Thursday, January 3, 2013

Menerawang Kuburan Keramat


oleh Hasan Al-Jaizy


Ini yang kesekian kalinya, lagi-lagi saya menceritakan apa yang terjadi ketika saya pulang dari kampus. Well, pekan ini adalah pekan UAS [Ujian Akhir Semester] di kampus. Selesai mengerjakan tes, langsung cabut ke rumah. Besok pagi insya Allah saya akan cabut lagi dari rumah. Selepas habis tes, saya cabut lagi ke rumah. Jadi, kehidupan saya ini cabut-cabutan. 

Dan tadi, saya menumpang dibonceng teman saya, seorang perjaka Madura yang tinggal di sekitar Condet. Teman sekelas. Madura tulen. Saya kadang 'berdiskusi' dengan teman yang satu ini soal perguruan hijau dan fenomena anti-Wahabi. Sebenarnya teman-teman 'hijau' saya banyak di kampus. Semuanya bagus-bagus. Fair dalam menilai dan menimbang. Cuma mungkin mengekspresikannya berbeda macam dan ragam.

Nah, tadi pagi, kami sempat membicarakan kehebatan ulama di zaman dahulu.

"Ane juga ga habis fikir, San. Orang semacam Ibnu Hajar dan An-Nawawi itu dulu bagaimana belajarnya!??? Kok bisa sebanyak itu karyanya???" sahutnya ketika mengendarai motor.

Ketakjuban dia juga ketakjuban saya. Kalau melihat karya-karya An-Nawawi yang bertebaran di perpustakaan kampus, lumayan memicu isak tangis. Terlebih karya Ibnu Hajar Al-Atsqalany, melihat lebar jilid-jilidnya saja sudah hampir membuat semaput!?

Dia meneruskan curhatnya, "Memang orang zaman dulu benar-benar beda! Mereka sangat fokus pada suatu perkara. Bahkan, saat makan pun mereka bisa membaca."

Di titik ini, sebenarnya saya berfikir, 'Gue juga kadang baca buku pas makan, coy.' Kemudian saya teringat pada banyak manusia modern, rata-rata makan sambil nonton TV, ngobrol dan bengong. [Bayangkan saja makan sambil bengong!]

"Apalagi Ibnu Taimiyyah ya, bro?" sahut saya.

Dia mengamininya. Saya pribadi pun belum tahu ulama mana yang karyanya lebih banyak dan lebih luas dari Abul Abbas Taqiyuddin Ibn Taimiyyah Al-Harrany. Dimulai dari Majmu' Al-Fatawa [37 jilid!], Al-Fatawa Al-Kubro [6 jilid], Minhajus Sunnah [9 jilid/cetakan berbeda], dan masih banyak lagi!!!

Tapi, ada beberapa kesimpulan yang bisa saya tarik dari perbincangan saya dengan pendekar Madura ini. Di antaranya:

"Kita TIDAK BISA Mengkiaskan Diri Kita Pada Kehebatan Orang Lain tanpa melihat banyaknya faktor-faktor dan pendorong atau sebab musabab"

Saya beri contoh begini saja yang real langsung di Facebook ini [karena contoh ini terdekat]:

Anda jarang menulis [misalnya]. Lalu Anda punya teman seorang penulis. Dia mahir menulis. Tulisannya banyak. Namun tidak sempat Anda hitung. Tiba-tiba, ketika Anda menghitungnya, dalam sebulan teman Anda telah menulis 100 tulisan panjang!

Karena Anda mengukur hal itu dengan cerminan diri Anda [yang kurang menulis], maka pasti Anda akan kaget dan takjub.

******

Beberapa orang mengatakan begini, "Ni orang ga ada kerjaan kali, ya? Kerjaannya nulis melulu. Panjang-panjang pula. Hidupnya diisi buat menulis! Gila lu, -ga-pake-Ndro !"

