oleh Hasan Al-Jaizy
Semester satu ketika itu...
Seorang mahasiswa presentasi di kelas. Mata kuliah Fiqh Muqaranah [perbandingan madzhab] dalam dirasat Fiqh Ibadah. Tepatnya dalam bab shalat. Dosen kami, Ust. Bakrun Asy-Syafi'i MA, melatih murid-murid kecilnya untuk punya kebiasaan presentasi dan menelaah ke kitab asal.
Mahasiswa tersebut membahas suatu permasalahan fiqh [dalam bab shalat]. Ia mulai menjabarkan beberapa pendapat dari berbagai madzhab Fiqh. Selesai membocorkan pandangan madzhab Syafi'i, si murid dihadang sang guru.
"Ente tau darimana Syafi'iyyah berpendapat seperti itu?" tanyanya dengan bahasa 'padang pasir'.
"Ane tau dari kitab-kitab mereka, Ustas!"
"Sebutkan kitab-kitab tersebut juga pengarangnya!"
Lalu si murid menyebutkan satu persatu kitab-kitab madzhab terkait dan pengarangnya. Sang guru angguk-angguk.
"Apa ente buka kitab2 tersebut?"
"Alhamdulillah, ustas."
"Bagus! Kalian harus seperti ini selalu dalam presentasi dan pembahasan. Seorang baahits [researcher] bisa disebut baahits jika ia langsung membuka kitab sumbernya; bukan mengambil asal jadinya saja dari baahits lain."
Penulis masih ingat nasihat beliau itu di awal-awal kami masuk Fakultas ini. Dulu, saat masih buta-butanya [dan sampai sekarang bukan berarti sudah melek sekali] akan ikhtilaf atau khilaf perkara-perkara fiqhiyyah, kita memang benar-benar didorong untuk terjun ke jurang khilafiyyah [sebelum menegakkan khilafah]. Dan mengetahui ikhtilaf ulama adalah ilmu.
Ini juga nasihat bagi thullab manapun, baik itu bersifat akademik formal, maupun independen. Bukan berarti kita mencintai khilaf dalam umat, dan bukan berarti kita katakan segala khilaf adalah rahmat, namun ketidakmengertian kita akan khilaf di antara ulama tidak jarang menimbulkan kobaran khilaf lebih besar lagi. Ini pertama.
Kedua, adalah suatu kelayakan bagi thullab yang sudah memiliki kemampuan membaca dan menelaah kitab, untuk sering merujuk pada sumber langsung dalam membahas, berkarya dan selainnya. Tidak hanya mengandalkan mutlak karya yang sudah jadi. Karena dengan membiasakan membuka sumbernya langsung, secara otomatis kita terasah untuk tabayyun, tanpa 'bertaklid' pada footnote secara buta.
Pintu terbuka lebar. Dalam Shamela sudah beribu kitab penting yang serasi dengan cetakannya [ditinjau dari halaman]. Atau jika ingin lebih meyakinkan lagi, ada ribuan PDF hasil scan. Jika ingin lebih 'berarti' lagi, kunjungi perpustakaan [jika dekat/sempat] pesantren2, atau kampus yang menyediakan kitab-kitab warisan zaman dahulu. Lebih bagus lagi, jika punya kitabnya.
Well, bukan bermaksud apapun, namun sudah wajar jika memiliki ebook beribu apapun, tidak berarti kita 'mempunyainya'.
Yang akhirnya, semua kembali pada kemampuan masing-masing. Kalau memang baru bisa memahami terjemahan, genggam erat kesempatan dan terus menimba. Kalau memang baru bisa membaca fatwa, tidak masalah dan jangan memaksa diri tuk menggenggam yang belum mampu digenggam. Kalau sudah mampu menyelam ke seluruh atmosfir, maka selamilah sedalam-dalamnya.
Butuh waktu lama untuk membangun dan mengokohkan, namun butuh waktu singkat untuk menghancurkan. Bagaimana caranya? Pilih salah satu:
--> tidak ikhlas
--> sombong
--> tidak diamalkan
--> tergesa-gesa
dan lain-lain...
Yang sudah bisa menyelam, jangan meledek yang baru bisa menelaah fatwa terjemahan...
Yang baru bisa menelaah fatwa terjemahan, jangan merasa sudah bisa berfatwa dan merendahkan yang bisa menyelam...
