Monday, January 28, 2013

Sebutan Faqih, Untuk Siapakah?

oleh Hasan Al-Jaizy


Fawaid 0027: "Sebutan Faqih, Untuk Siapakah?"

Saya akan memulai catatan kecil ini dengan sebuah hadits yang sudah lama sekali -alhamdulillah- saya hafal:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

"Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Dia akan menjadikannya seorang Faqih dalam agama." [H.R. Bukhary (1/27), (4/103), (6/152) dan (9/125), Muslim (3/95), Ahmad (4/101), Ad-Darimy (230). Lihat: Jaami' Al-Ushuul fi Ahaadiits Ar-Rasuul, oleh Majd Ad-Diin Ibn Al-Atsiir, 3/8, Tahqiiq Syaikh Abdul Qadir Al-Arna'uth dengan Ta'liq dan Takhrij Syaikh Ayman Shalih Sya'ban, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.] 

Hadits di atas adalah hadits PERTAMA yang saya hafal dalam mata pelajaran Hadits saat baru duduk di bangku Muthawassithah [setingkat SMP] kelas 1 di Pondok Pesantren Islam Al-Irsyad Tengaran. Guru saya kala itu adalah Ust. Naharuddin Syuhada -hafidzahullah-. Beliau lah yang mengajarkan saya beberapa hadits. Kami masih ingat ketika itu kitab hadits yang sangat sederhana, bersampul jingga dengan faedah yang semoga teringat selamanya.

Hadits ini sangat agung. Makna yang terkandung sangat patut direnungi; sehingga diharapkan menghasilkan motivasi ataupun iradah [kemauan] bagi pembaca yang belum menuntut ilmu syar'i sama sekali agar memulainya, dan bagi yang sudah menuntutnya -baru atau sudah lama- terus melakukannya hingga akhir hayat.

Al-Allaamah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan makna kandungan hadits di atas di sebuah kitab yang sangat sarat akan makna dan buah pemikiran dalam, yaitu kitab Miftaah Daar As-Sa'aadah :

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين وهذا يدل على ان من لم يفقهه في دينه لم يرد به خيرا كما ان من اراد به خير افقهه في دينه ومن فقهه في دينه فقد اراد به خيرا إذا اريد بالفقه العلم المستلزم للعمل واما ان اريد به مجرد العلم فلا يدل على ان من فقه في الدين فقد اريد به خيرا

"[Hadits] "Barangsiapa yang Allah kehendaki padanya kebaikan, maka Dia akan menjadikannya seorang Faqih dalam agama." Ini menujukkan bahwasanya barangsiapa yang tidak Allah jadikan seorang faqih dalam agama, berarti Dia tidak menginginkan padanya kebaikan. Sebagaimana siapapun yang ia inginkan padanya kebaikan, maka ia akan menjadikannya seorang faqih dalam agama. 

Allah menghendaki kebaikan pada seorang faqih JIKA dia menginginkan dengan pemahamannya [akan agama] itu ILMU yang menjadikannya BERAMAL. Adapun jika ia [sang faqih] hanya menginginkan ilmu saja [4] maka dia tidak menunjukkan orang yang diinginkan darinya kebaikan [oleh Allah] tersebab fahamnya akan agama." [Miftaah Daar As-Sa'aadah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1/246]

Karena apalah gunanya jika ilmu sekadar untuk koleksi tanpa hendak beramal!? Bagaimana mungkin terharap darinya kebaikan sementara dirinya sendiri tak hendak berbuat baik!?

Di zaman yang begitu cepatnya informasi terserap ini, manusia menjadi semakin senang mengumpulkan banyak hal. Mengumpulkan maklumat, pengetahuan, kabar, info dan ilmu. Betapa banyak maklumat telah menghampiri fikiran kita dan betapa banyak pula ia terlewatkan begitu saja! Sungguh banyak pembahasan dan penelitian, namun ternyata sang pembahas dan sang peneliti tidak memaknai bahasan dan yang diteliti. Karena apa? Karena tujuan awalnya bukan untuk mengamalkan, melainkan sekadar mengumpulkan!

Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda: 

خصلتان لا يجتمعان في منافق حسن سمت وفقه في الدين

"Dua sifat yang takkan berkumpul dalam diri seorang munafik: Baiknya jalan [manhaj] dan Fiqh dalam agama." [H.R. Tirmidzy no. 2685, beliau berkata: Hadits ini Gharib. Ibnul Qayyim mengomentari sanad hadits ini: "Fiihi Jahaalah", namun beliau menetapkan bahwa makna hadits ini benar. Syaikh Ali Hasan Al-Halaby telah men-takhrij hadits ini secara terperinci sehingga beliau menghasankannya, dalam risalah beliau "Al-Arba'uun Hadiitsan fi Asy-Syakhshiyyat Al-Islaamiyyah" no. 22. Lihat: Miftaah Daar As-Sa'adah, 1/283-284.]

Ibnul Qayyim berkata:

فجعل الفقه في الدين منافيا للنفاق بل لم يكن السلف يطلقون اسم الفقه الاعلى العلم الذي يصحبه العمل 

"Maka beliau [Rasulullah] menjadikan Fiqh dalam beragama sebagai penafian dan peniadaan terhadap kemunafikan. Bahkan TIDAK ADA di antara kaum salaf yang memutlakkan nama 'Fiqh' kecuali atas ilmu yang beriringan dengan amalan." [Miftaah Daar As-Sa'aadah: 1/319]

Di sini, insya Allah kita dapat memahami sebuah kesimpulan penting bahwa dalam syariat, hakekatnya gelar dan sebutan Faqih itu hanya berhak disandang oleh orang-orang yang berilmu dan mengaplikasikan keilmuannya bagi dirinya. Ini adalah perkara berat dan semakin berat dilakukan di zaman sekarang. Betapa tidak terhitungnya pelajar ilmu Syariah, namun apakah benar kesemuanya berhak disebut sebagai Fuqaha hanya karena mereka mencari ilmu dan mengumpulkannya semata!?

Terlebih, bagaimana dengan kita [dan semoga bukanlah kita!] yang mencari dan mengumpulkan ilmu demi meninggikan derajat diri di atas manusia dan menginjak kehormatan orang-orang jahil!?

Kita tahu jawabannya. Semoga Allah merizkikan kita amal saleh. Aamiin.


No comments:

Post a Comment