benar mengingkari.
Dikisahkan pula beberapa ulama Ahli Kalam [tanpa sebut nama] di qarn [abad] 4 Hijriyyah dan seterusnya, menyadari kesiaan dalam meng-kalam-kan agamanya. Lalu berupaya melepaskan jubah Kalam. Namun seperti sudah menjadi darah dan daging kujuri sekujur tubuh. Tak terlepaskan; meski hati dan lisan dengan jujur katakan, 'Sungguh aku telah sia-siakan banyak waktu dalam umurku menelan kalam'. Ya, hingga Kalam tercerna tanpa saringan, yang kemudian menjadi darah dan daging.
Maka, selagi sempat, dan selama masih ada penasehat dari selain diri sendiri, mari kita saling mengisi dan memahami. Dan Allah lah yang membolak-balikkan hati.
No comments:
Post a Comment