Semester satu ketika itu...
Seorang mahasiswa presentasi di kelas. Mata kuliah Fiqh Muqaranah [perbandingan madzhab] dalam dirasat Fiqh Ibadah. Tepatnya dalam bab shalat. Dosen kami, Ust. Bakrun Asy-Syafi'i MA, melatih murid-murid kecilnya untuk punya kebiasaan presentasi dan menelaah ke kitab asal.
Mahasiswa tersebut membahas suatu permasalahan fiqh [dalam bab shalat]. Ia mulai menjabarkan beberapa pendapat dari berbagai madzhab Fiqh. Selesai membocorkan pandangan madzhab Syafi'i, si murid dihadang sang guru.
"Ente tau darimana Syafi'iyyah berpendapat seperti itu?" tanyanya dengan bahasa 'padang pasir'.
"Ane tau dari kitab-kitab mereka, Ustas!"
"Sebutkan kitab-kitab tersebut juga pengarangnya!"
Lalu si murid menyebutkan satu persatu kitab-kitab madzhab terkait dan pengarangnya. Sang guru angguk-angguk.
"Apa ente buka kitab2 tersebut?"
"Alhamdulillah, ustas."
"Bagus! Kalian harus seperti ini selalu dalam presentasi dan pembahasan. Seorang baahits [researcher] bisa disebut baahits jika ia langsung membuka kitab sumbernya; bukan mengambil asal jadinya saja dari baahits lain."
Penulis masih ingat nasihat beliau itu di awal-awal kami masuk Fakultas ini. Dulu, saat masih buta-butanya [dan sampai sekarang bukan berarti sudah melek sekali] akan ikhtilaf atau khilaf perkara-perkara fiqhiyyah, kita memang benar-benar didorong untuk terjun ke jurang khilafiyyah [sebelum menegakkan khilafah]. Dan mengetahui ikhtilaf ulama adalah ilmu.
Ini juga nasihat bagi thullab manapun, baik itu bersifat akademik formal, maupun independen. Bukan berarti kita mencintai khilaf dalam umat, dan bukan berarti kita katakan segala khilaf adalah rahmat, namun ketidakmengertian kita akan khilaf di antara ulama tidak jarang menimbulkan kobaran khilaf lebih besar lagi. Ini pertama.
Kedua, adalah suatu kelayakan bagi thullab yang sudah memiliki kemampuan membaca dan menelaah kitab, untuk sering merujuk pada sumber langsung dalam membahas, berkarya dan selainnya. Tidak hanya mengandalkan mutlak karya yang sudah jadi. Karena dengan membiasakan membuka sumbernya langsung, secara otomatis kita terasah untuk tabayyun, tanpa 'bertaklid' pada footnote secara buta.
Pintu terbuka lebar. Dalam Shamela sudah beribu kitab penting yang serasi dengan cetakannya [ditinjau dari halaman]. Atau jika ingin lebih meyakinkan lagi, ada ribuan PDF hasil scan. Jika ingin lebih 'berarti' lagi, kunjungi perpustakaan [jika dekat/sempat] pesantren2, atau kampus yang menyediakan kitab-kitab warisan zaman dahulu. Lebih bagus lagi, jika punya kitabnya.
Well, bukan bermaksud apapun, namun sudah wajar jika memiliki ebook beribu apapun, tidak berarti kita 'mempunyainya'.
Yang akhirnya, semua kembali pada kemampuan masing-masing. Kalau memang baru bisa memahami terjemahan, genggam erat kesempatan dan terus menimba. Kalau memang baru bisa membaca fatwa, tidak masalah dan jangan memaksa diri tuk menggenggam yang belum mampu digenggam. Kalau sudah mampu menyelam ke seluruh atmosfir, maka selamilah sedalam-dalamnya.
Butuh waktu lama untuk membangun dan mengokohkan, namun butuh waktu singkat untuk menghancurkan. Bagaimana caranya? Pilih salah satu:
--> tidak ikhlas
--> sombong
--> tidak diamalkan
--> tergesa-gesa
dan lain-lain...
Yang sudah bisa menyelam, jangan meledek yang baru bisa menelaah fatwa terjemahan...
Yang baru bisa menelaah fatwa terjemahan, jangan merasa sudah bisa berfatwa dan merendahkan yang bisa menyelam...
No comments:
Post a Comment