Tuesday, December 4, 2012

CAT : [6] "ANAK PENGAJIAN JANGAN SONGONG"

oleh Hasan Al-Jaizy


Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya berusaha mengajak makhluk hidup yang membacanya untuk mengerti makna 'kaji', 'kajian', 'pengajian', 'mengaji', pengkajian' dan 'mengkaji'.

--> "Kaji" bermakna pelajaran dan penelitian atau penyelidikan atau sesuatu. 

--> "Kajian" bermakna sesuatu yang dikaji atau pengajian.

--> "Pengajian" bermakna pengajaran, pembelajaran, pembacaan Al-Qur'an atau kajian, atau proses perbuatan itu semua.

--> "Mengaji" bermakna membaca Al-Qur'an atau belajar membaca Al-Qur'an (tadarrus).

--> "Pengkajian" bermakna pembelajaran, penelitian, pembahasan, pencarian, penyelidikan, penelaahan, atau proses perbuatan itu semua.

--> "Mengkaji" bermakna mempelajari, meneliti, membahas, mencari, menyelidiki, menelaah.

Sementara...

"Anak Pengajian" = Anak di sini dimaknai orang yang secara rutin ikut pengajian, baik itu pengajian Al-Qur'an, maupun pengajian ilmu agama secara umum.

"Songong" = Tidak menempatkan derajat diri pada tempat semestinya di hadapan manusia; sombuong; belagu.

Alhamdulillah, setelah Anda memahami makna-makna kata di atas, akhirnya dengan lapang dada saya mengakhiri catatan ini dengan kalimat:

"Sesungguhnya mengaji dan mengkaji itu bukan untuk sombong-sombongan dan bukan ditujuakan sebagai ajang pameran semata. Pengajian itu ada yang bersifat akademik formal, ada juga bersifat non-akademik. Pengajian akademik formal terjadi di sekolah, madrasah, kampus dan semacamnya. Sementara pengajian non-akademik, terjadi di musholla, langgar, masjid, rumah dan selainnya.

Anak-anak pengajian akademik yang biasa disebut anak sekolah, anak pondok atau anak kampus, tidak selayaknya melet-melet di depan anak-anak pengajian non-akademik.

Juga sebaliknya, anak-anak pengajian non-akademik yang biasa hadir di mushalla, langgar dan masjid, jangan malah melet-melet di depan anak-anak pengajian akademik yang kelak bakal dapat ijasah.

Tapi, jadikan kedua golongan tersebut adalah golongan karya. Yakni: golongan yang berkarya dengan ilmu yang dipelajari. Tentunya setelah mengamalkan yang termampu. Karena jika seorang pelajar hanya belajar dan beramal tanpa berkarya, ia hanya bermanfaat untuk batok kepalanya sendiri. Masih banyak batok-batok yang perlu dipoles dan dijitak.

Karya, tidak mesti berupa tulisan atau yang disebut 'karya ilmiah'. Ketika seorang pelajar membuat grup dakwah di mushalla kampus, maka itu adalah sebuah karya. Jika itu tidak disebut sebuah 'karya', maka katakanlah itu adalah sebuah usaha untuk berkarya. Karya bisa juga berupa jasa. Kita globalkan saja: apapun yang ia lakukan selama memberi manfaat pada manusia, maka itu adalah sebuah karya.

Anak-anak pengajian akademik mendapat keuntungan lebih. Karena mereka akan mendapat ijasah dan lebih dipermudah untuk dipandang umat. Namun, ijasah, gelar dan nama sekolah/kampus tidak menjamin kualitas setiap individu lulusan. Jadi, kembali ke individu masingnya, dan tetap hormati ijasah, gelar dan nama sekolah/kampus sesuai kadarnya.

Anak-anak pengajian non-akademik mendapat keuntungan pula. Mereka tidak terbebani tugas-tugas akademik. Tugas-tugas akademik seringkali menghambat minat pelajar. Tidak perlu heran juga kenapa banyak anak pengajian akademik malas mengerjakan tugas, namun rajin mengerjakan sesuatu yang non-akademik tetapi ia sukai.

Yang tidak diberi rizki kuliah di kampus agamis semacam LIPIA, atau Univ. Ibn Saud-nya di Riyadh, atau yang di Madinah, atau di Yaman dan seterusnya, jangan mencibir diri sendiri. Dan juga jangan mencibir mereka yang kuliah di sana. Hati-hati dengan rasa iri. Iri itu ada yang positif. Namun jika tidak dijaga, ia akan menjadi negatif. Finally: dengki.

Jangan katakan, 'Ah, ga wajib juga kok ngampus di sana. Tidak sedikit juga lulusan sana tidak jadi orang berilmu tinggi.' Meskipun itu ada benarnya, namun perhatikan asal-muasal dan penyebab manusia berucap seperti itu. Jika itu disebabkan rasa iri, maka itu bisa berbahaya. Iri tanda tak mampu. Jika sudah mampu, untuk apa iri?

Jangan pula karena sudah banyak ikut kajian asaatidzah, sudah bisa hadir di daurah syaikh dari negeri minyak, lantas membandingkan diri dengan pelajar-pelajar akademik di LIPIA, misalnya. Lalu berkata, 'Gue yang ga ngampus di sono aje bisa kok ikut kajian seorang syaikh. Gue juga paham. Emangnya mereka doank!?' Tidak usah seperti itu berucap. Karena di kampus LIPIA pun, para pelajarnya sehari-hari berguru pada beberapa syaikh. Dan mereka [pelajar LIPIA] dituntut untuk tidak songong atau meninggikan diri di atas pelajar yang ditakdirkan tidak belajar di sana.

Jadi anak pengajian, dilarang songong.
Jika anak metal [metalhead] saja dilarang songong, apalagi anak pengajian yang tau agama!?
Jika seorang syaikh saja dilarang songong, apalagi anak pengajian yang masih belajar ngaji!?
Jika sama-sama anak pengajian dan masih belajar ngaji, untuk apa songong!?"

Nah, dengan kalimat sederhana di atas, saya menutup tulisan/status ini. Mari dewasakan diri dan saling mengingatkan. Songong itu bisa menjangkiti yang berilmu juga yang tidak berilmu. Dan belum tentu juga seseorang yang zahirnya songong, batinnya songong. Bisa saja karakter yang kurang mencerminkan isi. Terima sumbangan atas perhatiannya.

No comments:

Post a Comment