oleh Hasan Al-Jaizy
Apakah seorang alim [berilmu] bisa berlaku sombong?
Jawabannya: Bisa. Bahkan potensi untuk menjadi sombong besar sekali. Lebih besar dari potensi kesombongan pada orang jahil. Terutama jika sang alim tersebut adalah pelajar pemula, atau sedang keenakan bertingkah bagai 'ayam kaget'; yaitu kaget dan takjub dengan kemampuan diri, atau bergelimangnya kitab atau mashaadir ilmiyyah, atau kesenangan berada di tengah orang-orang berilmu. Sehingga kekagetan dan ketakjuban itu membuat lidah dan jemarinya membusurkan panah-panah tak layak terbang di angkasa.
Jadikan tulisan ini nasehat untukmu, saudara-saudari. Dan sebelum tulisan ini tertulis, penulisnya pun juga berusaha membenamkan diri pada cermin. Bila memang ini pahit untuk yang membacanya, anggap saja ia sebagai obat, bukan sebagai serangan pencari masalah.
Seorang yang menyadari dirinya hebat dan berilmu, bisa pula tak menyadari dirinya sombong. Karena itulah, ia butuh bergaul dengan orang di atasnya dan orang di bawahnya dari segi keilmuan. Jika ia bergaul dengan orang di bawahnya saja, ia akan merasa paling pintar dan gemar membodoh-bodohi. Jika ia bergaul dengan orang di atasnya saja, ia takkan mengerti bahwa masih banyak orang bodoh yang membutuhkan ilmu dan ia tak mau mengerti. Jika ia bergaul dengan keduanya [atas dan bawah], semoga ia tahu posisinya di mana dan bagaimana memposisikan diri. Namun jika sudah bergaul dan tak tahu diri, mengisyaratkan akhlak rusak dan hati kotor.
Boleh saya blak-blakan dan bermain dengan keterangan?
Seorang berilmu yang ada sombongnya, ketika melihat orang dengan derajat keilmuan terendah, ia akan menertawai dan meninggi, MESKIPUN hanya di hati. Dan ia tidak hendak memperbaiki.
Ketika melihat siapapun dengan derajat keilmuan di bawahnya, ia meremehkan dan meninggi, meskipun hanya di hati. Dan ia tak ingin tersaingi.
Ketika melihat siapapun setara dengannya, ia membawa diri meninggi.
Ketika melihat siapapun di atasnya, ia menganggap mereka belum tentu lebih mulia darinya. Dan bahkan merasa suatu saat mereka yang berada di atas akan terjatuh.
Boleh saya lebih blak-blakan?
Seorang berilmu yang ada sombongnya, ketika melihat teman dengan kadar keilmuan rendah dan baru bisa copas, ia mengejek, "Alaah...cuma bisa copas!" MESKIPUN hanya kalimat hati.
Ketika melihat siapapun dengan kadar keilmuan di bawahnya yang hanya mampu copas, terjemah fatwa dan semacamnya, ia merendahkan, "Alaaah...cuma bisa copas/nukil fatwa". Sedangkan ia sendiri tidak ada niatan menasihati atau memotivasi sebagai rasa cinta kepada temannya di jalan Allah.
Ketika melihat teman dengan kadar keilmuan setara, ia merasa lebih tinggi, lebih berpotensi, lebih punya kemampuan meng-explore, lebih apapun, meskipun zahirnya dalam muamalah merendah, namun kenapa dalam hati meninggi!?
Ketika melihat ustadznya atau ulama atau siapapun yang kadar keilmuannya lebih tinggi, dengan su'udzan dan dengki halus membatin, 'Aku bisa lebih dari mereka dan mereka belum tentu akan bisa seperti aku kelak.'
Orang-orang yang menuntut semua orang Islam untuk menjadi ulama mujtahid yang faham Arabic, semua ilmu Ushul, bisa ceramah, bisa menulis, bisa membuat karya ilmiah, punya kitab banyak tebal-tebal dan sebagainya, adalah orang-orang yang mungkin alim tentang agama, namun jahil tentang agama dan hatinya sendiri. Lebih buruk lagi jika sendirinya belum menguasai ilmu dan merangkulnya dengan baik, namun menitip percikan ludah pada orang-orang yang kadar keilmuannya di bawahnya.
Kesombongan Yang Halus
Tulisan ini adalah pil pahit dan serbuk asam bagi penulisnya...semoga juga pembacanya. Karena barangsiapa yang terbiasa diberi manisan, atau bermanis-manis saja, kelak hancur di masa-masa pahit.