Perkataan itu didasari atas bayangan subjektif nya sendiri. Anda mungkin mengira seseorang yang rajin menulis, akan membutuhkan waktu 1 jam untuk mengetik 15 paragraf yang tertuang dari kepalanya. Ternyata itu hanya kiraan ada. Yang terjadi malah hanya 20 menit saja dibutuhkan olehnya untuk menuang 15 paragraf!

Itu terjadi pada saya. Itulah yang terjadi.

Ketika seorang teman di kampus -waktu itu- sedang memulai aktif menulis, ia bertanya, "San, ente biasa menulis panjang satu status itu berapa lama? Sejam nyampe?"

"Nggak lah. Habis waktu. Kecuali kalau tulisannya ilmiah sekali; melengkapi dengan footnote dan memperkayanya dengan sumber-sumber. Ane cuma butuh 20 menit. Setengah jam itu sudah sangat lama bagi ana! Bahkan ana pantang sekali menghabiskan setengah jam untuk tulisan biasa!"

Dan kawan-kawan yang tidak terbiasa menulis akan terkaget. Kenapa terkaget? Karena mengkiaskan hal dari sudut pandang subjektif dirinya.

Bahkan kadang satu tulisan, penulis hanya butuh waktu 5 menit untuk menabur 3-4 paragraf dan jadilah. Karena faktor kebiasaan dan pemetaan materi/pemikiran sebelumnya. Dua hal itulah yang sulit didapatkan banyak orang. Kebiasaan dan pemetaan fikiran. Itulah yang menyebabkan mereka tidak habis fikir mengapa dan mengapa kok bisa.

Atau...

Seperti percakapan pemain bola profesional dan si ahli kimia yang kerjaannya hanya di laboratorium.

Ahli Kimia: "Bos, ente sehari latihan lari berapa lama?"

Pemain Bola: "Ane latihan secara global 6 jam rutin harian. Kalau untuk lari tidak diukur dengan waktu. Tapi minimal berlari 30 kilometer perhari dengan speed yang juga diatur."

Ahli Kimia akan takjub dan bingung dengan jawaban itu.

******

Bahkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa Sallam- melayani 9 istri dalam satu malam. [H.R. Bukhari, no. 5215]

Para ulama sudah menyatakan berdasarkan hadits di atas dan riwayat Bukhari lainnya, bahwa kekuatan Rasulullah dalam hal ini tidak akan sama dengan kekuatan siapapun dari pria umatnya. Diriwayatkan pula bahwa kekuatan beliau adalah setara kekuatan 30 pria dalam hal ini.

******

Nah, jika Anda melihat intensitas dan super aktifnya penulis, penceramah, olahragawan dan selainnya yang sangat tinggi, jangan menjadikan penilaian Anda terhadap mereka sebagai penilaian final yang tak boleh tergoyah.

Anda akan mengatakan para penulis buku-buku akan melalaikan anak istri karena waktu habis untuk menulis dan membaca. Itu hanya kiasan subjektif. Nyatanya belum tentu.

Anda juga akan mengatakan para penceramah pasti merasa asing di rumah, karena rutin ceramah ke luar kota. Sibuk di tengah umat. Itu hanya kiasan subjektif. Nyatanya belum tentu.

Kecuali jika Anda langsung meneliti keseharian mereka. Nah, di situ penilaian Anda bisa menjadi sebuah penghakiman final.

******

Bukan berarti penulis tidak pernah salah menilai sesuatu. Justru penulis tulisan ini kadang sadar setelah melakukan penilaian yang salah dan pengamatan yang cacat. Ternyata, seringkali penilaian subjektif itu jauh dari kesempurnaan. Namun bukan berarti menilai secara subjektif terlarang begitu saja. Sebenarnya pandangan pribadi itu wajar; hanya, menjadikannya sebuah keputusan final dan harus diterima manusia itulah yang perlu dikoreksi lebih.

Lalu, kenapa kita menerawang kuburan keramat?

No comments:

Post a Comment