Saturday, December 1, 2012

Mengenang Kuburan Keramat


oleh Hasan Al-Jaizy

Jika seseorang bersahabat dengan buku, maka ia beruntung. Karena ia mendapatkan sahabat yang bisa membuatnya menambah maklumat, membuatnya tunduk, tanpa meminta imbalan materi ataupun jasa dari semua maklumat dan ketertundukan kepala. Jika seseorang membawa buku kemana-mana, maka ia akan menemukan buku tetap setia bersedia menjadi teman ketika tidak ada teman. Menjadi teman di masa sepi. Jika buku menceritakan padanya cerita lucu, ia menghiburmu. Jika buku menceritakan tentang perkara ngeri, ia menakutkanmu. Jika buku memberitakan sesuatu di negara nan jauh bermil-mil sana, terbayang di benakmu gambaran sesuatu. Namun, hal-hal ajaib tersebut tidak akan kau dapatkan di satu jenis buku. Yaitu: Buku Gambar.

Jadikanlah semua buku adalah teman yang seolah benar-benar bicara padamu. Karena ada beberapa dari manusia menjadikan semua buku layaknya adalah buku gambar. Hanya namanya saja buku gambar, tetapi ketika membacanya, tidak tergambar di benak pembaca apapun. Siapakah beberapa manusia itu? Yaitu mereka yang enggan membaca buku, meskipun sadar bahwa membaca buku memiliki kepentingan sendiri dalam hidup dan bahkan bisa membentuk karakter seseorang. Namun, baginya, semua buku berisikan kosong laksana buku gambar. Bayangkan jika ada 1000 buku gambar di rak rumahmu, apa faedah dari membaca semua itu? Tidak ada.

Sebagaimana kebanyakan orang menjadikan lagu-lagu favorit sebagai lagu kenangan. Bisa sebagai kenangan di masa tertentu, atau peristiwa tertentu, atau tentang individu tertentu. Seperti beberapa anak muda era 90-an misalnya, menjadikan beberapa lagu MLTR atau GnR sebagai lagu kenangan masa muda. Mengenang masa-masa jalan kaki ke sekolah. Mengenang masa-masa kehidupan musikal mereka masih bergantung pada radio atau MTV yang kala itu hanya numpang di ANTV. Atau beberapa anak muda yang mengabadikan kenangan pada pasangannya dengan lagu-lagu. Nah, sebagaimana kebanyakan orang berlaku seperti itu, maka jadikanlah:

Buku Sebagai Kenangan

Seseorang menjadikan lagu sebagai pembangkit kenangan karena mereka menyukainya. Maka, andai kau ganti lagu dengan buku, itu bagaikan mengganti air tuba menjadi air susu. Buku yang saya maksud adalah buku bermanfaat. Kalau bisa buku/majalah seperti Donal Bebek tidak masuk anjuran; meskipun penulis sendiri terkenang dengan majalah itu. Gubrak!

Tidak harus menjadikan buku-buku berat sebagai kenangan; tapi bisa jadi beratnya buku-buku itu menjadi kenangan tersendiri. Anda sekarang membaca Majmu Al-Fatawa Ibnu Taimiyyah yang dalam versi mutakhir berjumlah 37 jilid tebal-tebal. Jika ingin membacanya dengan santai, membutuhkan waktu 3-4 tahun. Itu pun harus faham bahasa Arab, mantiq dan semua cabang ilmu syar'i; karena 37 jilid tersebut bercampur semuanya. Terlebih dalam membantah Ahlu Al-Kalam, Ibnu Taimiyyah menggunakan gaya mantiq yang sangat kuat. Tidak cukup hanya memahami Arabic saja. Nah, beratnya hal tersebut [menghabiskan masa 3-4 tahun untuk membaca semuanya] akan menjadikan kenangan tersendiri.

Tapi, saya berfikir, 'Ngapain sich bikin contoh yang berat sekali? Memangnya ada jaman sekarang dari kita yang sedia baca Majmu' Al-Fatawa? Bukannya sekarang kita lebih suka membaca gosip seputar ustadz-ustadz yang menuju manhaj K yang tadinya bermanhaj S. Wah, wah, kalau ditambah manhaj P di awalnya, menjadi apa tuh!?'

Baiklah, contoh kitabnya yang standar saja. Berilah contoh kitab Sifat Shalat Nabi karya Al-Albany. Tidak sedikit lho orang yang akhirnya Allah bukakan baginya pintu hidayah setelah membacanya. Bahkan ada beberapa orang yang ketika kehilangan buku itu, ia merasa sedih dan berusaha menggali-gali kuburan keramat demi mendapatkan kembali buku itu. Kenapa sampai sebegitunya? Karena buku itu bagi mereka, selain memberi nilai ilmu, juga memiliki nilai historis yang bisa dikenang sepanjang zaman.

