oleh Hasan Al-Jaizy
Sabtu sore. Turun dari kereta ekonomi. Lalu turun tangga peron. Stasiun Pasar Minggu Baru. Saya melihat seekor kucing. Kaki belakang sebelah kanannya buntung. Iba. Lebih mengiba dari pengemis jalanan atau orang sesat.
Sebelum Jum'atan Jum'at kemarin, saya sempatkan diri melewati kuburan keramat dan masjid besar di sampingnya. Di kedai depan masjid, beberapa nenek-nenek sudah nongkrong. Berikut cucu-cucu mereka. Apa yang akan mereka lakukan?
Game Online! Bukan. Melainkan sekadar permainan tangan. Maksudnya? Maksudnya, kau akan menyaksikan kala Jum'atan mereka mulai menebar pesona dan aura kemiskinan. Memasang muka memelas kasih. Memamerkan perut tangan mengemis asih.
Dan belum tentu mereka mengemis pula di desanya. Memang wajah mereka terlihat mirip permukaan sawah di desa, tapi simpanan mereka bisa jadi menggelembung diam-diam.
Pengemis sekarang mayoritasnya aktor dan aktris. Sinetron punya skenario. Mereka punya trik.
2011. Siang itu saya pulang kuliah. Numpak bis kopaja 57. Saya bukan sopirnya. Bukan pula keneknya. Memang situ nanya ya?
Ada seorang nenek penumpang jua bertanya tentang stasiun Kalibata. Saya menjawab dan menerangkan. Lalu saya pun turun. Juga dia. Karena memang saya turun di stasiun. Rumah saya dekat rel. Tetapi bukan tepat di samping rel. Apalagi di tengah rel. Memangnya nyawa saya berapa?
Tiba2 nenek ini memasang muka melas. Ia pun curhat. Ia katakan bahwa dirinya ingin pulang ke Bogor. Lalu ia ceritakan kejadian yang membuat saya iba campursari, kasihan gethuk lindri. Akhirnya saya tawarkan diri untuk mengantarkan ia ke loket dan belikannya karcis.
Setelah saya belikan, saya antarkan ia ke peron. Saya katakan ke petugasnya, tolong dijaga ini nenek. Siapa tahu ia masih punya anak perawan cakep adonan Sunda Lebanon. Ga lah. Saya tidak mengatakan begitu.
Lalu pulanglah.
Beberapa bulan kemudian, saya melihat seorang nenek masuk ke dalam bis 57. Ia berdiri di depan hadirin jemaah bis yang dirahmati Allah. Lalu ia menyampaikan muqaddimah, prolog dan khutbah sedikit. Setelah itu beliau qasidahan aau selawatan. Ujung-ujungnya minta bayaran. Saya kala itu menganggap tak ada yang istimewa. Manusia semacam itu sudah tak terhitung di kota yang suka menebang pohon jalanan ini.
Masa-masa berikutnya, nenek yang saya yakin asli Sunda itu sering sekali muncul. Ia sering mencai nafkah di lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata. Selalu begitu gayanya, tidak di-upgrade. Tidak pernah memakai gaya free-style, metalhead atau 69.
Kian lama, saya malah jadi teringat momen itu. Yaitu ketika seorang nenek minta bantuan uang untuk pulang ke Bogor. Saya mengorek-ngorek dan mengamati. Dan sampai sekarang saya hampir yakin 100% bahwa nenek itu adalah nenek pengemis itu.
Sampai sekarang, si nenek masih beroperasi di sana. Kadang jika ada razia orang ganteng, saya gelagepan sendiri. Lho, apa hubungannya?
Demi Allah, dibanding menyodorkan receh ke nenek semacam itu, atau pengamen musik, saya lebih suka memberi 5.000 rupiah ke anak yang membersihkan sampah di kereta ekonomi dengan sapu lidi lalu menengedahkan tangan, atau yang lebih saya suka, para Mr. Cepe', yaitu anak-anak muda atau berapapun usianya yang suka mengatur lalu lintas di pertigaan jalanan atau putaran. Tidak peduli mereka preman atau pengamen aslinya yang sedang magang menjadi polisi dadakan. Tetapi mereka memberi maslahat besar. Tidak seperti mengamen, mengemis atau bahkan menipu dengan kotak infaq untuk pembangunan Masjid Al-Al-Al.
Kalau punya daya berjalan, maka jangan meminta orang merangkul dan menjalankan. Tidak usah pakai pura-pura tergopoh-gopoh padahal mampu berjalan sempurna. Lihat kembali kucing berkaki buntung itu. Ia tidak mengemis kecuali kepada makhluk yang biasa memberi makanan. Kucing itu tidak berakal. Ia tidak bisa mengatur lalu lintas, menyampaikan prolog khutbah, menulis karya emas, dan sebagainya. Sementara, jika manusia kehilangan satu kaki, ia masih punya tangan tuk memegang pensil dan menulis, masih punya lidah tuk sampaikan faedah dan yang terawal seharusny, masih punya akal tuk berfikir. Kalau akal tidak ada, apa bedanya kemudian ia dengan binatang dari segi keberakalan!?
