Tuesday, January 29, 2013

Ar-Razy...Seperti...Humor?

oleh Hasan Al-Jaizy


Ar-Razi...Seperti...Humor?

Ar-Razi

Ar-Razi

Adalah Fakhruddin Muhammad Ar-Razy (w. 606 H), seorang ulama besar, pemikir terhormat yang 'terlalu' pintar. Beliau menggeluti ilmu Kalam segelut-gelutnya. Hingga dosen saya, ketika membuka kitab Mafaatih Al-Ghaib, karya beliau di bidang Tafsir, ia mengatakan, "Saya membuka kitab Ar-Razy yang satu ini, tidak saya fahami sedikitpun maunya apa." Tetapi, seorang mahasiswa fanatik pada suatu ormas yang kala itu masih kuliah di Al-Azhar Mesir, romannya 'mengerti' tafsir tersebut. Dia melakukan sebuah perlawanan pada pemilik tulisan ini beberapa tahun lalu dengan 'copas' tulisan Ar-Razy. Atau, memang kitab itu dipelajari di sana? 

Ar-Razy, sebagaimana yang masyhur terkait ulama ahli Kalam, tentu saja dianggap wasting time dan wasting topics. Terutama dalam masalah Tauhid Rububiyyah. Di antara kelompok Ahli Kiblat yang membenamkan fikiran pada Tauhid Rububiyyah adalah kaum Sufiyyah. Mereka -jika tidak dibilang menafikan- mendevitalisir dan meminimalisir kepentingan Tauhid Uluhiyyah; padahal justru Rasulullah membawa risalah demi memberantas kemusyrikan dan kekufuran. Dan tujuan penciptaan adalah penghambaan, bukan? Coba buka Surat Adz-Dzariaat ayat 56. Oh, makanya, banyak dari kaum Sufi, baik itu di negeri padang pasir (Arab) atau di negeri padang ilalang (Indonesia) bisa brutal dalam beribadah. Tidak ada aturan. Bahkan bukan sebuah hot news jika kita melihat seorang penggelut Sufi melakukan sesuatu yang orang gila saja merasa tidak pantas melakukannya.

Seperti apa itu?

Seperti apa itu?

Seperti curhat di kuburan wali. Tidak sekadar curhat. Curhat itu toh curah isi hati. Tapi, ini beda. Sampai minta didoakan oleh si mayyit supaya dapat rejeki dan supaya para murid tidak jadi seperti Komunis. Kalau orang gila menonton ini, ia bisa-bisa jadi waras lagi; karena merasa 'wah, ternyata ada yang lebih gila dari gue'.

Atau, 'nyemil' kotoran wali. Lihat saja rekaman pendeknya di Youtube. Entah di negara mana itu.

Dancing, Roqs, Tarian, Nyanyian dan Humor Sufi. Semua itu pas disebut dengan 'Nada dan Dakwah'. Joget-joget dengan lagu Arab [marawisan atau apapun namanya] dan meyakini bahwa itu merupakan tradisi dan budaya Islam. Tradisi mbahmu kuwi. Tradisi mbokmu kuwi. Tidak ada dalam Islam tradisi seperti itu. Tidak ada sahabat mengenal tradisi Dancing, Humor dan muhdatsaat lainnya. Kalau mau meng-humor, ya jangan terlalu sering. Wong Sufisme sendiri sudah humor kok, mau nambah humor?

Humor

Humor 

Selera humor tiap manusia tentu saja relatif. Tidak bisa disama ratakan. Seorang Batak, meskipun terkesan keras dalam berbicara, bisa jadi memiliki selera humor yang sangat-sangat tinggi. Saya pernah mengajar di sebuah kelas les privat. Isinya 2 anak saja. Keduanya sedang duduk di bangku SMP. Lelaki. Kelas itu sepinya minta ampun.

Kenapa? Karena keduanya tidak akan mau bicara kecuali diajak bicara atau ditanya. Jika didiamkan selama sejam, mereka pasti akan diam. Tidak bisa mereka berdua melucu. Dan ketika gurunya melucu, pelit sekali menuai tawa. Kelas semacam ini layak disebut Kelas I'tikaf saja. Adem-ademan sambil tafakkur betapa sepinya dunia ini.

Humor itu, seperti kata orang, ibarat garam di sayuran. Sayuran tanpa garam, terasa hambar dan tawar. Namun, jika garamnya kebanyakan, sayurnya akan tidak enak. Begitu pula dengan manusia. Jika terlalu banyak menebar humor, ia akan dijauhi oleh orang-orang berakal. Kebanyakan humor itu justru membuat stress di akhirat. Para pelawak, mereka pandai berhumor, tetapi jangan dikira semua orang betah dekat-dekat seharian. Kalaupun dekat, itu pun demi uang, pamoritas atau 'numpang beken'. 

Lebih-lebih jika sudah membahas ayat atau hadits, humor mesti diminimalisir. Keduanya memiliki wibawa tinggi. Barangsiapa tak meninggikan keduanya, maka Allah pasti merendahkan dirinya. Barangsiapa tak mensucikan keduanya, maka Allah pasti menghinakan dirinya. Barangsiapa menghumori keduanya, maka....

....kau tahu sendiri akibatnya!


17 Rabi'ul Awwal 1434


No comments:

Post a Comment