Saturday, December 15, 2012

CAT : [33] "DAI SEBUTA UMAT"

oleh Hasan Al-Jaizy


Beberapa guru saya berkata yang intinya, "Keadaan umat kita sekarang kurang lebih seperti keadaan umat di zaman Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab."

Apakah benar seperti itu? Bisa benar, bisa juga kurang benar. Tapi, bagi saya, sulit untuk menyimpulkan 'tidak benar' pada kalimat guru-guru saya. 

Di zaman Ibnu Taimiyyah [w. 728 H / 1328 M], Syi'ah sudah bergerilya, bukan? Karena jika tidak, untuk apa beliau mengarang kitab Minhaaj As-Sunnah, sebuah kitab berjilid-jilid besar dan deras akan faedah dalam rangka membantah satu kitab/makalah sesat penuh dusta dari seorang Syi'ah? Di zaman beliau pun, tersohor makalah-makalah falsafi dan aqli yang mendewakan akal serta menenggelamkan nash dalam perut bumi. Jika tidak, untuk apa beliau

mengarang kitab Dar' At-Ta'aarudh baina Al-Aql wa Aln-Naql, sebuah kitab berjilid-jilid besar dan deras akan faedah dalam rangka membantah para pengagung akal berlebihan?

Pula di zaman Ibnul Qayyim [w. 751 H / 1350 M]. Sezaman dengan Ibnu Taimiyyah; karena beliau [Ibnul Qayyim] adalah muridnya. Beliau pun membuat sebuah karya bernama Ash-Shawa'iq Al-Mursalah; untuk menghujam kaum Jahmiyyah Mu'aththilah denga petir-petir hujjah.

Di zaman Muhammad bin Abdul Wahhab [w. 1206 H / 1792 M], mayoritas manusia beraqidah rusak dan beramal jauh dari Sunnah [bahkan bertentangan]. Beliau sendiri adalah penelaah kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan mendapat influence besar darinya. Melihat kondisi aqidah dan amaliyyah lingkungan kehidupan [catatan: beliau sempat hijrah ke berbagai tempat untuk menimba ilmu], beliau pun menelurkan beberapa karya di bidang Aqidah.

Mereka adalah dai sejuta umat sebenarnya. Tentu saja bukan hanya ketiganya. Kita masih punya nama-nama para sahabat Nabi dan ulama setelahnya seperti An-Nakh'i, Al-Bukhary, Asy-Syafi'i, dan seterusnya. Mereka telah mendahului ketiga ulama yang tersebutkan di awal tulisan ini.

Dai sejuta umat, biarpun banyak pertentangan dan cacian terbusur menujunya, ia akan tetap menjadi dai. Karena cacian manusia bukanlah mizan, timbangan atau neraca baik atau buruknya materi dakwah. Tetapi jika seorang dai memegang kebenaran dan meyakininya, selama kebenaran yang diyakini diperkuat oleh dalil dan hujjah, maka tetaplah ia teguh meski memegang bara. Boleh jadi ia hari ini dan bertahun lamanya hanya didengar segelintir orang. Tetapi Allah punya rencana. Bisa saja Allah membuat hati manusia berpaling mengikutinya setelah wafatnya.

Dan bukanlah dai sejuta umat adalah dai sebuta umatnya.

Yaitu: sudah jelas umat begitu buta, lalu dainya ikut-ikutan buta. Ketika umat menginginkan ritual tertentu disegel halal, maka sang dai pun -dengan kemahiran dan kefaqihannya- bisa menyulapnya menjadi halal. Ridha lah umat. Dai sebuta umat.

Jika seorang dai sudah terperdaya oleh harta, pangkat dan harkat di mata manusia, maka ia bisa lebih hina dari kebutaan umatnya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba ia berubah menjadi budak bagi umat sekaligus budak bagi syahwat!?

Dai sebuta umat akan dicintai umat yang bertaqlid buta.
Dai sebuta umat akan dielu-elukan umat yang buta.
Jikalau umat tidak buta, dai-dai buta takkan merasa jumawa.
Jikalau umat mau berjaya, untuk apa mendengarkan dai-dai buta?

Dan umat dalam kebutaan...lalu ditambah kebutaannya oleh dai yang juga buta. Hingga kapan umat selesai membuta? Sementara tiap-tiapnya sedang asyik menikmati kebutaan yang terasa membebaskan, melenakan dan baik.

Dai sebuta umat boleh jadi dai sejuta umat. Jika sama-sama buta seperti umatnya, kepada apakah sang dai menyeru? Kepada kebutaan dan kepura-puraan tidak buta.

[tulisan ini tidak bermaksud mencela individu tertentu. Judul dan materi adalah permainan bahasa pula]


http://www.facebook.com/hasaneljaizy/posts/474197165955007

No comments:

Post a Comment