oleh Hasan Al-Jaizy
[1]
Nawawi: "Perguruan sebelah lebih megang soal Nahwu atau apapun tentang Arabic. Ane jadi iri."
Syirozi: "Ah, ingat juga, kawan, bahwa tidak semua manusia yang ahli Nahwu dan bahasa Arab itu manhajnya benar."
Nawawi: "Iya juga sih."
Syirozi: "hAhAhAy..."
[2]
Nawawi: "Perguruan sebelah, selain dibekali ilmu agama -meskipun kadang menyimpang-, mereka juga dibekali ilmu 'merakyat'. Jadi, calon-calon pendekar diberi kesempatan ziarah ke rumah-rumah rakyat, bercengkrama dan gotong royong. Sayang sekali perguruan kita tidak punya program seperti itu. Kita cuma dicekoki kitab-kitab dan peraturan. Rasanya terkurung di kerangkeng."
Syirozi: "Ah, jangan lupa, kawan, bahwa biarpun mereka bergaul, ada yang lebih penting darinya, yaitu manhaj. Bisa jadi mereka suka mujaamalah [basa-basi] saja dengan rakyat lalu berkata dan berfatwa kebalikan dari kebenaran. Tidak semua orang gaul benar ucapannya; bisa saja mereka berdusta demi langgeng pergaulan."
Nawawi: "Hmm...benar juga sih"
Syirozi: "hUeHuEhUe...!"
[3]
Nawawi: "Tiap hari ane online di Pesbuk. Di beranda tiap hari selalu melihat beberapa penulis ataupun copaser dijempoli puluhan jempol. Ada yang sampai ratusan malah. Kadang ane pengen seperti mereka. Bukan karena jempolnya sih, tetapi ane pengen tulisan ane laku dibaca, apalagi disukai. Jempol itu, biarpun kadang baunya apek, bisa memotivasi juga. Kadang bau ketiak pun memotivasi pria dan menggugah selera."
Syirozi: "Bah, kau ini. Belum tentu juga penulis yang laku tulisannya itu lurus manhajnya. Belum tentu juga ia beramal sesuai tulisannya. Belum tentu juga copaser mengamalkan ilmu. Jangan terkesima dengan hal seperti itu lah, kawan. Tidak semua yang digemari banyak orang adalah kebaikan."
Nawawi: "Hmmm...."
Ternyata Suyuthi diam-diam mendengar percakapan mereka dari atas pohon. Ia pun melompat tiba-tiba. Hap! Tepat Suyuthi berdiri di depan keduanya. Keduanya kaget bukan kepalang.
"Ente berdua ngoceh bikin bulu dada ane goyang-goyang. Lucu abis. Ente Nawawi, cuma bisa ngiri, ngarep, tapi ga mau bergerak. Ente Syirozi, cuma mau condong memandang suatu gelaja, atau orang, atau kelompok dari sisi negatifnya.
Kalo cuma bisa ngiri dan ngarep tapi ga mau bergerak padahal bisa, ujung-ujungnya bakal jadi dengki. Kalo udah dengki, ente bakal repot sama hati sendiri. Pengen makan hati orang, tapi sakit hati sendiri gara-gara makan hati sendiri.
Perguruan ane, perguruan hijau, memang sakti soal Nahwu, tapi kita juga punya kekurangan praktek. Kalau ente ngiri, at least ente belajar lebih tentang Nahwu.
Perguruan ane juga merakyat dan membumi. Down to earth. Kalo ente ngiri, ente bergerak donk ke masyarakat. Bimbing mereka. Jangan cuma ngiri doang. Jangan nunggu perguruan ente nerapin sistem begituan.
Kalo ente pengen jadi penulis yang banyak dibaca tulisannya oleh manusia, ya mulai nulis donk. Jangan cuma ngarep doank. Nulis dikit-dikit nanti menjadi bukit dan bukti bahwa ente memang suka nulis. Orang terbukti suka akan sesuatu jika ia konsisten. Orang terbukti 'memaksa diri' untuk suka akan sesuatu jika ia putus di tengah jalan.
Dan ente, Syirozi...
Kalo orang berusaha mengungkap sisi positif, jangan ente datangkan sisi negatifnya. Itu tanda-tanda orang ga jadi dan ga beres penataan fikirannya. Bisa-bisa, malah isi fikiran cuma su'udzan doank. Makanya, ente pernah nuduh ane Syi'ah gara-gara perkara kecil. Ente juga pernah labeli orang Khawarij gara-gara beda pemikiran sedikit.
Kalo ente begitu, bisa-bisa ilmu ente rontok, ga merakyat dan ga dapet jempol orang.
Ente juga kudu punya pendirian tegas, Nawawi, jangan cuma bisa membalas dengan 'Iya juga sih', 'Hmmm...' dan sebagainya.
Repot urusannya kalau cuma bisa ngiri dan mandang sisi negatif saja."
Tiba-tiba adzan Subuh terdengar. Purnomo terbangun dari mimpinya. 'Kenapa aku memimpikan mereka?' tanyanya di batin.
No comments:
Post a Comment