Saya teringat beberapa bahasan realita di dalam Pondok Salafiyah [pondok tradisional] di jaman dahulu, ketika saya masih muda. [?] Dahulu, era 80 dan sebelumnya, banyak dari santri pondok Salafiyyah dicekoki kitab-kitab kuning yang cetakannya benar-benar mura'bal [jelek] jika dibandingkan dengan cetakan masa kini. Kalau anak-anak jaman sekarang [terutama yang non-pesantren atau non-pengajian tradisional], jika disuguhkan kitab-kitab semacam itu akan mengatakan, 'Baca beginian apa ga ngerusak mata, nich?' Hehehe...saya tidak tahu juga deh. Tapi, syukurlah teman-teman dari pondok matanya normal kok selepas lulus dari pondoknya.

Kalau santri-santri jaman dahulu itu, selain dicekoki kitab seperti itu, mereka disuruh menghafal pula. Yang dihafal adalah matan dalam kitab itu! Seperti kitab kecil Matan Abi Syuja [Fiqh Syafi'i] misalnya. Sebagian pondok salafiyyah zaman dahulu mewajibkan anak-anak Tsanawiyyah untuk menghafalnya. Lalu, untuk Aliyah, mereka dibebani hafalan matan yang lebih banyak untuk Fiqh, seperti matan Fathul Qorib. Ada juga matan Minhajut Thalibin karya An-Nawawy. Sejak zaman dahulu, santri-santri pesantren dikenal suka menghafal. Tapi, semakin kemari, semakin sedikit penghafal. Karena santri-santri sudah punya HP kali ya? Jadi, sedikit-sedikit bisa SMS-an. Sedikit masalah, langsung SMS atau telepon mami papi sambil nangis-nangis. Lebih baik yang seperti ini tidak usah mondok saja. Bilang saja langsung ke kepala pondoknya [mudir]: "Pulangkan aku pada ibuku atau ayahku!"

Nah, karena santri-santri jaman baheula itu suka menghafal dan kesehariannya benar-benar tenggelam dalam matan-matan kitab, maka ketika tua, mereka terkenang dengan itu semua. Makanya, ada yang begitu fanatik pada kitab-kitabnya. Seolah-olah kitab itu adalah dalil bagi banyak hukum. Itu banyak terjadi pada perguruan hijau dimana Suyuthi terdidik. Tapi, ada sisi negatifnya juga. Yaitu: tidak sedikit dari santri menghafal hanya untuk menghafal. Sehingga, mereka tidak memahami apa yang mereka hafal dari matan. Amat disayangkan, bukan? Jika menghafal Al-Qur'an, biarpun tidak faham maknannya, pahalanya tak bisa dikira berapa hingganya. Tetapi, kalau menghafal matan kitab???

Seperti cerita teman saya, berasal dari Madura. Lulusan pesantren juga. Ia menceritakan ini ketika saya 'nebeng' di motornya. Pernah ia menghadiri suatu perlombaan besar. Rupanya perlombaan hafalan antar pesantren perguruan hijau di tanah airnya [Madura]. Yang membuat ia tercengang adalah ada perlombaan menghafal kitab Fathul Mu'in!!! Fathul Mu'in adalah salah satu kitab Fiqh Syafi'i yang laku keras di Indonesia. Kitab tersebut kalau mau diperkirakan 2x Bulughul Maram dari segi kuantitas matan. Tapi, bedanya, Bulughul Maram berisikan hadits, sementara Fathul Mu'in adalah matan Fiqh. Saya mendengarnya pun keheranan. Hari gini masih ada santri yang rajin menghafal kitab seperti itu. Dan yang lebih disayangkannya, kata teman saya itu, para penghafalnya sebenarnya tidak mengerti apa yang mereka hafal.

Kalau kata bapak saya, dahulu para kyai menyuruh murid-muridnya menghafal matan-matan kitab. Di antara santri ada pula yang diminta menghafal Shahih Bukhari atau Muslim. Beberapa cetakan Shahih Muslim di era 60-an hingga 70-an tidak memberikan nomor untuk setiap hadits. Yang ada hanya tulisan Arab dan nomor halaman. Lalu, para santri menghafal kitab itu. Mereka sama sekali tidak tahu nomor-nomor hadits. Malah yang mereka tahu dan hafal persis adalah nomor-nomor halaman.

Dan kita?

No comments:

Post a Comment