Apakah seorang alim [berilmu] bisa berlaku sombong?
Jawabannya: Bisa. Bahkan potensi untuk menjadi sombong besar sekali. Lebih besar dari potensi kesombongan pada orang jahil. Terutama jika sang alim tersebut adalah pelajar pemula, atau sedang keenakan bertingkah bagai 'ayam kaget'; yaitu kaget dan takjub dengan kemampuan diri, atau bergelimangnya kitab atau mashaadir ilmiyyah, atau kesenangan berada di tengah orang-orang berilmu. Sehingga kekagetan dan ketakjuban itu membuat lidah dan jemarinya membusurkan panah-panah tak layak terbang di angkasa.
Jadikan tulisan ini nasehat untukmu, saudara-saudari. Dan sebelum tulisan ini tertulis, penulisnya pun juga berusaha membenamkan diri pada cermin. Bila memang ini pahit untuk yang membacanya, anggap saja ia sebagai obat, bukan sebagai serangan pencari masalah.
Seorang yang menyadari dirinya hebat dan berilmu, bisa pula tak menyadari dirinya sombong. Karena itulah, ia butuh bergaul dengan orang di atasnya dan orang di bawahnya dari segi keilmuan. Jika ia bergaul dengan orang di bawahnya saja, ia akan merasa paling pintar dan gemar membodoh-bodohi. Jika ia bergaul dengan orang di atasnya saja, ia takkan mengerti bahwa masih banyak orang bodoh yang membutuhkan ilmu dan ia tak mau mengerti. Jika ia bergaul dengan keduanya [atas dan bawah], semoga ia tahu posisinya di mana dan bagaimana memposisikan diri. Namun jika sudah bergaul dan tak tahu diri, mengisyaratkan akhlak rusak dan hati kotor.
Boleh saya blak-blakan dan bermain dengan keterangan?
Seorang berilmu yang ada sombongnya, ketika melihat orang dengan derajat keilmuan terendah, ia akan menertawai dan meninggi, MESKIPUN hanya di hati. Dan ia tidak hendak memperbaiki.
Ketika melihat siapapun dengan derajat keilmuan di bawahnya, ia meremehkan dan meninggi, meskipun hanya di hati. Dan ia tak ingin tersaingi.
Ketika melihat siapapun setara dengannya, ia membawa diri meninggi.
Ketika melihat siapapun di atasnya, ia menganggap mereka belum tentu lebih mulia darinya. Dan bahkan merasa suatu saat mereka yang berada di atas akan terjatuh.
Boleh saya lebih blak-blakan?
Seorang berilmu yang ada sombongnya, ketika melihat teman dengan kadar keilmuan rendah dan baru bisa copas, ia mengejek, "Alaah...cuma bisa copas!" MESKIPUN hanya kalimat hati.
Ketika melihat siapapun dengan kadar keilmuan di bawahnya yang hanya mampu copas, terjemah fatwa dan semacamnya, ia merendahkan, "Alaaah...cuma bisa copas/nukil fatwa". Sedangkan ia sendiri tidak ada niatan menasihati atau memotivasi sebagai rasa cinta kepada temannya di jalan Allah.
Ketika melihat teman dengan kadar keilmuan setara, ia merasa lebih tinggi, lebih berpotensi, lebih punya kemampuan meng-explore, lebih apapun, meskipun zahirnya dalam muamalah merendah, namun kenapa dalam hati meninggi!?
Ketika melihat ustadznya atau ulama atau siapapun yang kadar keilmuannya lebih tinggi, dengan su'udzan dan dengki halus membatin, 'Aku bisa lebih dari mereka dan mereka belum tentu akan bisa seperti aku kelak.'
Orang-orang yang menuntut semua orang Islam untuk menjadi ulama mujtahid yang faham Arabic, semua ilmu Ushul, bisa ceramah, bisa menulis, bisa membuat karya ilmiah, punya kitab banyak tebal-tebal dan sebagainya, adalah orang-orang yang mungkin alim tentang agama, namun jahil tentang agama dan hatinya sendiri. Lebih buruk lagi jika sendirinya belum menguasai ilmu dan merangkulnya dengan baik, namun menitip percikan ludah pada orang-orang yang kadar keilmuannya di bawahnya.
Kesombongan Yang Halus
Tulisan ini adalah pil pahit dan serbuk asam bagi penulisnya...semoga juga pembacanya. Karena barangsiapa yang terbiasa diberi manisan, atau bermanis-manis saja, kelak hancur di masa-masa pahit.
No comments:
Post a Comment