Sebelum Jum'atan Jum'at kemarin, saya sempatkan diri melewati kuburan keramat dan masjid besar di sampingnya. Di kedai depan masjid, beberapa nenek-nenek sudah nongkrong. Berikut cucu-cucu mereka. Apa yang akan mereka lakukan?
Game Online! Bukan. Melainkan sekadar permainan tangan. Maksudnya? Maksudnya, kau akan menyaksikan kala Jum'atan mereka mulai menebar pesona dan aura kemiskinan. Memasang muka memelas kasih. Memamerkan perut tangan mengemis asih.
Dan belum tentu mereka mengemis pula di desanya. Memang wajah mereka terlihat mirip permukaan sawah di desa, tapi simpanan mereka bisa jadi menggelembung diam-diam.
Pengemis sekarang mayoritasnya aktor dan aktris. Sinetron punya skenario. Mereka punya trik.
2011. Siang itu saya pulang kuliah. Numpak bis kopaja 57. Saya bukan sopirnya. Bukan pula keneknya. Memang situ nanya ya?
Ada seorang nenek penumpang jua bertanya tentang stasiun Kalibata. Saya menjawab dan menerangkan. Lalu saya pun turun. Juga dia. Karena memang saya turun di stasiun. Rumah saya dekat rel. Tetapi bukan tepat di samping rel. Apalagi di tengah rel. Memangnya nyawa saya berapa?
Tiba2 nenek ini memasang muka melas. Ia pun curhat. Ia katakan bahwa dirinya ingin pulang ke Bogor. Lalu ia ceritakan kejadian yang membuat saya iba campursari, kasihan gethuk lindri. Akhirnya saya tawarkan diri untuk mengantarkan ia ke loket dan belikannya karcis.
Setelah saya belikan, saya antarkan ia ke peron. Saya katakan ke petugasnya, tolong dijaga ini nenek. Siapa tahu ia masih punya anak perawan cakep adonan Sunda Lebanon. Ga lah. Saya tidak mengatakan begitu.
Lalu pulanglah.
Beberapa bulan kemudian, saya melihat seorang nenek masuk ke dalam bis 57. Ia berdiri di depan hadirin jemaah bis yang dirahmati Allah. Lalu ia menyampaikan muqaddimah, prolog dan khutbah sedikit. Setelah itu beliau qasidahan aau selawatan. Ujung-ujungnya minta bayaran. Saya kala itu menganggap tak ada yang istimewa. Manusia semacam itu sudah tak terhitung di kota yang suka menebang pohon jalanan ini.
Masa-masa berikutnya, nenek yang saya yakin asli Sunda itu sering sekali muncul. Ia sering mencai nafkah di lampu merah Taman Makam Pahlawan Kalibata. Selalu begitu gayanya, tidak di-upgrade. Tidak pernah memakai gaya free-style, metalhead atau 69.
Kian lama, saya malah jadi teringat momen itu. Yaitu ketika seorang nenek minta bantuan uang untuk pulang ke Bogor. Saya mengorek-ngorek dan mengamati. Dan sampai sekarang saya hampir yakin 100% bahwa nenek itu adalah nenek pengemis itu.
Sampai sekarang, si nenek masih beroperasi di sana. Kadang jika ada razia orang ganteng, saya gelagepan sendiri. Lho, apa hubungannya?
Demi Allah, dibanding menyodorkan receh ke nenek semacam itu, atau pengamen musik, saya lebih suka memberi 5.000 rupiah ke anak yang membersihkan sampah di kereta ekonomi dengan sapu lidi lalu menengedahkan tangan, atau yang lebih saya suka, para Mr. Cepe', yaitu anak-anak muda atau berapapun usianya yang suka mengatur lalu lintas di pertigaan jalanan atau putaran. Tidak peduli mereka preman atau pengamen aslinya yang sedang magang menjadi polisi dadakan. Tetapi mereka memberi maslahat besar. Tidak seperti mengamen, mengemis atau bahkan menipu dengan kotak infaq untuk pembangunan Masjid Al-Al-Al.
Kalau punya daya berjalan, maka jangan meminta orang merangkul dan menjalankan. Tidak usah pakai pura-pura tergopoh-gopoh padahal mampu berjalan sempurna. Lihat kembali kucing berkaki buntung itu. Ia tidak mengemis kecuali kepada makhluk yang biasa memberi makanan. Kucing itu tidak berakal. Ia tidak bisa mengatur lalu lintas, menyampaikan prolog khutbah, menulis karya emas, dan sebagainya. Sementara, jika manusia kehilangan satu kaki, ia masih punya tangan tuk memegang pensil dan menulis, masih punya lidah tuk sampaikan faedah dan yang terawal seharusny, masih punya akal tuk berfikir. Kalau akal tidak ada, apa bedanya kemudian ia dengan binatang dari segi keberakalan!?
No comments:
Post a Comment